Berdoa itu…
Ada umat yang terlibat dalam sebuah diskusi serius tentang doa di dalam Gereja setelah mereka mengikuti misa kudus. Seorang umat mengatakan bahwa ia merasa terganggu karena ada seorang umat lainnya kalau berdoa selalu dengan suara yang keras. Umat yang merasa terganggu itu mengaku lebih khusuk dalam doa kalau suasananya hening, bukan rebut-ribut kayak di tengah pasar. Seorang umat yang mendengar curhat ini berkomentar bahwa ukuran sebuah doa yang baik itu sangat tergantung pada Tuhan bukan pada manusia. Doa dialamatkan kepada Tuhan bukan sebagai tontonan bagi manusia. Sebab itu salayaknya Tuhan yang memberi penilaian bukan kita manusia yang masih terus belajar berdoa. Diskusinya masih panjang dan diakhiri dengan tawa dan canda di antara kereka.
Pengalaman sederhana ini merupakan pengalaman banyak di antara kita. Banyak kali kita mengeluh ketika merasa terganggu saat berdoa di Gereja. Mungkin bukan hanya suara keras saat berdoa, bunyi handphone atau umat yang main handphone selama misa berlangsung juga sangat menggangu umat yang lain di dalam Gereja. Kadang para pemimpin umatlah yang bermain HP di dalam Gereja! Ini memang mengecewakan karena bukan sebagai panutan yang tepat! Di sinilah letak kedewasaan kita sebagai umat di hadapan Tuhan.
Saya mengingat Santu Bernardus. Ia sering berkata kepada anggota komunitasnya: ‘Ad quid venisti?’ Secara sederhana berarti: ‘Mengapa anda berada di sini?’ Pertanyaan seputar motivasi pribadi kita di tempat di mana kita berada dan berkarya. Di dalam Gereja, di tempat kerja juga di dalam rumah tangga sendiri, pertanyaan ‘ad quid venisti’ tetaplah aktual. Kalau orang tidak menyadarinya maka dia tidak akan melakukan yang terbaik di dalam hidupnya. Dia dapat menjadi pribadi yang gagal dalam hidup dan karya karena tidak ada motivasi yang jelas.
Adi quid venisti? Mengapa anda berada di sini? Kalau kebetulan di dalam Gereja: ‘Mengapa anda berada di dalam Gereja?’ Jawabannya tentu bukan untuk memanaskan bangku. Bukan untuk temu kangen dengan sahabat kenalan. Bukan juga sebagai upaya pindah lokasi untuk bermain gadget. Kita berada di dalam Gereja untuk berdoa. Ini adalah alasan utama kita berada di dalam Gereja misalnya.
Lalu apa artinya berdoa? St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus memahami doa seperti ini: “Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan”. Santu Yohanes dari Damaskus memahami doa seperti ini: “Doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan, atau satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik”. Doa sebagai ayunan hati, dan upaya untuk mengangkat jiwa kepada Tuhan maka kita harus memandang doa sebagai sebuah kebutuhan bukan sebuah rutinitas. Kita berdoa karena kita mau menjadi manusia baru yang membutuhkan Tuhan.
Saya mengakhiri pemikiran tentang berdoa dengan mengutip perkataan Mahatma Gandhi berikut ini: “Berdoa bukanlah meminta. Itu adalah keinginan jiwa. itu adalah pengakuan akan kelemahan seseorang. Lebih baik berdoa dengan hati namun tanpa kata kata daripada berdoa dengan kata kata namun tanpa hati”. Banyak kali mungkin kita selalu meminta kepada Tuhan tetapi tidak berdoa atau kita berdoa dengan kata namun tanpa hati. Nasihat Gandhi ini sederhana namun patut kita renungkan.
Apakah hari ini anda sudah berdoa? Bagaimana pengalaman doa anda? Silakan bagilah pengalamanmu untuk menguatkan sesama yang lain.
PJ-SDB