Hari Kamis, Pekan V Prapaskah
Kej. 17:3-9
Mzm. 105:4-5,6-7,8-9
Yoh. 8:51-59
Dengarkan suara Tuhan!
Ada seorang ibu yang mengatakan kepada saya: “Romo, saya ingin cepat-cepat memiliki rumah yang ditulis RIP di depannya!” Saya bertanya, “Maksud ibu apa ya?” Ia menjawabku: “Saya pingin cepat pergi untuk menghadap Bapa yang empunya kehidupan karena sudah kesulitan besar dalam mengatur anakku yang semata wayang. Dia anak tunggal tetapi ayahnya dan aku kesulitan besar menghadapinya. Salah satu kesulitannya adalah dia memiliki telinga yang lengkap dan normal tetapi selalu tidak mendengar dan tidak patuh kepada kami.” Saya menjawabnya: “Ibu, silahkan kembali ke rumahmu dan berusaha mendengarkan anakmu dengan baik dan dengan sendirinya anak akan mendengarkanmu sebagai ibunya.” Dia tersenyum kecut dan kembali ke rumahnya. Dua minggu kemudian, ia mendekatiku setelah perayaan misa harian dan mengatakan: “Romo, obatnya berfungsi. Mungkin saya yang selama ini susah mendengarkan anak saya. Sekarang di rumah, kami sudah saling mendengar satu sama lain.” Kisah sederhana ini pernah lewat dalam kehidupan saya. Ternyata saling mendengar itu mampu mengubah hidup setiap pribadi.
Pada masa prapaskah ini kita memiliki kesempatan untuk belajar mendengar seperti Yesus sendiri. Tuhan Yesus mendengar suara Bapa dan Dia setia melakukan segala sesuatu yang sudah didengar-Nya dari Bapa. Dia menyerahkan diri total kepada Bapa karena Ia mendengar Bapa untuk menyelamatkan manusia. Dengan mendengar maka Ia mampu mentaati kehendak Bapa. Mentaati kehendak Bapa menjadi sempurna dalam cinta-Nya yang besar kepada Bapa yang lebih dahulu mencintai-Nya sebagai Anak. Benar sekali pengakuan Yesus ketika berdialog dengan Nicodemus berikut ini: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17).
Kita berjumpa dengan dua sosok inspiratif yang dapat membantu kita untuk mendengar, mematuhi dan mengasihi dengan lebih baik lagi. Sosok pertama adalah Abram. Dia seorang yang memiliki banyak hartanya namun Tuhan memiliki rencana yang indah baginya. Tuhan memanggilnya, memberikan komando kepadanya untuk meninggalkan kampung halaman, orang tua dan kepemilikannya. Tuhan memperhatikan kesetiaan Abram sehingga Ia mengikat perjanjian dengannya. Tuhan berjanji kepada Abram: “Dari pihak-Ku, inilah perjanjian-Ku dengan engkau: Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa.” (Kej 17:4). Tuhan mengubah nama Abram menjadi Abraham artinya bapa sejumlah bangsa. Janji Tuhan untuk menjadikan Abraham sebagai bangsa yang besar, mencakup anak-anak dan cucu-cucunya di masa depan. Tuhan Allah berjanji akan menjadi Allah bagi Abraham dan keturunannya dan mereka semua akan mengakui Dia sebagai satu-satunya Allah mereka. Tuhan berjanji untuk memberikan tanah yang direbut dari bangsa-bangsa asing dan juga seluruh tanah Kanaan yang kaya dengan susu dan madu. Semua janji Tuhan ini harus didengar dan dipegang teguh oleh Abraham dan keturunannya.
Apakah Tuhan pernah ingkar janji? Jawaban yang pasti adalah Tuhan tidak pernah ingkar janji! Hanya manusia yang suka ingkar janji dan tidak merasa bersalah ketika dengan sadar mengingkari janjinya kepada Tuhan dan sesama. Raja Daud pernah berkata: “Selama-lamanya Tuhan ingat akan perjanjian-Nya, akan firman yang diperintahkan-Nya kepada seribu angkatan; akan perjanjian yang diikat-Nya dengan Abraham, dan akan sumpah-Nya kepada Ishak.” (Mzm 105:8-9). Tuhan mengingat perjanjian-Nya kepada manusia karena Dia mendengar manusia yang berdoa kepada-Nya. Manusia ingkar janji kepada Tuhan karena mereka tidak berdoa dan tidak mendengar Tuhan dalam hidupnya. Memang patut disayangkan karena sosok Abraham ini tidak banyak diikuti oleh manusia. Abraham beriman sedangkan manusia kurang beriman.
Dari Abraham kita belajar untuk mendengar dengan baik dan setia kepada Tuhan. Kesetiaan Abraham kepada Tuhan membuatnya benar-benar menjadi sahabat Tuhan Allah. Santu Yakobus menulis: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu Abraham disebut: “Sahabat Allah.” (Yak 2:23). Abraham menginpirasikan kita supaya dalam kelebihan dan kelemahan yang kita miliki, kita juga dapat bertumbuh menjadi sahabat Allah.
Sosok kedua adalah Tuhan Yesus. Dia berdebat dengan orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya. Sebelumnya Yesus menilai mereka sebagai pribadi yang tidak dapat menerima Sabda Tuhan. Sabda Tuhan tidak mendapat tempat dalam hati manusia karena dosa. Kali ini Yesus mengatakan: “Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya.” (Yoh 8:51). Seseorang dapat menuruti firman kalau ia mampu mendengar firman dan tinggal tetap di dalam firman itu sendiri. Sekali lagi perkataan Yesus ini tidak didengar dan diikuti oleh orang-orang Yahudi. Mereka bahkan menganggap Yesus sebagai orang yang kerasukan setan.
Dari Tuhan Yesus kita belajar bagaimana Ia memahami manusia dan menerima manusia apa adanya. Meskipun Ia mengalami penolakan yang luar biasa namun Ia tidak pernah mundur dari tugas-Nya sebagai satu-satunya penyelamat kita. Dia menunjukkan kesabaran-Nya kepada manusia yang berdosa.Ia mewahyukan diri-Nya kepada mereka namun mereka tidak menerima-Nya malah lebih memuliakan Abraham. Yesus mengatakan bahwa Ia mengenal Bapa dan bahwa Bapalah sendrilah yang memuliakan-Nya. Bapa yang satu dan sama ini disapa sebagai Allah meskipun mereka tidak mengenal-Nya. Sebab itu Yesus dengan tegas mengatakan: “Sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh 8:58).
Nasihat yang terbaik bagi kita pada hari ini: “Jangalah keraskan hatimu, tetapi dengarkanlah suara Tuhan.” (Mzm 95:8ab). Mari bersahabat dengan Tuhan dengan membaca, mendengar dan melakukan Sabda Tuhan di dalam hidup kita setiap hari.
PJ-SDB