Belajar Pada St. Pius ke-X
Saya mengingat William Shakespeare yang pernah berkata begini: “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi). Jadi apalah arti sebuah nama?
Pada hari ini kita mengenangkan kembali Paus Pius ke-X. Beliau terlahir dengan nama lengkap Giuseppe Melchior Sarto. Mata saya tertuju pada nama keluarganya (cognome) yakni Sarto. Tentu ini bukan nama orang Jawa tetapi nama orang Italia. Sarto itu berarti ‘penjahit’. Dari namanya ini benar-benar menunjukkan sosok beliau sebagai gembala yang bukan hanya merajut tetapi menjahit gereja menjadi sebuah gaun yang indah bagi Tuhan. Ada beberapa hal yang selalu dikenang dari sosok kekudusan beliau:
Pertama, Paus Pius ke-X merupakan sosok yang sederhana. Dia mengaku berasal dari keluarga sederhana maka semangat ini menghiasi dan mengubah seluruh hidupnya. Hingga saat-saat terakhir sebelum menghembuskan namanya, ia tetap berprinsip: “Aku lahir miskin; aku pun hidup miskin; dan aku ingin mati sebagai orang miskin.” Prinsip ini membuka jalan baginya untuk berpasrah kepada Tuhan dan mengharapkan penyelenggaraan ilahi.
Kedua, Paus Pius ke-X adalah sosok pembaru gereja. Untuk membarui gereja, dia membarui dirinya lebih dahulu. Sejak menjadi Imam dan Uskup hingga sebagai Kardinal, Sarto sudah menunjukkan prioritas pengembalaannya yang tepat sasaran, dalam hal ini ia secara khusus memperhatikan bidang pendidikan, karya amal Gereja dan liturgi. Ketika menjadi penerus Takhta Petrus, beliau sebagai sosok Paus pembaru dalam bidang liturgi, memberi contoh homili secara ringkas, jelas dan sederhana, menggalakkan lagu Gregorian, serta mendirikan Institut Kepausan untuk Musik Liturgi dan Kitab Suci. Ia juga merevisi Brevir (Ibadat Harian) dan Katekismus. Selain itu beliau dikenal sebagai Paus Ekaristis.
Ketiga, Paus Pius ke-X melawan modernism terutama memisahkan kekuasaan sipil dan gereja. Di Prancis benar-benar terasa ketika banyak harta gereja diambil oleh negara. Tentu saja ia melawan arus, tetapi Gereja berdiri sendiri untuk menata pertumbuhan iman umat tanpa intervensi sipil. Di dalam Gereja Katolik sendiri, beliau mereformasi Kuria Romana. Maka perubahan itu bukan berasal dari luar. Perubahan berasal dari dalam diri baru ke luar. St. Pius ke-X melakukannya dengan tepat.
Bagi saya ini tiga hal yang inspiratif bagi Gereja Katolik dan masih sangat aktual. Gereja benar-benar membutuhkan sosok orang suci yang transformatif dan kreatif. Luar biasa dan terima kasih St. Pius ke-X. Dia telah menjadi Sarto atau penjahit gereja yang benar sehingga menghasulkan gereja sebagai gaun yang indah bagi Tuhan. Jadilah perantara doa kami kepada Tuhan Yesus, Anak Allah. Amen.
Tuhan memberkati kita semua.
P. John Laba, SDB