Homili 8 Maret 2021

Hari Senin Pekan Prapaskah ke-III
2Raj. 5:1-15a;
Mzm. 42:2,3; 43:3,4;
Luk. 4:24-30

Tuhan menyelamatkan kita

Pada pagi hari ini saya mendapat sebuah kiriman berupa pesan singkat dari seorang sahabat berupa kutipan ayat Kitab Suci. Kiriman kali ini sangat menyentuh hati, apalagi saat saya sedang menyiapkan perayaan Ekaristi harianku di kapel biara. Inilah kutipan ayat Kitab Sucinya: “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin.” (Yes 64:6). Bagi saya kata-kata nabi Yesaya ini cocok sebagai permenungan indah di masa prapaskah ini. Masa prapaskah menjadi masa di mana kita berusaha mengenal diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Ternyata ketika memeriksa bathin dan berusaha untuk mengenal diri, kita boleh jujur kepada Tuhan sebagai orang najis, laksana kain kotor,layu seperti daun yang dilenyapkan angin. Kerapuhan itu kita tunjukkan dengan penuh kesadaran menolak kasih dan kemurahan Tuhan. Ada keraguan hingga kehampaan di hadapan Tuhan yang selalu menghiasi hidup kita.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini membagikan pengalaman penolakan-Nya di Nazaret. Penginjil Lukas menceritakan bahwa Tuhan Yesus datang ke Nazaret. Ketika itu Ia berkata: “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” (Luk 4:24). Pada saat itu Ia sudah memenangkan pencobaan di padang gurun, lalu kembali ke Galilea, selanjutnya Ia pergi ke Nazaret. Di dalam Sinagoga di Nazaret, Ia memberikan visi dan misi-Nya kepada banyak orang di dalam rumah ibadat. Ia berkata: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk 4:18-19). Semua orang takjub kepada-Nya namun pada saat yang sama mereka mempertanyakan jati diri Yesus. Maka terjadilah penolakan pada diri-Nya.

Untuk lebih menjelaskan maskud penolakan-Nya di Nazaret maka Ia memgambil contoh-contoh yang kiranya membuka wawasan mereka untuk mengenal lebih dalam diri-Nya sebagai Anak Allah. Misalnya pengalaman nabi Elia yang diutus untuk menemui seorang janda di Sarfat di tanah Sidon pada saat yang sulit yakni masa kelaparan selama tiga tahun dan enam bulan. Pada zaman nabi Elisa terjadi keselamatan bagi Naaman orang Siria yang mengidap kusta. Dengan mengambil contoh-contoh ini, Yesus mau menegaskan bahwa pada zaman para nabi seperti Elia dan Elisa, sudah ada penolakan terhadap para utusan Tuhan dan ternyata orang-orang di luar komunitas Yahudilah yang lebih terbuka untuk menerima kehadiran para utusan Tuhan. Demikian juga yang sedang terjadi di Sinagoga saat itu. Orang-orang Nazaret hanya melihat Yesus dengan latar belakang-Nya yang mereka kenal. Sebab itu mudah sekali mereka menolak Dia.

Kisah penolakan Yesus di Nazaret adalah kisah hidup kita. Dalam pekan ketiga Prapaskah ini, fokus perhatian kita adalah pada sakramen pembaptisan. Kita semua mengikuti Yesus dari dekat karena telah menerima Sakramen Pembaptisan. Pembaptisan menjadi jalan masuk kepada keselamatan. Maka pada pekan ketiga prapaskah ini, para katekumen biasanya dilantik sebelum menerima sakramen pembaptisan. Ketika kita dibaptis, kita dikuduskan dan siap mengikuti Yesus dari dekat. Namun, kita terlena dalam kasih Tuhan hingga lupa pada kasih Tuhan itu sendiri. Kita mungkin berpikir bahwa karena sakramen pembaptisan, kita telah memiliki status quo untuk keselamatan. Padahal mungkin sikap hidup kita jauh dari harapan untuk menjadi pengikut Kristus yang setia. Kita juga menolak Yesus berkali-kali dalam hidup. Kita bahkan melebihi Petrus yang menyangkal Yesus berkali-kali. Kita butuh proses pemulihan diri dan hidup kita di hadirat Tuhan dan sesama manusia.

Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah Naaman orang Siria yang diambil sebagai contoh oleh Tuhan Yesus. Naaman adalah orang asing tetapi mendapat keselamatan dari Tuhan Allah karena dia percaya. Memang ia sempat bergumul tetapi imannya menyelamatkan. Nabi Elisa menyuruhnya untuk mandi tujuh kali di dalam sungai Yordan. Ia bergumul, protes tetapi Tuhan menaklukannya. Kata-kata pegawainya mengubah seluruh hidupnya: “Bapak, seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir.” (2Raj 5:13). Naaman masuk ke dalam sungai dan membenamkan dirinya sebanyak tujuh kali, sehingga mengalami penyembuhan secara total. Ia kembali kepada Elisa dan berkata: “Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel.” (2Raj 5:15).

Mari kita memeriksa bathin kita di hadapan Tuhan. Kita mudah saja merasa bahwa kita sudah katolik, dibaptis maka keselamatan adalah milik kita. Tetapi pada kenyataannya, kita tidak setia sebagai orang yang dibaptis. Kita tidak setia menghidupi sakramen pembaptisan kita. Kita selalu diberi kesempatan untuk membaharui janji baptis, namun dampaknya sangatlah kecil. Kita merasa sebagai orang katolik dan justru mungkin kitalah yang menolak kehadiran Yesus di dalam hidup kita. Kita malu untuk bersaksi tentang Tuhan Yesus. Itu kelemahan kita yang besar sebagai orang yang dibaptis. Pada hari ini kita belajar dari sosok Naaman. Dia mengajar kita untuk beriman kepada Allah yang menyelamatkan kita: “Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel.” Terima kasih Tuhan atas kerahiman-Mu!

P. John Laba, SDB