Seorang Bapa yang dikasihi!
Pada pagi hari ini saya mendapat sebuah pesan dari seorang pemudi yang saya kenal ketika masih menjadi mahasiswi beberapa tahun yang lalu. Ia menulis dan menyapaku: “Hello Daddy Pastur John, lama tak mendengar berita darimu. Semoga sehat selalu. Santo Yusuf, bapa yang terkasih memberkatimu. Selamat merayakan Hari Raya Santo Yusuf.” Saya tersenyum sendiri dengan sapaan ini. Dia adalah salah satu dari banyak anak muda yang menunjukkan keakrabannya kepadaku, sehingga ketika dalam chating pribadi dan dalam counselling mereka merasa seperti seorang anak yang berbicara kepada ayahnya sendiri. Sambil tersenyum, saya berkata dalam hati, iya juga ya. Sekarang saya berusia 51 tahun, seusia dengan ayah dan ibunya atau mungkin ayah dan ibunya juga lebih muda dari saya. Jadi tak apalah kalau dalam komunikasi dia dan juga mereka yang lain merasa akrab dan menyapaku ‘Daddy’.
Sosok Santo Yusuf tetap menginspirasi kita semua. Saya mengingat sebuah Homili dari Santo Paulus VI pada tanggal 19 Maret 1966. Orang kudus ini pernah mengalami keheningan Nazaret ketika beliau berziarah ke tanah suci. Ia merenung sosok Santo Yusuf dan mengatakan seperti ini dalam homilinya: “Santo Yusuf menunjukkan kebapaannya yang diungkapkan secara nyata dengan menjadikan hidupnya sebagai suatu pelayanan, sebuah pengorbanan kepada misteri Inkarnasi dan misi penebusan yang disatukan di dalamnya; dengan menggunakan kuasa hukum yang dimilikinya atas Keluarga Kudus untuk menjadikan hal itu sebagai persembahan total dirinya, hidupnya, dan pekerjaannya; dengan mengubah panggilan manusiawinya untuk kasih rumah tangga menjadi persembahan istimewa dari dirinya, hatinya dan semua kemampuannya, suatu kasih yang ditempatkan pada pelayanan bagi Mesias yang bertumbuh kembang di rumahnya.”
Santo Yusuf adalah seorang bapa yang dikasihi sebab ia menjadikan hidupnya sebagai pelayan. Ini adalah pengurbanan sebagai seorang ayah bagi Yesus. Dia mengurbankan dirinya sampai tuntas sebagai tanda kasih kepada Yesus dan Maria. Yusuf adalah seorang ayah yang sekali mempersembahkan diri untuk keluarga kudus dari Nazaret untuk selama-lamanya. Maka dari santo Yusuf kita belajar untuk menjadi bapak yang baik. Mengapa? Sebab tantangan besar masa kini adalah betapa sulitnya seorang laki-laki menjadi bapak yang baik di dalam keluarga. Di masa pandemi ini kita membutuhkan santo Yusuf untuk menginspirasi para bapak supaya menjadi bapak yang hebat dan terbaik di dalam keluarga.
Saya kembali ke sapaan kepada saya dari seorang pemudi tadi pagi. Saya yang tidak punya istri dan anak saja masih dipanggil seperti itu karena ada trust atau kepercayaan dan keterbukaan, bagaimana dengan para orang tua yang memiliki anak-anak. Mengapa sapaan kepada ayah dan ibu, daddy dan momy menjadi berat untuk diucapkan oleh anak-anak zaman now? Mungkin saja karena anak-anak merasa begitu jauh, mereka belum merasa benar-benar dikasihi oleh orang tuanya. Anak-anak tidak hanya mendengar perkataan ‘dikasihi’ tetapi mereka harus ‘merasa’ benar-benar dikasihi oleh orang tua.
Saya mengakhiri pemikiran ini dengan sebuah doa kepada Santo Yusuf:
Ya Santo Yusuf, tolonglah aku dengan perantaraanmu yang penuh daya kuasa dan perolehkanlah bagiku segala rahmat dan berkat rohani melalui Putra asuhmu, Yesus Kristus, Tuhan kami,sehingga dengan bertaut di dunia ini pada kuasa surgawimu, aku dapat menyampaikan segala puji syukur dan sembah sujudku kepada Allah.
Ya santo Yosef, tak pernah bosan aku merenungkan engkau dengan Kanak-Kanak Yesus tertidur pulas dalam pelukanmu.Tak berani aku mendekat, sementara Ia beristirahat begitu lelap di dadamu. Dekaplah Ia untukku, kecuplah kepala-Nya yang kudus untukku, dan mohonkanlah kepada-Nya untuk membalas kecupanku kelak saat aku menghembuskan napas terakhirku.
St Yosef, pelindung jiwa-jiwa yang berpulang, doakanlah aku. Amin.
P. John Laba, SDB