Saya memiliki kenangan manis ketika masih menjadi mahasiswa teologi di Yerusalem. Pada waktu itu kami memiliki banyak kesempatan untuk melakukan perjalanan demi melihat dan mengenal lebih dalam mengenai tempat-tempat yang lazim disebutkan di dalam Kitab Suci, terutama Kitab Suci Perjanjian Baru. Kadang-kadang kami melihat pemandangan yang menarik tentang cara bercocok tanam yang dilakukan oleh orang-orang Israel saat ini dan coba membandingkannya dengan para petani pada zaman Yesus. Israel adalah salah satu negara yang paling maju dalam bidang industri pertanian. Tanah yang tandus, padang gurun dapat diubah menjadi sebuah daerah yang hijau untuk dihuni. Tetapi lebih menarik adalah daerah Galilea yang sangat subur dengan pohon buah-buahan, sayur mayur dan gandum. Tentu sistem pertanian saat ini sangat modern dan berbeda dengan zaman dahulu sehingga daerah Galilea dapat memberi makan kepada para penghuninya sepanjang tahun.
Penginjil Matius berhasil merekam sebuah peristiwa penting di mana Yesus keluar dari rumah di Kapernaum dan duduk di pantai danau Galilea. Banyak orang datang kepadaNya untuk mendengar perkataanNya. Ia pun naik ke atas perahu dan sambil duduk Ia berbicara dengan orang-orang tersebut dalam bentuk perumpamaan. Dari atas perahu, Yesus tentu melihat daerah-daerah di pinggir danau yang sangat subur dan penuh dengan tanaman gandum. Maka Ia betbicara dengan mereka dalam bentuk perumpamaan tentang pentingnya mendengar Sabda. Ia memberi perumpamaan tentang seorang penabur yang menabur benih sesuai seleranya. Benih yang ditabur itu jatuh di tempat-tempat istimewa yaitu Pertama, di pinggir jalan sehingga burung-burung memakannya. Kedua, di tanah yang berbatu, tidak banyak tanahnya, benih segera tumbuh karena tanahnya tipis. Namun tumbuhan baru itu segera layu dan mati karena tidak berakar. Ketiga, semak berduri yang masih kecil, lama kelamaan menjadi besar, menghimpitnya dan tanaman itu mati. Keempat, tanah yang baik sehingga menghasilkan buah seratus kali lipat, enam puluh kali lipat dan tiga puluh kali lipat.
Yesus tidak mengajar orang-orang di pinggir danau tetapi berbicara (lalein) atau menyampaikan banyak hal dalam bentuk perumpamaan. Inti pembicaraan Yesus adalah tentang mendesaknya Kerajaan Allah. Artinya Kerajaan Allah sudah berada di tengah-tengah mereka. Maka mereka yang mendengar Yesus berbicara juga dengan sendirinya menerima Kerajaan Allah yang sedang Ia wartakan dan bertugas untuk mewartakannya. Namun demikian Yesus sendiri menyadari bahwa sebagai seorang penabur ulung, benih yang tidak lain adalah semua perkataanNya sebagai wujud nyata Kerajaan Allah tidak akan menghasilkan buah yang berlimpah. Ada banyak kesulitan yang akan dialami bahkan Ia sendiri akan wafat di kayu salib. Namun dengan pengalaman paskah itu, Kerajaan Allah benar-benar menunjukkan kuasa dan keagungannya serta menghasilkan buah yang berlimpah. Melalui perumpamaan ini, Yesus juga mengajak para murid untuk tidak pernah lelah atau takut mewartakan Kerajaan Allah. Mereka harus tetap berharap pada kuasa Tuhan. Tuhanlah yang akan membantu mereka untuk berkarya dan melayani KerajaanNya sehingga dapat menghasilkan buah yang berlimpah. Itu sebabnya pada akhir perikop injil, Yesus berkata: “Siapa yang bertelinga hendaklah ia mendengar”.
Satu hal yang dapat kita ambil sebagai bagian dari pengalaman rohani kita pada hari ini adalah kemampuan untuk mendengar. Tuhan sangat baik karena menciptakan dua telinga untuk mendengar dengan baik segala sesuatu di dalam hidup kita. Kita memang memiliki telinga sebagai anggota tubuh kita. Pikiran kita sendiri sebenarnya memiliki telinga bahkan hati kita sendiri memiliki telinga. Dalam bahasa Inggris, hati disebut heartdan kalau kita perhatikan kata heart maka di tengahnya ada kata ear yang berarti telinga. Apa artinya bagi kita? Ketika kita mendengar Sabda Tuhan, tidaklah cukup kita mendengarnya sebagai bunyi atau arus ujaran yang menggetarkan telinga kita sehingga dapat mendengar. Kadang kita mendengar dan memahami tetapi kadang tidak memahaminya. Tidaklah cukup kita mendengar dengan pikiran (mind)dan memahami makna kata-kata yang kita dengar. Kita harus mendengar dengan hati. Maka sabda Yesus harus didengar dengan hati karena Yesus sendiri bukan berbicara hanya dengan mulut atau dengan pikiran tetapi juga dengan hatiNya. Di dalam hati kitalah Tuhan mau berbicara dan kita siap mendengarNya (Hos 2:16). Kita dapat mendengar dengan hati kalau Roh Kudus menolong kita dan membuat kita mendengar dalam bathin apa yang kita terima dari luar. Maka kalau membaca Kitab Suci, pertama berdoalah kepada Allah Roh Kudus. Biarkan Ia membuka pikiranmu untuk memahami Sabda dan kehendakNya.
Di dalam bacaan Injil hari ini Yesus mengatakan diriNya sebagai sang Penabur yang menaburkan benih sesuai seleraNya. Benih adalah SabdaNya dan merupakan tanda nyata hadirNya Kerajaan Allah. Tempat jatuhnya benih adalah hati setiap pribadi yang mendengar Sabda dan melihat pribadi Yesus. Dari Kitab Keluaran kita mendengar bahwa orang Israel juga mendapat tanda yaitu Manna dan daging burung puyu. Mereka sudah satu setengah bulan keluar dari Mesir dan sedang berada di padang gurun antara Elim dan Sinai. Pada saat itu mereka bergumul dengan diri, dengan Musa, Harun dan Tuhan. Pergumulan itu terungkap dalam sikap bersungut-sungut tentang apa yang mereka akan minum (Kel 15:24). Maka mereka berkata: “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan Tuhan ketika kami menghadap kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun untuk membunuh kami seluruh jemaah dengan kelaparan” (Kel 16:3). Di bagian lain Kitab Suci mereka berkata: “Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak membayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus dan kering, tidak ada sesuatu apa pun kecuali manna yang kita lihat” (Bil 11:5-6). Mereka memang bersungut-sungut untuk mencoba Tuhan (Kel 17:2).
Orang-orang Israel suka bersungut-sungut karena mereka lupa segala kebaikan Tuhan. Tuhan Yesus tidak menghendaki orang yang suka bersungut-sungut (Yoh 6:13). St. Paulus juga tidak menyukai sikap bersungut-sungut apalagi ketika sedang melayani sesama. Ia pernah mengatakan, “Lakukanlah segala sesuatu dengat tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantah” (Flp 2:14). St. Yakobus mengingatkan kita supaya jangan bersungut-sungut dan saling mempersalahkan satu sama lain (Yak 5:9).Apabila orang sudah bersungut-sungut biasanya mereka pasti mau membenarkan diri dan mempersalahkan sesama dan Tuhan.
Bagaimana cara mengatasi rasa bersungut-sungut?
Ada banyak cara tetapi yang lazim misalnya pertama,kita harus mempunyai waktu untuk merenungdan memeriksa bathin dengan jujur setiap hari. Semakin kita memeriksa bathin, kita akan mengenal segala kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian kita juga dapat mencintai dan menerima diri kita dengan segala kebaikan dan kekurangan. Kedua, kita membutuhkan saat teduh, hening dan berdoa tanpa henti. Dengan sikap kontemplasi maka Tuhan akan membaharui diri kita dan kita akan terlepas dari cengkraman rasa bersungut-sungut. Ketiga, kita belajar dan mengikuti teladan Tuhan Yesus Kristus dan para kudus di surga.Tuhan Yesus tidak pernah bersungut-sungut. Ia menerima kehendak Bapa untuk menyelamatkan kita semua. Para kudus pernah bersungut-sungut tetapi Tuhan mengubah mereka dengan kasihNya dan mereka pun menjadi sempurna. Mari kita menjauhkan diri dari rasa bersungut-sungut! Orang yang bersungut-sungut adalah gambaran tempat benih yang ditaburkan itu jatuh: pinggir jalan, tanah berbatu dan semak duri. Mereka ini tidak akan menghasilkan buah yang berlimpah