Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXVIII
St. Teresia dari Avila
Rm. 4:1-8;
Mzm. 32:1-2,5,11;
Luk. 12:1-7
Bermisi di tengah badai
Pada hari ini kita mengenang St. Theresia dari Avila atau Theresia dari Yesus. Beliau adalah salah satu wanita kudus dan Pujangga Gereja. Gereja Katolik mengenal 4 wanita sebagai pujangga Gereja yakni St. Teresa dari Avila, St. Katarina dari Siena, St. Theresia dari Lisieux dan St. Hildegard dari Bingen. Ada dua perkataan St. Theresia dari Avila yang sangat menginspirasi saya hari ini. Pertama, “Kristus tidak memiliki tubuh sekarang kecuali tubuhku. Dia berdoa di dalam saya, bekerja di dalam saya, melihat melalui mata saya, berbicara melalui kata-kata saya, bekerja melalui tangan saya, berjalan dengan kaki saya dan mencintai dengan hati saya.” Perkataan ini sangat menginspirasi kita semua sebagai pengikut Kristus masa kini. Kita mengakui diri kita sebagai orang Kristen, berarti kita sekaligus mempertegas diri kita sebagai Kristus kecil di tengah dunia. Karena itu kita hidup bagi Kristus dan melakukan pekerjaan-pekerjaan Kristus. Kita mengingat perkataan St. Paulus: “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20).
Perkataan kedua. St. Theresia dari Avila berkata, “Jika Yesus Kristus tinggal dalam hati kita maka Dia adalah sahabat dan pemimpin kita yang agung. Kita dapat bertahan dalam segala situasi hidup karena Dia tetap membantu dan menguatkan kita. Dia bahkan tidak meninggalkan kita karena Dialah sahabat sejati.” Kita adalah sahabat bukan hamba. Dia sendiri menyapa kita: “Kamu adalah sahabatku!” (Yoh 15:14). Yesus adalah sahabat maka Dia akan setia mendampingi kita dalam menjalani tugas dan pelayanan sebagai misionaris di dalam Gereja. Gereja kita adalah Gereja Misioner. Tuhan Yesus tidak akan membiarkan kita melayani sendirian. Dia akan menyertai kita hingga akhir zaman untuk menghadirkan Injil di tengah dunia yang sedang dihempas badai Covid-19 dan berbagai persoalan sosial, politik dan ekonomi di tempat di mana kita berada.
Apakah anda memiliki panggilan sebagai misionaris? Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang misionaris yang sudah lebih dari dua puluh tahun melayani di tanah misi. Ia kelihatan bahagia dengan pangggilannya sebagai misionaris. Hal ini terlihat pada sharing pengalamannya, foto dan video yang dia unggah di media sosialnya dan yang ditunjukkannya sendiri. Saya bertanya kepadanya tentang kesulitan yang dia hadapi di tanah misi. Ia mengatakan bahwa salah satu kesulitannya adalah dalam berkomunikasi. Setelah lebih dari dua puluh tahun ia masih kesulitan untuk mewartakan Sabda dengan Bahasa yang dapat dipahami secara mendalam oleh umat yang dilayani. Ia sudah fasih berbahasa nasional tetapi masih harus belajar dialek-dialek di pedalaman supaya pewartaannya lebih efektif. Namun demikian ia mengakui bahwa ia tetap berani untuk mewartakan Sabda bahkan siap untuk menyerahkan nyawanya di tanah misi yang berat. Saya merasa bangga dengan kesetiaan panggilannya sebagai misionaris. Tidak semua orang bisa berani seperti dia, apalagi ketika mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan umat yang dilayaninya.
Menjadi misionaris adalah sebuah panggilan istimewa. Tentu saja misionaris itu bukan berarti harus meningalkan kampung halaman untuk melayani di tanah-tanah misi. Masing-masing pengikut Kristus memiliki panggilan bermisi secara ad intra dan ad extra yang tidak berdasar pada faktor geografis tetapi lebih kepada status iman umat. Bermisi ad extra berarti usaha untuk mewartakan injil kepada mereka yang belum mengenal Tuhan Yesus Kristus, sedangkan bermisi ad intra berarti mewartakan injil kepada mereka yang sudah mengimani Kristus. Dari kedua bentuk panggilan bermisi ini maka kita semua memiliki panggilan yang sama untuk berani mewartakan Sabda.
Tuhan Yesus dalam Injil Lukas meneguhkan kita semua untuk berani menjadi misionaris untuk mewartakan Sabda. Ia mengatakan: “Tidak ada sesuatupun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. Karena itu apa yang kamu katakan dalam gelap akan kedengaran dalam terang, dan apa yang kamu bisikkan ke telinga di dalam kamar akan diberitakan dari atas atap rumah.” (Luk 12:2-3). Yesus tidak menutup diri dalam mewartakan Injil dan menghadirkan Kerajaan Allah. Dia berani mengecam kaum Farisi dan para Ahli Taurat. Dia tidak hanya mengatakan kepada mereka “celakalah” tetapi dengan terang-terangan Ia juga mengatakan ‘Waspadalah terhadap ragi, yaitu kemunafikan orang Farisi.’ (Luk 12:1).
Di sini memang butuh keberanian sebagai misionaris yang teguh mewartakan Sabda. Para misionaris senantiasa mengalami pengalaman para Rasul yakni penderitaan bahkan kemartiran dengan menumpahkan darah-Nya bagi Yesus dan Injil-Nya. Tuhan Yesus sendiri meneguhkan para utusan misioner-Nya supaya tidak takut dengan siapapun, kecuali takut akan Allah sang pemberi hidup karena manusia tetap berharga di mata-Nya. Tuhan Yesus menyertai para misionaris yang teguh dan tekun mewartakan Injil dalam kata dan karya hingga akhir zaman.
Untuk dapat menjadi misionaris sejati maka sangat dibutuhkan iman yang teguh. Iman adalah pemberian atau karunia yang dianugerahkan Allah kepada kita melalui Roh Kudus. Iman merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah kepada kita secara percuma atau gratis. Dalam bacaan pertama St. Paulus mengingatkan kita tentang Abraham, sang Bapa kaum beriman. Ia percaya kepada Allah dan hal inilah yang diperhitungkan sebagai kebenaran. Bagi Paulus, jika Abraham dibenarkan karena perbuatannya maka ia mendapat alasan untuk bermegah tetapi bukan bermegah di hadapan Allah (Rm 4:2). Orang dibenarkan bukan karena perbuatannya tetapi semata-mata dari iman karena kasih karunia Allah. Berkaitan dengan ini Paulus mengambil dua perkataan di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yakni pertama: “Lalu percayalah Abram kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” (Kej 15:6). Kedua, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggaran-pelanggarannya, dan yang ditutupi dosa-dosanya; berbahagialah manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan kepadanya.” (Mzm 32:1-2).
Menjadi misionaris di tengah badai memang masih perlu dan harus. Tuhan membutuhkan kita untuk terus melanjutkan pekerjaan-pekerjaan di atas dunia ini. Kita berserah kepada-Nya, tidak pernah meninggalkan-Nya. Kita terus beriman kepada-Nya karena hanya Dialah yang menguatkan hidup dan panggilan misioner kita di dalam Gereja. St. Theresia dari Avila, doakamlah kami. Amen.
P. John Laba, SDB