Homili 7 April 2022

Hari Kamis, Pekan Prapaskah ke-V
Kej. 17:3-9
Mzm. 105:4-5,6-7,8-9
Yoh. 8:51-59

Dari Abram menjadi Abraham

Kita semua pasti sudah mendengar nama Abraham dan kisah hidupnya di dalam Kitab Kejadian. Nama Abram (אַבְרָם – ‘Av’ram), mendapat janji dari Tuhan Allah bahwa ia akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Dengan demikian namanya pun berubah dari Abram (bapa leluhur) menjadi Abraham (Ibrani: אַבְרָהָם – ‘Av’raham) yang berarti: “bapa sejumlah besar bangsa”. Sosok Abraham melebihi para nabi Israel sehingga dia juga disebut sebagai: אַבְרָהָם אָבִינוּ – Avraham Avinu atau Abraham bapa kami (Yes 63:16 Mat 3:9, Luk 3:8, Yoh 8:39). Kita menemukan riwayat hidupnya di dalam Kitab Kejadian 11:26-25:10, dan Riwayat singkatnya ada di dalam Kisah Para Rasul 7:2-8. Tentang daftar keturunannya langsung melalui putra-putranya Ishak dan Ismael terdapat dalam Kejadian 25:11-19. Hidup Abraham yang disapa sebagai ‘bapa kami’ dijadikan teladan iman oleh orang Yahudi, Kristen, dan Islam.

Pada hari ini kita berjumpa lagi dengan sosok ‘Bapa kami Abraham’ di dalam bacaan pertama dan bacaan Injil. Mengapa nama Abraham penting di dalam masa prapaskah ini? Pertama-tama karena nama Abraham tercatat dalam silsilah Yesus Kristus. Kita membaca di dalam Injil Matius: “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham” (Mat 1:1). Jadi sosok Abraham langsung berhubungan dengan sosok Yesus sendiri. Kedua, Abraham adalah model bagi kita karena imannya kepada Allah yang begitu setia. Tuhan mengikat perjanjian dengannya dan dia sendiri setia pada perjanjiannya dengan Tuhan. Abraham pernah berbohong, pernah berzinah dengan Hagar tetapi Tuhan memperhatikannya karena imannya yang kuat dan setia kepada Tuhan.

Kita mendengar dalam bacaan pertama, kisah perjanjian antara Tuhan dan Abram. Sebagai manusia Abram bersujud dan menyembah di hadirat Tuhan. Tuhan pun mengikat perjanjian dengan Abram yakni bahwa dia akan menjadi bapa sejumlah bangsa (Kej 17: 4). Untuk itu namanya berubah dari Abram menjadi Abraham. Perubahan nama berkaitan langsung dengan perubahan radikal dalam diri pribadi Abraham. Dia tidak menjadi Abram untuk dirinya sendiri tetapi menjadi Abraham untuk banyak orang, dan perannya adalah sebagai seorang Bapa. Konsekuensi dari perjanjian dengan Allah terungkap dalam perkataan Tuhan ini: “Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak; engkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan dari padamu akan berasal raja-raja. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu. Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.” (Kej 17:6-8).

Perjanjian antara Allah dan Abram berdampak langsung pada kehidupan pribadinya dan keturunannya. Abraham akan beranak cucu sangat banyak sehingga menjadi suatu bangsa yang besar. Raja-raja akan berasal dari keturunannya bahkan Raja dari para raja yaitu Tuhan Yesus sendiri. Abram yang menjadi Abraham ini bereksodus, keluar dari tanahnya ke sebuah negeri baru yang ditunjuk oleh Tuhan, penuh susu dan madu. Kemakmuran, kesejahteraan akan dinikmati Abraham. Tuhan berjanji dan Abraham serta keturunannya terikat pada perjanjian ini.

Dalam Injil Yohanes kita mendengar sosok Abraham dipanggil sebagai ‘Bapa kami’ oleh orang-orang Yahudi di hadapan Yesus. Ketika itu Tuhan Yesus, Anak Abraham berkata: “Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya.” (Yoh 8:51). Orang-orang Yahudi berpegang teguh pada tradisi mereka sehingga pikiran mereka langsung tertuju pada sosok Abraham yang mereka sapa sebagai Bapa. Mereka bahkan bertanya kepada Yesus: “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kita Abraham, yang telah mati! Nabi-nabipun telah mati; dengan siapakah Engkau samakan diri-Mu?” (Yoh 8:53). Tuhan Yesus membuka pikiran mereka dengan berkata: “Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita.” (Yoh 8:56).

Tuhan Yesus membuka wawasan mereka untuk percaya kepada-Nya namun rasanya begitu sulit. Orang-orang Yahudi lebih senang menjadi ‘hamba dosa’ dan ‘mati’ dari pada hidup karena percaya kepada Yesus Kristus. Namun kesabaran Tuhan nampak dalam perkataan-perkataan Yesus untuk menyadarkan mereka supaya mengenal dan percaya kepada-Nya. Iman kepada Yesus yang bersatu dengan Bapa di surga yang juga diimani oleh Abraham. Tuhan Yesus berkata: “Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikitpun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami, padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia. Dan jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia, maka Aku adalah pendusta, sama seperti kamu, tetapi Aku mengenal Dia dan Aku menuruti firman-Nya.” (Yoh 8: 54-55). Yesus sebagai Anak Allah bahkan ada sebelum adanya Abraham. Di sini kita melihat relasi antara Yesus sebagai Anak dan Allah sebagai Bapa, tentu saja Roh Kudus sebagai Tritunggal Mahakudus.

Dialog yang berlangsung antara Tuhan Yesus dan orang-orang Yahudi sebenarnya mengarahkan pada satu hal ini: pertobatan untuk mengalami keselamatan dari Allah kita. Abraham bereksodus dari negeri asalnya ke tempat yang ditunjuk oleh Tuhan. Kita pun perlu bereksodus dari dunia kita yang sempit, penuh dosa untuk masuk ke negeri yang baru yang kaya akan rahmat Tuhan (pertobatan). Kita perlu berubah dari hidup lama menjadi baru di dalam Kristus. Sekali lagi perubahan nama menunjukkan perubahan hidup pribadi kita. Kita juga berusaha untuk melakukan dengan baik janji baptis kita supaya sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan seperti Abraham bapa kita.

P. John Laba, SDB