Homili 12 April 2022

HARI SELASA DALAM PEKAN SUCI
Yes. 49:1-6
Mzm. 71:1-2,3-4a,5-6b,15,17
Yoh. 13:21-33,36-38

Menakar pemuridan kita

Kita berada di hari Selasa Pekan Suci. Permenungan hari ini saya fokuskan pada usaha untuk menakar pemuridan kita saat ini. Kita semua sudah dibaptis dan merasa begitu bangga sebagai orang yang dibaptis. Kita semua mengakui diri sebagai murid-murid Kristus. Namun pertanyaannya adalah apakah perasaan bangga itu juga menjadi nyata dalam perbuatan-perbuatan kita? Kita mengatakan diri kita sebagai ‘orang Kristen’ artinya ‘Kristus kecil’ di dunia ini namun apakah kita memang sungguh-sungguh Kristiani? Apakah karakter Kristus benar-benar ada di dalam diri kita masing-masing?

Pada hari ini kita mendengar kisah Injil yang sangat menarik tentang kehidupan Yesus dan para murid-Nya. Yesus menunjukkan diri-Nya ‘sungguh manusia’ dengan memiliki hati yang terharu sebagaimana diceritakan penginjil Yohanes. Hati Yesus yang Mahakudus terharu, mengalir belas kasih-Nya. Kali ini hati Yesus terharu karena perilaku seorang murid-Nya yang berkhianat. Yesus berkata : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.” (Yoh 13:21). Yesus sudah tahu namun Dia tidak bersikap negatif terhadap dia yang akan berkhianat dan menyerahkan-Nya kepada orang-orang Yahudi. Tentu saja perkataan Tuhan Yesus ini mengundang tanda tanya besar dari para murid-Nya. Mereka saling memandang satu sama lain, nampak wajah-wajah penuh keraguan. Hanya Yudas Iskariot yang tahu apa yang akan dia lakukan bagi sang Maestronya.

Pada saat itu murid yang dikasihi Yesus yakni Yohanes berada di sebelah kanan-Nya. Simon Petrus memberi aba-aba kepadanya untuk bertanya langsung kepada Yesus: “Tanyalah siapa yang dimaksudkan-Nya!” (Yoh 13:24). Murid yang dikasihi Yesus memberanikan diri untuk bertanya tentang siapa yang Dia maksudkan. Hebatnya Tuhan Yesus adalah Dia tidak menyebut nama orang secara langsung. Dia boleh memanggil dengan nama sendiri, tetapi menyebut nama orang di depan umum itu tidak elok apa lagi kalau menyangkut hal-hal tertentu yang sensitif. Yesus hanya memberi sebuah deskripsi umum: “Dialah itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya.” (Yoh 13: 26). Yesus sendiri bahkan mengambil roti, mencelupkannya dan memberikannya kepada Yudas, anak Simon Iskariot. Penginjil Yohanes melaporkan bahwa sesudah Yudas menerima roti itu, ia kerasukan Iblis. Sebab itu Yesus berkata kepadanya: “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera.” (Yoh 13:27). Para murid sendiri tidak mengetahui rencana jahat Yudas Iskariot ini dan hanya menduga-duga maksud kepergiannya.

Selanjutnya Tuhan Yesus menunjukkan jati diri-Nya sebagai Anak Allah. Ia berkata kepada para murid-Nya: “Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia. Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia, Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera. Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.” (Yoh 13:31-33). Relasi Bapa dan Putera dan Roh Kudus dinyatakan di sini. Allah Bapa mempermuliakan Yesus dan Yesus sebagai Anak mempermuliakan Bapa dalam Roh Kudus. Ini menjadi momen penting di mana perutusan Yesus menjadi nyata. Yesus Kristus menjadi Tuhan bagi manusia.

Reaksi dari Simon Petrus kepada Yesus adalah mencoba menghalangi Yesus supaya tidak mengurbankan diri-Nya. Simon Petrus berani bertanya kepada Tuhan Yesus: “Tuhan, ke manakah Engkau pergi? Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!”” (Yoh 13:36-37). Tuhan Yesus memandang Simon Petrus dengan penuh kasih dan berkata kepadanya: “Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” (Yoh 13:28).

Kisah Injil ini menampilkan tiga sosok murid yang luar biasa. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda, namun mereka pernah bersama-sama dengan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Sosok pertama adalah Yudas Iskariot. Beliau dipilih sebagai bendahara di dalam komunitas Yesus. Kisah sebelum ini, dia keberatan dengan penggunaan minyak narwastu oleh Maria untuk mengoles kaki Yesus. Namun ia sebenarnya sosok yang suka menyalahgunakan keuangan komunitas, bahkan menjadi Yesus sang Gurunya saja dia jual dengan harga tiga puluh perak. Sosok kedua adalah Simon Petrus. Semangat sebagai gembala dan leadership sangat dominan. Dialah yang berinisiatif untuk meminta Yohanes dan menanyakan siapakah dalang kesedihan hati Yesus di perjamuan malam terakhir. Simon Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali dan nantinya membaharui penyangkalannya ini dengan mengatakan: “Tuhan Engkau tahu bahwa Aku mengasihi Engkau.” Dan dia setia mengikuti Yesus yang diakunya sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Ketiga, Yohanes, sang murid yang dikasihi Yesus. Hatinya murni dan suci, selalu dekat dengan Tuhan sebagai murid inti bersama Simon Petrus dan Yakobus. Yohaneslah yang bertanya perihal siapa yang akan mengkhianati Yesus. Ketiga, murid ini memiliki keunikan dan keindahan. Tentu saja pemenangnya adalah Yesus Kristus, sang hamba Yahwe dan sekaligus terang bagi bangsa-bangsa.

Bagaimana dengan kita saat ini. Kita adalah murid Kristus karena dibaptis dan berusaha untuk mengikuti, mengiringi Yesus dari dekat. Mari kita menganalogikan diri kita dengan Yudas Iskariot. Betapa esktrimnya diri kita, ketika suatu saat kita begitu baik dengan Tuhan, namun akhirnya menjadi pengkhianat. Berapa orang katolik yang pernah bangga dengan baptisannya tetapi pada akhirnya murtad. Berapa seminaris, biarawan dan biarawati yang sebelumnya begitu aktif tetapi akhirnya menjadi mualaf atau penganut yang agama yang lain. Kita adalah Simon Petrus yang menggebu-gebu dalam mengakui Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Simon Petrus yang berusaha untuk mengikuti Yesus dan membela-Nya. Namun pada akhirnya menyangkal Yesus 3 kali. Yesus membaharuinya dengan janji untuk mengasihi Yesus lebih dari yang lain. Kita tidak jauh berbeda dengan Simon Petrus. Kita berkali-kali menyangkal Yesus dan susah untuk setia pada janji kasih kita kepada Yesus. Kita adalah Yohanes yang bahagia sebagai pengikut Kristus dan membuka hati kepada-Nya. Bahwa Yohanes selaku anak Zebedeus memiliki ambisi tertentu di hadapan Yesus, tetapi dialah yang setia sampai tuntas. Dia mengikuti Yesus hingga di bawah kaki salib. Dia juga yang turut menyaksikan makam kosong dan akhirnya mengakui ‘Itu Tuhan” (Yoh 21:7). Lalu siapakah anda sebenarnya? Yudas Iskariot, Simon Petrus atau Yohanes. Mari menakar pemuridan kita.

P. John Laba, SDB