Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XIII
Am. 8:4-6,9-12
Mzm. 119:2,10,20,30,40,131
Mat. 9:9-13
Membangun persahabatan yang mendalam
Kita semua pasti akrab dengan tiga istilah ini: teman, kawan dan sahabat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kita mendapat penjelasan singkat tentang ketiga istilah ini. Teman adalah seorang atau pribadi yang ada bersama kita dalam melakukan sesuatu, bekerja, berjalan, bercakap-cakap dan sifatnya adalah sebagai pelengkap diri seseorang. Sebuah pertemanan dapat terjadi karena ada kebersamaan dalam suatu periode tertentu seperti di saat masih bersekolah atau ketika berada tempat kerja. Kawan adalah orang atau pribadi yang sudah lama saling mengenal. Orang itu sering berhubungan dengan kita, misalnya dalam hal belajar, bermain atau bekerja. Sahabat adalah seseorang yang selalu hadir saat kita merasa senang atau bahagia, suka atau pun duka. Dari ketika pemahaman ini maka kita bisa melihat bahwa tidak semua teman dan kawan itu adalah sahabat dalam hidup kita. Ada yang hanya sekedar teman, kawan dan lebih sulit memiliki sahabat. Sahabat itu tidak pernah tertawa saat kita menangis. Dia akan berempati dengan kita sedangkan teman dan kawan bisa saja tertawa saat kita menderita dan berkata ‘EGP’ atau ‘Emang Gue Pikirin’.
Yesus Kristus adalah Anak Allah. Dia tidak menyapa para murid sebagai teman dan kawan tetapi Ia menyapa mereka sebagai sahabat. Perhatikan perkataan Yesus dalam amanat perpisahan dengan para murid-Nya: “Kamu adalah sahabat-sahabat-Ku jika kamu melakukan apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15:14-15). Yesus sebagai Anak Allah menyapa para murid-Nya sebagai sahabat bukan hamba padahal sebelum mengikuti-Nya, mereka adalah pribadi-pribadi yang rapuh, mereka sudah memiliki sisi gelap tertentu. Benar apa yang kita doakan dalam Ekaristi bersama bahwa Tuhan Yesus itu tidak memperhitungkan dosa-dosa kita tetapi yang dilihat pada kita sahabat-sahabat-Nya adalah iman. Iman kepada-Nya menyelamatkan kita semua.
Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang bagus. Kisah tentang panggilan Matius sang pemungut cukai untuk menjadi murid Yesus. Matius atau yang juga dikenal dengan nama Lewi adalah anak Alfeus (Mrk 2:14), nantinya menjadi Matius, Pengarang Injil. Ia tidak sungkan untuk menunjukkan dirinya sebagai pemungut cukai (Mat 10:3). Sikap Matius ini mirip dengan Paulus yang bersaksi tentang penampakkan Yesus setelah kebangkitan-Nya: “Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya.” (1Kor 15:8).
Apa yang terjadi dengan Matius?
Dia menceritakan pengalaman pribadin-Nya. Kala itu ia sedang duduk di rumah cukai. Tuhan Yesus mungkin sudah beberapa kali mengamati keberadaan Matius sehingga Ia memanggilnya: “Ikutlah Aku.” Dan Matius menjawabi panggilan Tuhan Yesus ini dengan segera berdiri dan mengikuti Yesus. Kita dapat membayangkan bahwa yang namanya membangun persahabatan yang mendalam dengan Tuhan Yesus itu tidaklah mudah. Namun yang terlihat di dalam diri Matius adalah keterbukaan, kesiapsediaan untuk meninggalkan hidup lama dan memulai hidup baru.
Matius adalah sosok pribadi yang tahu bersyukur. Ia bersyukur karena Tuhan menunjukkan kasih setia-Nya kepadanya sebagai manusia yang berdosa. Sikap Matius ini menjadi nyata ketika Yesus dan para murid datang ke rumah-Nya untuk makan bersamanya dan juga bersama para pemungut cukai. Sikap bersyukur atas perubahan merupakan sikap positif dari Matius. Jarang ada orang berdosa menyadari pentingnya sikap bersyukur. Mereka lebih suka mencari keuntungan untuk diri mereka sendiri. Matius melakukan semuanya ini dengan penuh sukacita. Semua orang dibawanya kepada Kristus. Ada sukacita pertobatan dalam diri Matius.
Perbuatan baik yang dilakukan Yesus dan kesiapan Matius untuk berubah merupakan sebuah tanda persahabatan yang bermakna. Yesus bersahabat dengan Matius dan persahabatan mereka mendalam. Matius sang pemungut cukai menjadi seorang Pengarang Injil. Nama Yesus semakin dimuliakan di mana-mana karena karya dan tanda. Namun di tempat Matius ini, orang Yahudi justru berpikir negatif tentang Yesus. Sebab itu Yesus berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mat 9:12-13). Persahabatan yang mendalam menjadi tanda bahwa kehendak Kristus terlaksana dengan baik. Yesus datang untuk menyelamatkan manusia yang berdosa dan membangun persahabatan dengan mereka.
P. John Laba, SDB