Homili 5 Februari 2023 – Hari Minggu Biasa ke-V/A

Hari Minggu Biasa V
Yes. 58:7-10
Mzm. 112:4-5,6-7,8a,9
1Kor. 2:1-5
Mat. 5:13-16

Saya hanya mengetahui Yesus Kristus

Saya selalu mengenang kesaksian seorang misionaris kepada saya beberapa tahun silam. Ia bercerita kepada saya bahwa ia pernah mendapat perutusan baru di sebuah daerah yang sungguh-sungguh baru. Ia sendiri merasa bahwa ia akan mengalami banyak kesulitan di tempat yang baru ini. Namun kepercayaan kongregasi melalui pimpinan adalah kehendak Tuhan baginya. Dalam discernment pribadinya, dia masih memiliki satu-satunya harapan yaitu pada kasih Tuhan Yesus Kristus. Baginya kasih Tuhan Yesus Kristus adalah segalanya karena sangat menguatkan dan memberanikan dia untuk terus mengabdikan dirinya di tanah misi yang baru ini. Dia melewati banyak rintangan dan hingga saat ini dia merasakan kasih dan penyertaan Tuhan. Kesaksian hidupnya sebagai misionaris ini menjadi garam dan terang bagi orang-orang setempat. Di tanah misi itupun perlahan namun pasti sudah terbentuk paroki-paroki dan stasi misioner, juga beberapa lembaga pendidikan untuk melayani umat setempat. Dia juga merasa terdorong oleh perkataan santa Theresia dari Kalkuta untuk memilih karya misi yang paling sulit karena ada keyakinan akan pertolongan Tuhan. Keyakinan ini benar-benar terjadi di dalam dirinya.

Pengalaman misionaris ini mirip dengan pengalaman pribadi santo Paulus yang menjadi garam dan terang bagi sesama yang lain. Dalam bacaan kedua santo Paulus menceritakan pengalaman misionernya di Korintus. Dia sebagai seorang misionaris tidak datang ke Korintus dengan kata-kata yang indah dan muluk-muluk atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada mereka. Paulus mengakui diri sebagai misionaris yang hanya mengetahui Yesus Kristus yang tersalib. Kristus tersalib adalah kekuatan pewartaannya yang dahsyat dan mengubah hidup banyak orang di Korintus saat itu. Paulus sebagai misionaris juga mengenal dirinya. Dia mengakui bahwa dia tidak mengandalkan dirinya sendiri karena dia masih memiliki banyak kelemahan dan ketakutan yang gentar. Hanya Roh Kudus saja yang mengilhami jemaat di Korintus untuk bergantung pada kekuatan Allah bukan pada kekuatan manusia Paulus semata.

Sikap Paulus ini sangatlah positif. Dia menunjukkan dirinya sebagai garam dan terang bagi jemaat di Korintus. Artinya, kesaksian hidupnya telah mengubah begitu banyak orang di Korintus yang hidup dalam kegelapan supaya dapat mengalami terang Tuhan Yesus Kristus tersalib. Paulus tidak mengandalkan dirinya sendiri tetapi Tuhan sendiri yang menjadi andalannya di tanah misi. Kalau saja dia mengandalkan dirinya maka tentu yang ada juga hanya kegagalan demi kegagalan. Ini adalah satu kata yang indah dari santo Paulus: “Saya hanya mengetahui Yesus Kristus”. Yesus adalah andalan bagi santo Paulus di tanah misi.

Tuhan Yesus menyapa kita pada hari Minggu Biasa ke-V ini. Ada dua sapaan yang indah dan meneguhkan. Pertama, “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” (Mat 5:13). Tuhan Yesus selalu menggunakan perumpamaan sesuai dengan konteks setempat. Pada waktu itu Dia sedang mengajar para murid-Nya di atas bukit Sabda bahagia, dekat dengan danau Galilea. Mereka semua tentu mengetahui bahwa air di danau Galilea ini akan mengalir keluar dari danau dan mengalir sejauh 105 km sebagai sungai Yordan dan bermuara di laut mati yang kadar garamnya 28 kali lebih asin dari laut tengah yang mereka miliki saat itu. Sebab itu Yesus menggunakan perumpamaan garam yang kiranya cocok dengan pengalaman dan pengenalan mereka. Garam itu dapat memberi rasa kepada makanan kalau ia rela kehilangan jati diri, wujudnya sendiri, masuk ke dalam makanan dan dari dalam makanan itu ia memberi rasa kepada makanan itu. Tuhan Yesus menghendaki agar dalam menjalani perutusan misioner, kita perlu masuk ke dalam hidup sesama, dalam pengalaman hidup mereka yang nyata dan dari dalamnya kita memberi kesaksian tentang Tuhan Yesus Kristus. Dan hal ini berkaitan dengan segala perbuatan baik, tutur kata kita yang dapat mengubah hidup sesama kita menjadi lebih baik lagi.

Kedua, Yesus berkata: “Kamu adalah terang dunia.” (Mat 5:14). Lagi-lagi Tuhan Yesus berbicara sesuai dengan konteks keberadaan mereka. Pada saat itu mereka sedang berada di atas bukit Sabda Bahagia. Dari tempat ini pada malam hari mereka bisa melihat terang lampu yang berasal dari kota-kota dan desa-desa yang ada di pegunungan sekitar danau Galilea. Dari situ mereka tahu bahwa ada orang yang menghuni daerah-daerah itu. Lampu-lampu di rumah selalu diletakkan di tempat yang tinggi supaya kegelapan tidak menguasai ruangan di dalam rumah itu. Kalau saja lampu di sembunyikan maka ruangan itu menjadi gelap dan kita tidak dapat melihat apa-apa. Harapan Yesus adalah: “Sebab itu terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat 5:16). Yesus adalah terang dunia (Yoh 8:12). Dalam prolog Injil Yohanes dikatakan: “Yesus adalah terang yang sesungguhnya” (Yoh 1:9). Yesus menerangi hidup kita dengan segala perbuatan baik-Nya dan kita pun belajar untuk menyerupai-Nya sebagai terang di dunia saat ini.

Apa yang kiranya dapat kita lakukan untuk menjadi garam dan terang bagi sesama di dunia masa kini?

Nabi Yesaya dalam bacaan pertama memanggil kita untuk terus bersaksi sebagai anak-anak Tuhan dalam hidup setiap hari. Caranya adalah dengan melakukan perbuatan-perbuatan kerahiman ilahi yang nyata. Inilah perkataan nabi Yesaya kepada kita hari ini: “Supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:7). Semua ini adalah perbuatan baik yang menjadi terang yang merekah di dalam hidup bersama. Sebaliknya, tanpa perbuatan kasih dalam hidup ini maka yang ada hanyalah kegelapan semata.

Pada hari ini kita berusaha untuk menjadi serupa dengan Tuhan Yesus sendiri yang datang ke dunia sebagai Terang sejati atau Terang yang sesungguhnya. Kita berusaha untuk menjadi garam dan terang melalui perbuatan-perbuatan baik. Mari kita memandang Tuhan Yesus. Hanya pada-Nya kita mendapatkan segalanya dan bersaksi tentang segala kasih dan kebaikan, garam dan terang sejati.

P. John Laba, SDB