Homili 7 Februari 2023

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-V
Kej. 1:20-2:4a
Mzm. 8:4-5,6-7,8-9
Mrk. 7:1-13

Tuhan Allah kita Luar Biasa

Hari sebelumnya yakni Hari Senin Pekan Biasa ke-V, kita membaca kisah penciptaan hari pertama sampai hari yang keempat di dalam Kitab Kejadian. Pada hari ini kita membaca kelanjutan kisah penciptaan pada hari kelima dan keenam serta hari ketujuh sebagai hari istirahat bagi Tuhan. Pada hari kelima Tuhan menciptakan segala binatang yang hidup di bumi, baik yang hidup di darat, air ataupun udara. (Kej. 1:20-23 ). Selanjutnya pada hari keenam, Tuhan menciptakan manusia sebagai citra Allah diciptakan-Nya laki-laki dan perempuan untuk tinggal dan beranak cucu di bumi dan mengusahakan apa yang ada dibumi (Kej. 1:24-31). Tuhan Allah selalu menunjukkan sesuatu yang bagus: “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” Allah kita luar biasa. Dia tidak hanya menciptakan, Dia juga yang pertama jatuh cinta pada segala ciptaan yang dinilai-Nya ‘sungguh amat baik’.

Dari kisah penciptaan ini, saya sangat tertarik dengan kisah penciptaan manusia pada hari yang keenam. Penciptaan menusia merupakan puncak dari segala ciptaan Tuhan. Tuhan jatuh cinta pada manusia dan memberi berkat berlimpah kepadanya. Perhatikan kutipan ini: “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” (Kej 1:27-30).

Lihatlah keluhuran dan kemuliaan manusia sebagai ciptaan Tuhan pada hari keenam ini. Manusia sebagai laki-laki dan perempuan diciptakan sesuai dengan wajah atau rupa Allah sendiri. Tuhan melengkapi manusia dengan memberikan berkat perdana-Nya kepada manusia untuk beranak cucu, bertambah banyak, memenuhi muka bumi dan menjadi administrator bagi segala ciptaan dalam hal ini hewan dan tumbuhan. Tuhan begitu murah hati dan memberikan segalanya bagi manusia. Bagi saya, Allah yang kita imani begitu sempurna, kudus dan tak bercacat. Dia menghendaki supaya manusia juga menjadi sempurna, kudus dan tak bercacat di atas bumi ini. Dia juga memiliki waktu untuk beristirahat dan diharapkan semua makhluk terutama manusia juga beristirahat bersama Dia.

Tuhan Allah menciptakan manusia dan memberikan kemuliaan kepada manusia. Namun sayang sekali karena setiap manusia tidak saling memuliakan satu sama lain. Ada kecenderungan manusia untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Manusia tidak menghargai sesama manusia yang lain. Kisah Injil ini menjadi sebuah bukti bahwa manusia yang memiliki kemuliaan Tuhan itu saling mencari kesalahan satu sama lain. Manusia saling menyudutkan satu sama lain. Perhatikan sikap orang Farisi dan para ahli Taurat yang legalistis di dalam Injil Markus yang kita baca pada hari ini terutama ketika mereka bertanya kepada Yesus: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” (Mrk 7:5).

Tuhan Yesus mengoreksi cara pandang kaum Farisi dan para ahli Taurat yang bersifat legalistis dan mengabaikan kasih dan kebaikan Tuhan. Inilah koreksi dari Tuhan Yesus kepada kaum Farisi: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Mrk 7:6-9).

Tuhan menciptakan kita semua baik adanya, mulia adanya tetapi dalam hidup setiap hari sifat Farisi dan legalis para ahli Taurat masih melekat juga di dalam hidup dan karya kita. Dalam hidup menggereja, betapa kita menilai dan mengadili sesama melampaui kaum Farisi, para Ahli Taurat dan Tuhan sendiri. Tanpa kita sadari kita begitu sombong dan mentuhankan diri kita sendiri karena kita menganggap orang lain begitu rendah dan berdosa. Padahal kita sama-sama sebagai manusia yang lemah dan berdosa. Sebab itu mari kita berubah dan saling menguatkan satu sama lain karena kita memiliki Tuhan Allah yang luar biasa. Tuhan itu satu untuk semua bukan hanya untuk orang atau kelompok tertentu. Dia menciptakan segalanya untuk kita semua. Maka mari kita menjadi sesama bagi sesama manusia yang lain.

P. John Laba, SDB