Homili 9 Februari 2023

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-V
Kej. 2:18-25
Mzm. 128:1-2,3,4-5
Mrk. 7:24-30

Dua Perempuan yang Hebat!

Kita selalu menggunakan dua kata yang berhubungan dengan gender yakni perempuan dan Wanita. Dalam KBBI daring, perempuan dan wanita cenderung didefinisikan berdasarkan kategori anatomi dan fisiologi, khususnya berkenaan dengan fungsi reproduksinya, sedangkan pembedaan antara keduanya hanya terletak pada aspek usia saja. Misalnya kata perempuan didefinisikan sebagai manusia yang memiliki kelamin perempuan, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui anak. Kata wanita didefinisikan sebagai perempuan dewasa. Saya memilih menggunakan kata perempuan dalam renungan saya hari ini berdasarkan teks-teks suci yang kita baca pada hari ini.

Kisah penciptaan manusia di dalam Kitab Kejadian berlanjut. Tuhan melihat kebutuhan manusia pertama maka Ia memiliki ide untuk menyempurnakan manusia pertama. Tuhan Allah sendiri bersabda di dalam diri-Nya: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kej 2:18). Lihatlah bahwa Tuhan yang memiliki rencana dan kehendak untuk mencipta. Dia ingin membahagiakan manusia yang diciptakan begitu mulia dan sungguh amat baik adanya. Kehendak Tuhan adalah menciptakan manusia baru yang berperan sebagai ‘penolong’ yang ‘sepadan’ bagi manusia pertama. Tuhan membuat manusia perdana tidur nyenyak dan mengambil salah satu tulang rusuknya. Tulang rusuk yang diambil diganti dengan daging. Dari tulang rusuk itu Tuhan membangun seorang perempuan yang sepadan dengan manusia pertama. Manusia pertama disebut Adam dan manusia baru yang diciptakan sepadan diberi nama Hawa.

Adam dalam Bahasa Ibrani אדם – ‘ÂDÂM, mendapat penolong yang sepadan dengan hadirnya seorang perempuan yang dinamai Hawa (Ibrani, חוה – KHAVÂH). Hawa adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sepadan dengan Adam. Adam sendiri ketika membuka matanya, ia mengakui kesepadanan ini dengan mengatakan: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Kej 2:23). Perkataan Adam ini menjadi dasar yang kuat untuk persekutuan kasih suami dan istri: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” (Kej 2:24-25).

Rencana Tuhan selalu indah dan tepat pada waktu. Ia tidak mau membiarkan manusia pertama menyendiri karena tidak sepadan dengan hewan-hewan di sekitarnya. Mengapa? Karena manusia pertama hanya bisa memberi nama tetapi dia tidak sepadan dengan mereka. Perhatikanlah kutipan Sabda ini: “Tuhan Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.” (Kej 2:19-20). Maka manusia pertama atau Adam memang membutuhkan penolong yang sepadan. Tuhan memberinya sosok seorang perempuan hebat yang menjadi ibu dari segala yang hidup yakni Hawa atau Eva.

Hawa atau Eva adalah perempuan yang hebat, terlepas dari kelemahannya ketika ia jatuh ke dalam dosa pertama. Dia tetaplah hebat karena sepadan dengan Adam dan merupakan ibu dari segala yang hidup. Hawa sendiri membentuk kesatuan dengan manusia pertama (Adam) sebagai penolongnya yang sederajat. Gambaran bahwa Hawa dibentuk dari manusia pertama itu sama sekali tidak mengungkapkan sesuatu tentang asal-kejadiannya, melainkan hendak menekankan hubungan erat laki-laki dan perempuan terutama bahwa keduanya menjadi satu daging.

Dalam bacaan Injil kita menjumpai seorang perempuan, ibu yang hebat, tanpa nama. Dia memiliki seorang anak perempuan, tanpa nama dan sedang kerasukan setan. Dia tinggal di daerah Tirus, berkebangsaan Siro Fenisia, sebuah daerah di luar komunitas Yahudi. Maka mereka layak dianggap kafir. Terlepas dari semua label yang diberikan kepada perempuan di daerah Tirus ini, dia menunjukkan kepada kita imannya yang begitu besar kepada Tuhan Yesus. Ia tidak malu-malu datang kepada Yesus dan memohon supaya Yesus menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan. Imannya kepada Tuhan Yesus menyelamatkan anaknya.

Perempuan ini hebat karena dia tidak malu untuk memohon keselamatan dari Tuhan Yesus bagi anaknya. Maka meskipun hanya remah-remah saja yang dijatuhkan dari atas meja, sudah cukup baginya untuk memperoleh keselamatan bagi anaknya. Iman wanita di luar komunitas Yahudi ini menantang kita untuk melihat seberapa besar iman kita kepada Tuhan Yesus sendiri. Banyak kali iman kita kepada Yesus itu seperti bekicot, penakut, tidak berani bersaksi tentang iman kita. Padahal iman itu menyelamatkan kita dan menyelamatkan sesama.

Dua perempuan hebat menginspirasi kita hari ini. Seorang perempuan yang menjadi ibu segala yang hidup sepadan dengan manusia pertama. Seorang perempuan di luar komunitas Yahudi yang mengimani Yesus sehingga keselamatan Yesus menjadi keselamatan universal. Sungguh luar biasa dan menginspirasi kita.

P. John Laba, SDB