Homili 17 Februari 2023

Hari Jumat, pekan Biasa ke-VI
Kej. 11:1-9
Mzm. 33:10-11,12-13,14-15
Mrk. 8:34-9:1

Mengikuti Yesus Keputusanku

Banyak di antara kita yang mengenal lagu ‘Mengikuti Yesus keputusanku’. Lagu ini merupakan buah dari pengalaman pribadi seorang lelaki berasal dari Assam, sebuah desa di Timur Laut India. Ketika itu dia bersama seluruh keluarganya memutuskan untuk menerima dan mengimani Tuhan Yesus Kristus pada pertengahan abad ke-XIX. Dia sekeluarga sempat dipaksa untuk menolak Yesus yang diimaninya namun dia tetap pada keputusannya untuk mengikuti Yesus. Ia berkata “I have decided to follow Jesus” (Saya telah mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus). Ia juga diancam kepalanya dipenggal oleh kepala suku namun ia tetap berprinsip: “Though no one joins me, still I will follow” (Saya tetap akan mengikuti Yesus meskipun saya sendirian saja). Perlahan-lahan istrinya dibunuh dan dia pun dibunuh dengan tragis. Sambil dieksekusi ia menyanyi: “The cross before me, the world behind me” (Salib di depanku, dunia di belakangku”. Keberanian bahkan kemartirannya ini membuat kepala suku dan semua pendudukanya menjadi pengikut Yesus. Kisah ini sangat terkenal sehingga pada tahun 1959, William Jensen Reynold membuat sebuah aransemen lagu ini dan dikenal luas hingga saat ini. Bagian lirik lagu yang menginspirasi adalah: “Mengikut Yesus keputusanku (3x). Ku tak ingkar (2x). Tetap ku ikut walau sendiri (3x). Ku tak ingkar (2x). Salib di depan, dunia di b’lakang (3x).” Untuk mendengar lagunya silakan klik di sini: https://youtu.be/SZI6N6xBnLU

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang menarik perhatian kita tentang syarat untuk mengikuti Yesus. Tuhan Yesus berkata kepada orang banyak dan para murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mrk 8:34). Kita membayangkan Yesus sedang memandang para murid dan orang banyak. Sorot mata-Nya penuh kasih kepada mereka sambil meningatkan mereka yang mau mengikuti-Nya harus menyangkal diri-Nya. Apa artinya menyangkal diri? Kita dapat menyangkal diri kita kalau kita sungguh mengerti dan percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya keselamatan kita sebab terlepas dari Tuhan kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:5). Tuhan menguasai hidup kita maka Tuhanlah yang hidup di dalam diri kita. Santo Paulus berkata: “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20). Tuhanlah segalanya, Tuhan menjadi nomor satu bagiku.

Selain menyangkal diri, untuk dapat mengikuti Yesus kita harus berani memikul salib. Salib adalah semua pengalaman hidup berupa pengurbanan diri, penderitaan bahkan nyawa menjadi taruhan supaya orang lain menjadi bahagia dan mengalami keselamatan. Salib Kristus adalah pengurbanan Kristus ketika menderita, sengsara, dan wafat dengan menumpahkan darah di salib supaya kita selamat. Salib bagi orang tua adalah pengurbanan hidup mereka, penderitaan yang mereka alami supaya anak-anaknya menjadi baik. Salib seorang suami atau istri adalah pengurbanan hidup yang mereka lakukan supaya pasangan hidupnya bertobat, bahagia dan sejahtera. Kita semua memiliki salib yang kita pikul dalam mengikuti Yesus supaya sesama kita bisa berbahagia dan memperoleh keselamatan.

Dengan menyangkal diri dan memikul salib ini maka kita layak mengikuti jejak Tuhan Yesus Kristus sendiri. Kita mengikuti Yesus berarti kita mampu memberi segalanya kepada Tuhan. Tuhan Yesus berkata: “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya.” (Mrk 8:35-36). Dalam sejarah gereja, kita bisa belajar dari kehidupan para martir yang tak segan-segan kehilangan nyawa supaya mereka selamat. Inilah semangat menyangkal diri dan memikul salib dalam hidup pengikut Kristus. Kemartiran adalah jalan yang tepat untuk bersaksi tentang kasih dan kebaikan Tuhan. Tentu saja saat ini kemartiran kita bukan lagi dengan menumpahkan darah melainkan dengan perbuatan-perbuatan kasih.

Apa yang harus kita ubah dalam diri kita untuk layak mengikuti Kristus?

Pertama, kita perlu rendah hati di hadirat Tuhan. Kerendahan hati merupakan kebajikan yang menjadi induk dari kebajikan-kebajikan yang lain. Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah menara Babel yang menjadi symbol kecongkakan manusia di hadirat Tuhan. Manusia menjadi sombong dan berpikir bahwa mereka melebihi Tuhan dan bisa melawan-Nya dengan karya tangannya. Padahal manusia itu rapuh seperti batu bata buatan tangan mereka ketika membangun menara Babel. Anda dan saya masih memiliki menara Babel saat ini. Akibatnya kita melihat sesama hanya bayang-bayang kerdil saja, padahal kita juga sebenarnya rapuh di hadirat Tuhan.

Kedua, kepasrahan kepada Tuhan. Tuhanlah yang memiliki kuasa atas hidup kita. Dia daoat melakukan apa saja untuk mengubah hidup kita. Dalam bacaan pertama, Tuhan mengacaukan bahasa manusia dan ternyata manusia tidak berdaya di hadapan Tuhan. Kalau saja kita berpasrah pada Tuhan dengan menyangkal diri dan memikul salib maka hubungan kita dengan Tuhan dan sesama pastinya baik-baik saja.

Mari kita mengubah kiblat hidup kita dan mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus sampai tuntas. Mari kita tidak gentar untuk memberi diri kita kepada Tuhan.

P. John Laba, SDB