Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-VI
Ibr. 11:1-7
Mzm. 145:2-3,4-5,10-11
Mrk. 9:2-13
Tansfigurasi
Kita sering menemukan kata transfigurasi. Kata transfigurasi berarti perubahan rupa atau perubahan wajah. Kata ini selalu dikaitkan dengan sebuah peristiwa di dalam Injil di mana pada suatu kesempatan Tuhan Yesus mengajak tiga orang murid inti yakni Petrus, Yakobus danYohanes untuk mendaki sebuah gunung yang tinggi. Ketika mereka tiba di atas gunung itu Yesus berubah rupa di depan mata mereka. Apa yang terjadi sebenarnya? Penginjil Markus menceritakan bahwa bahwa ketika mereka sendirian saja: ”Yesus berubah rupa di depan mata Petrus, Yakobus dan Yohanes, pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu.” (Mrk 9:2-3). Jadi di sini kita mengerti makna transfigurasi yakni perubahan rupa atau wajah Yesus, pakaiannya juga berubah tidak seperti sebelumnya yakni putih berkilat-kilat. Di samping perubahan rupa Yesus di depan mereka, satu elemen lain yang disaksikan ketiga murid inti ini adalah kehadiran dua sosok yang penting di dalam Kitab Perjanjian Lama yakni Musa dan Elia. Musa kiranya mewakili Torah atau Hukum dan Elia mewakili para nabi. Yesus adalah Musa baru dan Elia adalah dia yang pernah diangkat ke surga dan dinantikan kedatangannya untuk menyiapkan kedatangan Mesias. Kehadiran dua sosok ini melengkapi transfigurasi Yesus di depan para murid-Nya.
Reaksi para murid ketika menyaksikan peristiwa transfigurasi ini adalah perasaan bahagia bercampur takut karena mereka tidak mengerti apa yang sedang mereka saksikan itu. Sosok Yesus menjadi makin luar biasa bukan hanya dalam sabda dan karya tetapi perubahan rupa juga sedang mereka alami sendiri. Di samping itu sosok Musa dan Elia juga mereka lihat sendiri sedang berbicara dengan Yesus. Petrus dengan spontan berkata: “Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (Mrk 9:5). Suasana juga ikut berubah ketika ada awan yang menaungi mereka dan mereka mendengar suara dari dalam awan: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.” (Mrk 9:7). Setelah mendengar suara itu, ketiga murid itu hanya melihat Yesus seorang diri saja. Sambil turun gunung, Tuhan Yesus mengingatkan mereka untuk tidak menceritakan pengalaman transfigurasi ini kepada orang lain sebeluma ‘Anak Manusia’ bangkit dari antara orang mati. Ketiga murid yang sedang kebingungan ini berkomitmen untuk memegang teguh pesan ini.
Kisah Tuhan Yesus berubah rupa merupakan sebuah bagian yang penting dalam usaha untuk membantu kita memahami makna Paskah Yesus. Tuhan Yesus berterus terang tentang penderitaan, wafat dan kebangkitan-Nya yang mulia. Dan karena itu para pengikut-Nya diharapkan untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Yesus. Maka gambaran transfigurasi merupakan gambaran tentang kebangkitan-Nya yang mulia sebagaimana sudah dikatakan dalam Kitab Taurat (Musa) dan para nabi (Elia). Tentu saja peristiwa transfigurasi ini bermakna kalau ada penderitaan yang mendahului kemuliaan. Pengalaman transfigurasi Tuhan Yesus haruslah menjadi pengalaman kita juga. Perubahan rupa Yesus di depan mata para murid terpilih haruslah menjadi perubahan rupa kita dalam hidup sehari-hari di depan sesama kita. Kita berusaha untuk berubah sehingga dari saat ke saat kita dapat bertumbuh untuk semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi. Perubahan juga membawa kita untuk melihat Yesus seorang diri saja. Yesus adalah fokus perhatian kita, Dia satu-satunya yang kita ikuti.
Peristiwa transfigurasi dapat kita pahami dan melakukannya di dalam hidup kita kalau kita sungguh-sungguh memiliki iman. Penulis surat kepada umat Ibrani menulis: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibr 11:1). Kita memiliki harapan akan segala sesuatu yang tidak kita lihat. Akal budi kita tidak mampu memahaminya dengan sempurna. Iman begitu penting bagi kita. Kita membaca dalam Surat kepada umat Ibrani: “Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.” (Ibr 11:2-3). Saya sepakat dengan perkataan ini. Iman yang kita miliki sekarang adalah warisan turun temurun yang Tuhan berikan kepada kita melalui orang-orang di sekitar kita.
Kita patut bersyukur kepada Tuhan sebab Dia sendiri yang menambah dan menyempurnakan iman kita ketika kita memohon kepada-Nya: “Tuhan tambahkanlah iman saya!” Iman sebagai anugerah cuma-cuma dari Tuhan membuat kita menyadari betapa Tuhan mengasihi kita sebaga Bapa yang menciptakan segala sesuatu baik adanya. Meskipun manusia jatuh ke dalam dosa namun iman menyelamatkan. Ada dosa dan berkat karena iman. Sebab itu kita semua juga perlu memohon kepada Tuhan untuk menambah iman kita supaya bisa bertransfigurasi, bertransformasi di dalam hidup kita.
P. John Laba, SDB