Hari Selasa, Pekan Biasa ke-VII
Sir 2:1-11
Mzm. 37:3-4,18-19,27-28,39-40
Mrk. 9:30-37
Siap mengabdi berarti siap menderita
Saya mengingat sebuah pesan dari Margaretha Occhiena, ibunda St. Yohanes Bosco di hari pentahbisan imamatnya tanggal 5 Juni 1841. Sambil memandang puteranya yang baru saja ditahbiskan menjadi seorang imam, sang ibu berkata: “Sekarang ini engkau adalah seorang imam, dan engkau merayakan Misa. Oleh karena itu, engkau semakin dekat dengan Yesus Kristus. Ingatlah bahwa dengan merayakan Ekaristi berarti engkau mulai menderita. Engkau tidak akan langsung menyadari hal ini, namun perlahan-lahan engkau akan menyadari bahwa ibumu benar. Saya yakin bahwa engkau akan mendoakan saya setiap hari, saat saya masih hidup atau sudah meninggal dunia, dan itu sudah cukup bagi saya. Mulai sekarang, engkau harus berpikir untuk menyelamatkan jiwa-jiwa; jangan pernah mengkhawatirkanku.” Pesan ini sederhana dan begitu mendalam dan menjadi warisan rohani bagi kami hingga saat ini. Sebagai seorang imam, pesan yang super adalah: “Mulai merayakan ekaristi berarti mulai menderita.” Dan sudah sedang dialami. Ada suka dan duka, ada salib yang harus dipikul untuk berjalan bersama Yesus.
Tuhan Yesus sangat berani, tanpa keraguan menyampaikan warta penderitaan-Nya. Di dalam Injil Markus, sebanyak tiga kali Yesus menyampaikan warta penderitaan-Nya yakni di dalam Markus 8:31-33; 9:30-32 dan 10:32-34. Hari ini kita mendengar warta penderitaan yang kedua: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” (Mrk 9:31). Tuhan Yesus mengungkapkan dengan jelas Paskah-Nya. Tetapi para murid yang sudah sekali mendengarnya tetapi belum mengerti juga. Penginjil Markus bersaksi: “Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepada-Nya.” (Mrk 9:32). Para murid memang sangat manusiawi, mereka selalu bersama Yesus namun ketika mendengar tentang penderitaan, mereka malah segan menanyakannya kepada Yesus.
Dalam bacaan pertama kita mendengar pesan yang sama yang membantu kita untuk merenung tentang nilai rohani penderitaan. Perhatikan kutipan ini: “Anakku, jikalau engkau bersiap untuk mengabdi kepada Tuhan, maka bersedialah untuk pencobaan. Hendaklah hatimu tabah dan jadi teguh, dan jangan gelisah pada waktu yang malang.” (Sir 2:1-2). Sebagai seorang imam Salesian, pesan ini mirip dengan pesan ibunda Don Bosco bahwa memulai merayakan Ekaristi berarti mulai menderita. Setiap anak Tuhan pasti mengalami penderitaan, menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Yesus. Maka di sini dibutuhkan kesiapan supaya sebagai abdi Tuhan dapat tahan, tabah dan teguh dalam berbagai pencobaan. Satu sikap bathin yang penting di sini adalah berpaut pada Tuhan dan menerima berbagai kelemahan dalam diri kita. Tuhan selalu yang istimewa bagi kita semua. Kita membaca dalam bacaan pertama: “Memang Tuhan adalah penyayang dan pengasih, la mengampuni dosa dan menyelamatkan pada saat kemalangan.” (Sir 2:11).
Pengikut Kristus yang setia nampak dalam kehidupan pribadinya, terutama dalam semangat untuk melayani dan mengabdi. Banyak kali ada ambisi-ambisi tertentu yang sadar atau tanpa sadar keluar dengan sendirinya dari dalam diri kita. Dalam hidup menggereja selalu ada sikap seperti ini. Banyak orang mengakui diri sebagai pelayan dan atas nama pelayanan, abdi dan atas nama pengabdian tetapi penuh perhitungan. Ada yang memiliki kebiasaan menghitung-hitung kebaikan yang dibuatnya atau jasa baiknya bagi gereja. Dalam komunitas Yesus juga ada. Perhatikan kutipan ini: “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” (Mrk 9:33). Mereka diam dan tersipu malu karena mereka mempertentangkan di antara mereka kira-kira siapa yang terbesar di antara mereka.
Betapa rapuhnya manusia di hadirat Tuhan. Tuhan Yesus sedang mewartakan Paskah-Nya di mana Dia, “sang Anak Allah akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” Anak Allah saja menderita karena melayani sampai tuntas. Sedangkan manusia sedang menunjukkan ambisi di antara mereka, terutama siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka lupa bahwa orang yang hebat itu adalah pelayan bagi semua yang ada bersamanya. Yesus sang Anak Allah terbesar namun Dia menjadi abdi, pelayan dan pemberi keselamatan bagi manusia. Semangat mengabdi dengan rendah hati haruslah menjadi bagian dalam hidup kita karena kita belajar dari Yesus sendiri. Dia melayani manusia sampai wafat di kayu salib.
Prinsip yang penting bagi kita adalah memberi diri kita dan mengabdi dengan tulus kepada Tuhan dan sesama. Tuhan Yesus memberi teladan yang penting dengan menempatkan seorang anak kecil di tengah-tengah-Nya bersama para murid untuk belajar dari semangat anak kecil. Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.” (Mrk 9:37). Untuk menyerupai anak kecil, mengabdi, melayani dengan rendah hati membutuhkan kerendahan hati. Tanpa kebajikan ini maka sangatlah sulit untuk menjadi abdi dan pelayan setia. Kerendahan hati dapat menjauhkan kita dari kesombongan dan pola hidup gampang atau bermental instan.
P. John Laba, SDB