Homili 28 Februari 2023

Hari Selasa, Pekan I Prapaskah
Yes. 55:10-11
Mzm. 34:4-5,6-7,16-17,18-19
Mat. 6:7-15

Berani mengampuni

Saya barusan bertemu dengan seorang pemudi. Sudah beberapa kali dia meminta untuk berbicara dengan saya perihal relasinya dengan pacarnya yang toxic. Toxic merupakan sebuah kondisi dalam diri seseorang yang kerap membuat suasana atau suatu hubungan, baik itu hubungan persahabatan maupun hubungan cinta, menjadi lebih keruh karena salah satu pihak menjadi racun (toxic) dalam hubungan tersebut. Dia memberi beberapa contoh perilaku toxic seperti pacarnya hanya hadir di saat senang saja tetapi ketika ada musibah tertentu dia langsung menghilang, tanpa ada perasaan empati kepadanya. Beberapa kali ia merasa direndahkan oleh pacarnya di depan umum dengan mengatakan bahwa dia ‘lemot’ dan miskin. Dan masih banyak tutur katanya yang berakhir pada pertengkaran yang mengakhiri hubungan cinta mereka karea dia mengalami kekerasan dalam pacaran. Dia mengaku sangat berat untuk mengakhiri hubungan cinta mereka tetapi dia harus berani melakukanya untuk kebaikan dan kebahagiaan dirinya. Kini dia berusaha untuk memaafkan dan mengampuni mantan pacar yang toxic.

Saya membayangkan situasi sulit yang dialami pemudi ini. Kadang orang berpikir bahwa cinta akan memenangkan aneka toxic di dalam kehidupan tetapi tidak selamanya demikian. Manusia akan memberontak dan bergumul dalam ruang memaafkan dan mengampuni. Saya tersentuh dengan satu perkataan dari pemudi ini: “Romo, kami sudah tidak memiliki hubungan lagi dan saya berusaha untuk mengobati luka batin saya dengan mendekatkan diri pada Tuhan, berusaha untuk mengampuninya. Saya merasa sebagai beban ketika mendoakan doa Bapa kami, sambil mengucapkan perkataan: ‘Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.’ Dan saya berusaha untuk melupakan semua yang sudah terjadi dengan pertolongan dari Tuhan.” Kisah sederhana pemudi ini sangat menggugah hati kita semua yang masih punya hati nurani. Banyak kali kita menjadi pribadi yang toxic di dalam keluarga, di tempat kerja dan dalam hidup menggereja. Banyak saudari dan saudara yang terluka karena sikap dan tutur kata kita kepada mereka. Kalau orang sudah terbiasa menjadi pribadi yang toxic maka dia akan merasa biasa saja, tetapi korbannya hidup dalam pergumulan.

Tuhan menyapa kita dalam masa prapaskah untuk mengangkat hati dan pikiran kita kepada Tuhan dalam doa. Bahkan Tuhan Yesus sendiri mengajar kita untuk berdoa kepada Bapa di surga dalam doa Bapa Kami. Mula-mula Tuhan mengajar para murid dan kita semua saat ini untuk menyapa Allah sebagai Bapa. Selanjutnya ada tujuh intensi penting dari doa Bapa kami. Dari ketujuh permohonan ini ada tiga permohonan yang ditujukan kepada Bapa yakni: “Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” (Mat 6:9-10). Ada empat permohonan untuk kebutuhan manusia dan sesamanya yakni: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.” Dengan memahami ketujuh intensi ini kita melihat bahwa Tuhan Yesus menghendaki supaya cinta kita kepada Bapa dan kepada sesama benar-benar terlaksana di dalam hidup kita. Benar sekali perkataan Yohanes dalam suratnya: “Jikalau seorang berkata: ”Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20).

Saya mau memfokuskan perhatian kita pada satu intensi yang kiranya perlu kita lakukan sepanjang masa prapaskah ini yakni semangat untuk mengampuni. Kita selalu mendoakan doa Bapa kami, selalu memohon pengampunan Tuhan dalam doa-doa kita dan melalui sakraman tobat namun masih sangat sulit untuk mengampuni diri kita dan mengampuni sesama yang bersalah kepada kita. Banyak orang hanya bisa memohon ampun dari Tuhan tetapi tidak mampu mengampuni dirinya sendiri dan sesama yang sudah bersalah kepadanya. Dia masih menyimpan dendam dan sakit hati kepada sesama tetapi mau memohon ampun dari Tuhan. Inilah wajah kita, hidup kita di hadirat Tuhan. Betapa sulitnya kita mengampuni diri kita dan mengampuni sesama kita. Sesungguhnya mengampuni itu berati melupakan segala sesuatu yang sudah terjadi di dalam hidup kita. Selagi kita masih mengingat-ingat kesalahan sesama kita maka kita pun akan sulit untuk mengampuni.

Dari siapa kita belajar mengampuni? Kita belajar dari Tuhan sendiri. Tuhan Yesus berkata: ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34). Tuhan Mahapengampun karena Dia mengampuni tanpa batas. Dia berani melupakan dosa dan salah kita. Kita belajar dari orang kudus seperti santo Stefanus, Martir pertama. Dia berkata: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” (Kis 7:60). Kita belajar dari sesama kita yang dengan lapang dada melupakan segalanya dan berhasil mengampuni. Semakin kita mengampuni tanpa batas, kita akan semakin sehat dan bahagia dalam hidup kita.

P. John Laba, SDB