Hari Rabu, Pekan Biasa ke-IX
Tb. 3:1-11a,13,16-17
Mzm. 25:2-4a,4b-5ab,6-7bc,8-9
Mrk. 12:18-27
Lectio:
“Pada suatu hari datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang berpendapat, bahwa tidak ada kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya: “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati dengan meninggalkan seorang isteri tetapi tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Lalu yang kedua juga mengawini dia dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Demikian juga dengan yang ketiga. Dan begitulah seterusnya, ketujuhnya tidak meninggalkan keturunan. Dan akhirnya, sesudah mereka semua, perempuan itupun mati. Pada hari kebangkitan, bilamana mereka bangkit, siapakah yang menjadi suami perempuan itu? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia.” Jawab Yesus kepada mereka: “Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga. Juga tentang bangkitnya orang-orang mati, tidakkah kamu baca dalam kitab Musa, dalam ceritera tentang semak duri, bagaimana bunyi firman Allah kepadanya: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Kamu benar-benar sesat!”
Demikianlah Sabda Tuhan.
Terpujilah Kristus.
Renungan:
Persabatan tanpa akhir
Mengawali renungan ini, saya mengingat perkataan Santo Yohanes Maria Vianney kepada umat di Parokinya, bunyinya: “Wahai umatku yang terkasih, marilah kita berusaha untuk sampai ke surga! Di sana kita akan bertemu dengan Allah. Betapa bahagianya kita! Jika paroki ini bertobat, kita akan pergi ke sana dalam prosesi dengan pastor paroki sebagai pemimpin. … Kita harus pergi ke surga!” Sesungguhnya kata-kata ini sederhana namun memiliki makna yang sangat mendalam. Yohanes Maria Vianney sedang meyakinkan kita akan sosok Allah yang kita imani bersama. Dialah Allah yang hidup sekaligus Allah orang-orang hidup bukan Allah orang-orang mati. Perkataan orang kudus ini sekaligus membuka wawasan kita untuk memahami pesan Injil yang baru saja saya bacakan untuk kita semua renungkan pada hari ini.
Kita mendengar sebuah kisah dalam bacaan Injil tentang perjumpaan antara orang-orang Saduki dan Tuhan Yesus. Siapakah orang-orang Saduki (Ibrani: צְדוּקִים, Ṣədūqīm) itu? Orang-orang Saduki merupakan kaum aristokratik Yahudi yang berkuasa di Yerusalem hingga Bait Suci dihancurkan pada tahun 70 M. Mereka umumnya bertanggung jawab terhadap tata ibadah yang dilangsungkan di Bait Suci sebagai kaum imam, di mana nyaris seluruh imam-imam bisa digolongkan sebagai kaum Saduki. Tentu saja tidak semua orang Saduki adalah imam di dalam Bait Suci. Mereka juga memiliki kaum awam yang kaya dan menjadi tuan-tuan tanah. Salah satu ciri khas kaum Saduki adalah mereka tidak percaya akan adanya kebangkitan orang mati. Kaum Saduki memilih jalan yang berbeda dengan para ahli Taurat, kaum Farisi, dan kaum Eseni yang percaya akan kebangkitan orang mati.
Apa yang kaum Saduki kehendaki dari Yesus? Mereka memberikan sebuah kasus kepada Yesus yaitu tentang perkawinan levirat. Perkawinan Levirat/Levirate marriage berasal dari kata Latin yaitu “levir”, artinya ‘ipar’ dalam hal ini ‘saudara laki-laki dari suami’. Maka dalam perkawinan levirat, jika sang suami meninggal dunia tanpa anak, maka adiknya diharapkan untuk menikahi istrinya. Anak-anak yang lahir dari pernikahan ini dianggap sebagai anak-anak dari kakaknya atau suami pertama. Nah, kasus yang diberikan kaum Saduki kepada Yesus adalah bahwa ada tujuh bersaudara yang menikah secara levirat dengan satu perempuan tanpa meninggalkan keturunan. Pertanyaan kaum Saduki kepada Yesus adalah pada hari kebangkitan, bilamana mereka bangkit, siapakah yang akan menjadi suami perempuan itu? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia. Kaum Saduki memang bukan hanya mencobai Yesus tetapi mereka juga membutuhkan jawaban pasti dari Yesus.
Kaum Saduki sebagaimana dikatakan di atas bahwa mereka tidak percaya akan kebangkitan tubuh orang mati yang tentu menuju kepada kehidupan yang kekal di Surga bersama Tuhan Allah. Ini berarti mereka tidak dapat membayangkan surga di luar apa yang dapat mereka lihat dengan mata telanjang! Nah, bukankah kita sering kali juga serupa dengan mereka? Kita juga bisa jadi tidak mengenali realitas rohani karena kita mencoba membuat surga menjadi gambaran duniawi yang dapat kita sentuh dan lihat sendiri. Orang-orang Saduki ini datang kepada Yesus dengan sebuah pertanyaan yang membuat kebangkitan badan terlihat konyol. Orang Saduki tidak percaya akan adanya makhluk abadi – baik manusia, malaikat, atau roh-roh jahat. Agama mereka secara harafiah didasarkan pada gambaran duniawi tentang surga yang berakhir dengan kematian.
Tuhan Yesus menanggapi argumen mereka dengan menunjukkan fakta tentang kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Bagi Yesus, Allah yang benar adalah Allah yang hidup dari orang-orang yang hidup. Kitab Suci memberikan buktinya. Dalam Kitab Keluaran, Allah sendiri menyebut diri-Nya sebagai Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub (Kel 3:6). Allah adalah sahabat Abraham, Ishak, dan Yakub ketika mereka hidup di dunia ini. Persahabatan mereka dengan Allah tidak berakhir dengan kematian mereka. Raja Daud dalam Kitab Mazmur berbicara tentang realitas kehidupan kekal bersama Allah. Dalam Kitab Mazmur 73:23-24, kita juga berdoa melalui kata-kata Daud: “Aku senantiasa menyertai Engkau, Engkau memegang tangan kananku. Engkau menuntun aku dengan nasihat-Mu, dan sesudah itu Engkau akan mengangkat aku ke dalam kemuliaan.”
Melalui kebangkitan Kristus, kita juga dapat bangkit kembali menuju kehidupan kekal bersama Allah. Roh Kudus menyatakan kepada kita tentang kebenaran-kebenaran kekal berkaitan dengan kasih Allah yang tak berkesudahan dan kehidupan yang ingin dibagikan-Nya kepada kita untuk selama-lamanya. Santo Paulus, mengutip perkataan nabi Yesaya: “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak opernah timbul di dalam hati manusia, yaitu apa yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia,” (Yes 64:4;65:17), Allah telah menyatakannya kepada kita melalui Roh Kudus (1 Kor. 2:9-10).
Janji Firdaus akan sebuah kebahagiaan surgawi dan kehidupan kekal bersama Allah yang mahapengasih, berada di luar jangkauan kita sebagai manusia. Kita baru saja mulai mencicipi buah sulungnya yaitu Yesus. Pertanyaan bagi kita untuk kita refleksikan bersama: Apakah kita sungguh percaya kepada Kitab Suci dan apakah kita mengetahui kuasa Roh Kudus yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati dan yang juga memberikan kepada kita jaminan hidup yang kekal? Mari kita juga menjauhi perkataan: “Kamu sesat!” (Mrk 12:24) dan berusaha menjadi “Kamu adalah sahabat-Ku!” (Yoh 15:14). Persahabatan dengan Tuhan Allah orang hidup adalah sebuah persahabatan tanpa akhir.
Doa: Kami bersyukur kepada-Mu ya Tuhan, karena Engkau sungguh menjadi Allah yang hidup bagi kami. Engkau juga memberikan hidup abadi kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kesesatan yang menghalangi kami untuk hidup abadi bersama-Mu. Bunda Maria, doakanlah kami selalu. Amen.
P. John Laba, SDB