Hari Jumat, Pekan Biasa ke-V
1Raj. 11:29-32;12:19;
Mzm. 81:10-11ab,12-13,14-15;
Mrk. 7:31-37
Kesetiaan Tuhan tidak berubah
Adalah Paus Fransiskus. Dalam suatu homili Misa hariannya tanggal 15 April 2020 silam tentang kesetian Tuhan, mengatakan: “Kesetiaan Tuhan Allah adalah kesetiaan yang penuh kesabaran: Dia bersabar dengan umat-Nya, Dia mendengar mereka, Dia menuntun mereka, Dia menjelaskan secara perlahan-lahan kepada mereka dan Dia menghangatkan hati mereka, seperti yang Dia lakukan kepada dua murid yang sedang pergi jauh dari Yerusalem: Ia mengobarkan hati mereka sehingga mereka dapat kembali ke rumah (lihat Lukas 24:32-33). Kesetiaan Tuhan adalah hal yang tidak kita ketahui: apa yang terjadi dalam dialog tersebut, tetapi Tuhan yang murah hati mencari Petrus yang telah menyangkalnya. Kita hanya tahu bahwa Tuhan bangkit dan menampakkan diri kepada Simon: kita tidak tahu apa yang terjadi dalam dialog tersebut (lihat Lukas 24:34). Tetapi kita tahu bahwa Tuhan yang setia mencari Petrus. Kesetiaan Allah selalu mendahului kita, dan kesetiaan kita selalu merupakan respons terhadap kesetiaan yang mendahului kita. Tuhan Allahlah yang selalu mendahului kita. Hal ini seperti bunga pohon badam (almond) di musim semi: ia berbunga terlebih dahulu.” Tuhan setia, mengobarkan hati para murid-Nya kapan dan di mana saja mereka berada. Tuhan yang satu dan sama juga menunjukkan kesetiaannya kepada kita. Kesetiaan itu menunjuk pada iman (fide). Orang beriman menunjukkan kesetiaannya dalam hidupnya.
Kita mendengar nuansa kesetiaan Tuhan melalui kedua bacaan hari ini. Di dalam bacaan pertama kita mendengar kisah hancurnya Kerajaan Israel menjadi dua bagian. Kerajaan Israel di sebelah utara beribukota di Samaria dan Kerajaan Yehuda di sebelah selatan yang beribu kota Yerusalem. Perpecahan antara kerajaan Utara dan Selatan Israel diceritakan di dalam bacaan pertama (1Raj 11:29-32; 12:19). Pada akhirnya terjadi kejatuhan Kerajaan Israel terjadi sekitar bulan April-September 723 SM. Sesudah kejatuhan kerajaan, maka penduduknya dibuang ke wilayah Asyur dan Babel. Kerajaan Yehuda sendiri nantinya akan jatuh ke tangan Babel pada tahun 583 SM. Peristiwa perpisahan antara orang-orang Yerusalem dan Babel sangat mengharukan.
Di dalam bacaan pertama, kita mendengar kisah yang menakjubkan. Nabi Ahia orang Silo berjumpa dengan seorang pegawai Raja Salomo bernama Yerobeam. Nabi Ahia berselubungkan sebuah kain baru. Ahia kemudian mengoyakan kain yang menyelubungnya menjadi dua belas koyakan. Yerobeam diberikan sepuluh sedangkan sisanya diberikan kepada Rehabeam, putera Salomo. Pengoyakan kain menjadi dua bagian kemudian dikoyakkan lagi menunjukkan kehendak Tuhan untuk mengoyakan Israel menjadi dua kerajaan yang berbeda yakni kerajaan Utara dan Selatan. Sepuluh koyakan diberikan kepada Yerobeam untuk mempermalukan Salomo yang sudah tidak setia kepada Tuhan karena ia menyembah berhala. Sisa koyakan diberikan kepada anak Salomo Bernama Rehabeam karena Tuhan tetap memperhatikan Raja Daud dan kota Yerusalem. Di sini kita melihat bahwa manusia boleh tidak setia seperti Salomo, namun Tuhan tetap menunjukkan kesetiaannya sampai tuntas.
Kesetiaan Tuhan Yesus, Anak Allah diceritakan di dalam bacaan Injil hari ini. Tuhan Yesus barusan melakukan perjalanan yang jauh ke luar komunitas Yahudi, dengan mengunjungi kota Tirus dan Sidon. Dia kembali k eke Galilea melewati tengah Dekapolis atau sepuluh kota. Di tempat ini, orang membawa kepadanya seorang yang tuli dan gagap. Mereka meminta Tuhan Yesus untuk menyembuhkannya. Tuhan Yesus memisahkannya dari orang banyak dan menyembuhkannya dengan mengucapkan kata ‘Effata’ yang berarti terbukalah. Orang itu sembuh seketika dan memberi kesaksian penyembuhan yang dialaminya, meskipun dilarang Yesus. Orang-orang banyak yang menyaksikan mukjizat ini takjub dan tercengang. Ekspresi yang keluar dari mulut dan wajah mereka adalah: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.” (Mrk 7:37).
Manusia boleh tidak setia kepada-Nya dengan menutup mulut supaya tidak mewartakan Injil-Nya namun Dia setia membuka mulut mereka supaya mereka berani berbicara bersama Tuhan. Manusia boleh menutup telinganya kepada sabda-Nya, namun Dia sendiri yang akan membukanya supaya membiarkan mereka mendengar Sabda-Nya. Tuhan kita senantiasa beda. Dia menjadikan semuanya baik adanya sehingga kita menjadi takjub dan tercengang. Namun kita tidak tidak harus berhenti pada perasaan takjub dan tercengang, tetapi semakin mencintai dan setia kepada-Nya. Wujud nyata kesetiaan kita adalah berani berbicara tentang dan bersama Tuhan. Berani mendengar dan melakukan Sabda-Nya. Inilah kesetiaan kita kepada Tuhan yang lebuh dahulu setia kepada kita.
P. John Laba, SDB