Apakah anda sungguh berempati?
Kita semua pasti sudah mengenal dan mengetahui kata empati. Empati dipahami sebagai suatu keadaan mental yang membuat seseorang mampu merasakan perasaan atau pikiran yang sama dengan sesama di sekitarnya. Empati juga dapat dipahami sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan, pikiran, serta pengalaman orang lain tanpa harus mengalaminya sendiri. Kita tentu langsung mengingat sebuah kata yang lain yakni kata simpati. Simpati adalah suatu proses merasakan apa yang dialami orang lain, sehingga mampu membantu atau mempererat hubungan satu sama lain. Tentu saja ada perbedaan dia antara kedua kata ini. Dalam hal ini, simpati lebih mengacu kepada perasaan kasihan terhadap sesama yang lain, sedangkan empati lebih kepada kemampuan untuk memahami perasaan sesama di sekitar kita. Kedua kata ini memang berbeda namun kita selalu mengalaminya di dalam hidup kita.
Kita sudah berada di ambang pintu masa Prapaskah tahun 2025. Tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) di Keuskupan Agung Jakarta adalah ‛Kepedulian lebih kepada saudara yang lemah dan miskin’. Tema APP ini benar-benar membantu kita untuk menjadi Gereja yang sungguh membumi. Ada empat pertemuan di lingkungan dalam masa APP dengan tema-temanya yang juga sangat menarik. Pekan pertama, Spiritualitas Inkarnasi dan Belarasa (empati). Pekan Kedua, Melihat dengan mata hati. Pekan Ketiga, Diskresi menentukan komitmen dan Pekan keempat, Merencanakan aksi nyata. Dari tema umum APP dan setiap pertemuan APP selama empat kali benar-benar laksana air sejuk yang ’mengalir’ dan menyuburkan Gereja. Kita bertolak dari pengalaman akan Allah yang berbelas kasih atau berbela rasa dengan kita sebagai manusia hingga apa yang harus kita lakukan untuk menjadi serupa dengan Allah bagi para saudara dan saudari yang lemah dan miskin. Sekali lagi Gereja sungguh hidup dan harus menghidupi umat manusia masa kini.
Menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah kita sebagai Gereja di negeri +62 ini sungguh berempati atau berbela rasa dengan saudari-saudara yang lemah dan miskin? Saudari dan saudara yang tidak berpengharapan? Kita mendengar ungkapan yang sempat viral dalam masyarakat beberapa hari terakhir ini: Ada yang mengatakan ‛Habis gelat tetaplah gelap’. Ada juga yang mengatakan ‛Habis gelap terbitlah gelap’. Bahkan perkataan ini menjadi sampul depan koran Tempo terbaru. Perkataan ini merupakan sebuah kritik sosial bukan hanya ditujukan kepada para pemimpin negara saja tetapi kepada kita semua. Kegelapan bukan hanya muncul dalam realitas korupsi yang merajalela, dan berjamaah tetapi kegelapan juga dapat ditimbulkan oleh kegelapan hati kita. Ketika hati mulai ‛gelap’ maka yang ada hanya ‛homo homini lupus’ bukan ‛homo homini socius’. Bisa juga ada keinginan kita untuk berempati tetapi selalu disertai dengan kesombongan diri bahwa kita ‛sedang’ berempati dengan sesama yang lemah dan miskin.
Saya menemukan sebuah gambar dan tulisan inspiratif: ‛Jadilah pribadi yang baik dalam hidup yang nyata bukan di media sosial’. Gambar dan tulisan ini memang menjadi teguran sekaligus koreksi bagi kita karena kadang kita berpikir bahwa kita sedang berempati dengan sesama, namun kesombongan diri, persaaan superior tetap mengejar perasaan dan sikap manusiawi kita dari belakang hingga menguasai kita. Betapa lemahnya kita. Mari kita memandang Tuhan yang berempati, berbela rasa dengan kemanusiaan kita. Kasih adalah segalanya karena Allah adalah kasih.
P. John Laba, SDB