Hari Raya Kemerdekaan RI
Sir 10:1-8
Mzm 101: 1a.2ac.3a.6-7
1Ptr 2:13-17
Mat 22:15-21
Memaknai Kemerdekaan 80
Dari beberapa pekan terakhir, warna merah dan putih sudah menguasai bumi Nusantara. Berbagai macam perlombaan dilakukan di mana-mana. Pekikan suara ‘merdeka…merdeka’ terdengar di mana-mana. Para siswa di sekolah juga tidak lelah mengikuti aneka kegiatan menyongsong tujuh belas Agustus sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Gereja Katolik Indonesia juga tetap setia merayakan Misa syukur Hari Raya Kemerdekaan. Ini adalah perayaan meriah tahunan yang ditunggu-tunggu.
Umur Kemerdekaan Republik Indonesia adalah ke-80 di tahun 2025 ini. Tentu saja sebuah angka ‘usia’ yang sudah menunjukkan kelasnya oma dan opa, artinya kelas super matang dalam hidup seorang manusia. Apakah memang benar demikian? Jawabannya tetap kembali kepada kita masing-masing. Pertanyaan ini selalu ada di depan kita: Apakah kita memang sungguh-sungguh sudah merdeka atau susah merdeka? Apakah perayaan-perayaan ini sunggu menunjukkan kemerdekaan yang sebenarnya?
Kita harus jujur bahwa kemerdekaan adalah sebuah selogan selamanya hingga usia ke-80 ini. Masih banyak orang yang belum menikmatinya secara utuh. Ada orang yang masih merasa lapar sementara mereka yang sudah kenyang semakin kenyang karena gila harta, korupsi dan tindakan sewenag-wenang lainnya. Sebagai contoh, dunia pendidikan kita malah semakin mundur karena lembaga-lembaga pendidikan kita sudah menghasilkan banyak orang yang lupa huruf dan buta huruf. Banyak di antyara mereka yang boleh bangga karena sudah lulus atau diluluskan, namun belum bisa ‘calistung’ secara maksimal.
Dalam dunia kesehatan kita bukanlah negara yang paling maju dalam segala hal terutama berhubungan dengan kesehatan. Bukanlah hal yang mengherankan karena di daerah-daerah di negeri tetangga nusamtara ini ramai-ramai dikunjungi oramg Indonesia seperti Singapura, Kuching, KL atau Penang di Malaysia. Apalagi yang namanya kata kramat ‘kriminalisasi’ dalam semua aspek kehidupan kita, dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Dari oramg paling kecil hingga orang yang pernah berkuasa namun melawan arus yang ada. Mereka dikorbankan supaya kursi empuk tidak dapat diganggu gugat. Dan tentu masih banyak hal lain lagi yang membuat kita bertanya-tanya dengan malu-malu: “Usia kemerdekaan kita sudah delapan puluh atau masih tetap usia seumur jagung?”
Ada penindasan! Ya, penindasan demi penindasan silih berganti hingga memasuki usia ke-80 ini, entalah hingga kapan kita semua belum tahu. Saya hanya terus mengingat perkataan Martin Luther King Jr: “Kemerdekaan tidak pernah diberikan secara sukarela oleh penindas; ia harus diperjuangkan oleh yang tertindas” Mari kita terus berjuang untuk terus mengisi kemerdekaan, entah sampai kapan. Paling kurang mereka yang tertindas dapat bangkit dan terus bangkit.
Mengapa demikian? Penulis Kitab Putra Sirak menulis dengan sangat jelas: “Di dalam tangan Tuhan terletak kuasa atas bumi… Di dalam tangan Tuhanlah terletak kemujuran seseorang…” (Sir 10:4-5). Orang-orang yang merdekat akan merasakan kuasa Tuhan dan menaatinya. Orang-orang merdeka akan tetap percaya bahwa hanya di dalam tangan Tuhan ada kemujuran. Santu Petrus dalam suratnya mengingatkan kita untuk berlaku sebagai orang-orang merdeka. oramg merdeka yang patuh dan setia kepada Tuhan dan mereka yang memimpin kita kepada kebaikan. Prinsip kasih tetaplah kita lakukan dengan sepenuh hati karena kita memang diciptakan sesuai wajah-Nya sendiri.
Saya mengingat perkataan yang meneguhkan dari Bung Karno: “Kemerdekaan hanya dapat diraih dan dipertahankan oleh suatu bangsa yang semangatnya berkobar-kobar dengan tekad bulat: merdeka atau mati!” Salam waras dan merdeka.
PJ-SDB