Saya pernah diminta untuk memberi pengajaran bagaimana pandangan gereja tentang keluarga. Karena temanya sangat luas maka saya mau lebih memfokuskan perhatian pada anak adopsi atau anak angkat. Hingga saat ini banyak pasutri belum menerima sepenuhnya anak adopsi. Mungkin saja isteri mau mengadopsi tetapi suami tidak mau atau sebaliknya. Alasannya mungkin pada hubungan darah. Ada keinginan supaya anak sungguh-sungguh berasal dari darah daging sendiri. Tetapi bagaimana dengan pasutri yang tidak dikaruniai anak karena alasan kesehatan?
Misteri perkawinan dan keluarga berakar pada Tritunggal Mahakudus. Semua orang dipanggil kepada relasi keluargawi dengan Allah. Hal ini diwujudkan dalam sakramen pembaptisan.
Pertama-tama kita perlu menyamakan persepsi kita tentang perkawinan. Dalam pandangan gereja katolik, perkawinan memiliki tiga tujuan yakni untuk kesejahteraan suami dan isteri, untuk kelahiran anak dan pendidikan anak. Nah, dari ketiga tujuan ini, Gereja sangat menekankan pentingnya mengusahakan kesejahteraan suami dan isteri. Mengapa? Karena persatuan pertama yang mau diusahakan adalah persatuan suami dan isteri. Keduanya bukan lagi dua melainkan satu daging. Oleh karena itu kita bisa mengerti bahwa kalau pun tidak ada anak di dalam keluarga, suami dan istrri tetaplah menjadi satu daging. Tidak ada anak bukan menjadi alasan untuk bercerai.
Pertama, hubungan darah. Seseorang dikatakan mempunyai hubungan darah jika ada ikatan darah di antara keduanya secara generatif. Jadi pasutri yang menikah kemudian melahirkan anak secara otomatis memiliki hubungan darah dengan anak yang lahir. Anak-anak yang lahir juga memiliki hubungan darah satu sama lain. Kedua, hubungan adopsi. Menurut Kitab Hukum Kanonik, hubungan orang tua dan anak karena adopsi disebut hubungan hukum. Maksudnya, hubungan ini bukan hubungan darah tetapi hubungan bisa ada karena pertalian hukum. Dalam KHK tahun 1983, Kan 110 dikatakan: “Anak-anak yang diadopsi menurut norma hukum sipil dianggap sebagai anak dari orang atau orang-orang yang mengadopsinya”. Jadi untuk selamanya, anak angkat itu menjadi bagian dari keluarga baru.
Banyak kali kita lupa konsep adopsi dalam Kerajaan Allah. Pandangan dunia tentang adopsi
berpusat pada pemahaman tentang “anak yang tidak dikehendaki” sedangkan Kerajaan Allah berpusat pada “Anak yang dikehendaki”. Kita lihat kembali sejarah keselamatan. Allah mencari umat manusia dan Dia sendiri yang menghendaki anak-anakNya. Maka dalam keluarga Allah, kita semua adalah anak-anak yang dikehendakiNya. Maka tindakan keluarga-keluarga kristiani mengadopsi anak-anak adalah perluasan dari keinginan Allah untuk memiliki anak-anak. Adopsi menjadi satu contoh bagaimana Allah mengendaki kita menjadi anak-anakNya.
Dalam Katekismus Gereja Katolik diajarkan bahwa mengadopsi anak sebenarnya mengikuti apa yang terjadi dalam peristiwa Yesus. Katekismus Gereja Katolik menunjukkan bahwa peristiwa inkarnasi merupakan awal dari program adopsi Allah yang mencakup seluruh dunia (KGK 505). Lebih jelas dikatakan: “Dalam kelahiran baru anak-anak yang diangkat dalam Roh Kudus lewat iman”. Martabat kita sebagai anak-anak Allah memberi kita suatu bagian yang nyata bersama Kristus dalam kehidupan Tritunggal (KGK 654). Martabat anak-anak angkat kita memberikan anak angkat itu suatu kekayaan keluarga kita. Maka adopsi adalah cara yang dengannya kita ambil bagian dalam kehidupan keluarga Allah.
Beato Yohanes Paulus II dalam Familiaris Concortio menegaskan bahwa panggilan menjadi orang tua bukan soal biologis saja tetapi mencakup aspek lain seperti tanggung jawab untuk menanamkan gambaran Tritunggal Mahakudus dalam diri anak-anak. Paus berkata: “Keluarga merupakan lingkungan permbinaan pertama dan paling dasar untuk hidup masyarakat. Sebagai persekutuan cinta kasih, keluarga mengalami penyerahan diri sebagai hukum yang menuntun dan mengembangkan anggota-anggotanya. Pemberian diri yang mengungkapkan hubungan saling cinta antara suami dan istri menjadi pola dan norma untuk pemberian diri yang harus dipraktekkan dalam hubungan kakak- beradik serta berbagai angkatan yang hidup bersama dalam keluarga”. (FC, 37).
“O Cahaya yang membahagiakan, Tritunggal dan Kesatuan asli” (LH Madah “O lux beata, Trinitas”). Allah adalah kebahagiaan abadi, kehidupan yang tidak dapat mati, cahaya yang tidak pernah pudar. Allah adalah cinta: Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Karena kehendak bebas, Allah hendak menyampaikan kemuliaan kehidupan-Nya yang bahagia. Inilah “keputusan belas kasihan” Bdk. Ef 1:9., yang telah Ia ambil dalam Putera kekasih-Nya sebelum penciptaan dunia. “Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya” (Ef 1:5), artinya “menjadi serupa dengan gambaran anak-Nya” (Rm 8:29), berkat “Roh yang menjadikan kamu anak Allah” (Rm 8:15). Rencana ini adalah “kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita sebelum permulaan zaman” (2 Tim 1:9) dan yang langsung berasal dari cinta trinitaris. Rencana itu dilaksanakan dalam karya penciptaan, dalam seluruh sejarah keselamatan setelah manusia berdosa, dalam pengutusan-pengutusan Putera dan Roh Kudus yang dilanjutkan dalam pengutusan Gereja” (KGK, 257).
“Allah adalah Bapa yang maha kuasa. Kebapaan-Nya dan kekuasaan-Nya saling menerangkan. Ia menunjukkan kekuasaan-Nya sebagai Bapa dengan memelihara kita Bdk. Mat 6:32., dengan menerima kita sebagai anak-anak-Nya (Aku mau “menjadi bapa-Mu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan perempuan, demikianlah firman Tuhan yang maha kuasa” 2 Kor 6:18)” (KGK, 270).