Tuan Ande Mua dalam Ingatanku
Berita duka kepergiaan Kenei Tuan Ande Mua, SVD kepada Bapa di Surga saya dengar beberapa menit setelah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saya saat ini sedang retret tahunan bersama para konfrater Salesian Don Bosco merasa sedih karena kehilangan “Yohanes Pembaptis” untuk para imam dari keluarga besar Tolok dan Paroki Lerek. Tetapi pada saat yang sama saya dikuatkan oleh perkataan Yesus ini: “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yoh 12:24). Maka kematian Kene Ande Mua merupakan kegembiraan baginya dan bagi kita semua sebagai orang beriman. Dia lepas dan bebas dari segala komplikasi penyakit yang dideritanya selama ini dan menjadi bahagia bersama Bapa di Surga.
Apa yang saya ingat dari Kene Ande Mua? Ada beberapa momen tertentu yang membuat saya merasakannya sebagai “biji gandum” di dalam keluarga dan Gereja khususnya tarekat SVD.
Pertama. Ayah saya Klemens pernah bercerita kepadaku sebuah ramalan yang menjadi kenyataan. Kira-kira pada tahun 1975, frater Ande Mua berlibur ke kampung. Ia biasanya mengunjungi semua keluarga, mendoakan, meneguhkan dengan cerita-cerita penuh keramahan. Usia saya saat itu baru limat tahun. Begitu melihat saya, Frater Ande yang kemana-mana menggunakan jubah putih itu mengangkatku tinggi-tinggi, membalikan kepalaku ke tanah dan berkata, “Ama, engko ini nanti ikut saya.” Ayah dan ibu saya mendengar kata-kata frater Ande dan banyak kali mengingatkan saya bahwa mengikuti dia berarti pada suatu saat saya menjadi imam. Tuhan bekerja sehingga “nubuat” kene Ande benar-benar menjadi kenyataan.
Kedua, Pada hari tahbisan Juli 1979 dan pesta-pestanya. Pater Paulus Pemulet, SVD dan Pater Ande Mua SVD ditahbiskan di halaman Gereja Lerek di hadiri oleh banyak orang. Pada saat itu saya berada di kelas III SD. Bersama teman-teman sebaya, kami saat itu sangat terpesona dengan sosok Tuan Pemulet dan Tuan Mua. Khusus Tuan Ande, Dia merayakan misa meriah, homilinya disenangi dan saya ingat selalu dibicarakan di rumah. Ayah saya juga bangga punya saudara pastor yang suaranya bagus kalau menyanyikan prefasi. Suaranya memang bagus dibanding suara Kenei Tadong, Kene Kemilus dan saudara-saudara lain.
Ketiga, Pada tanggal 8 Juni 1989 saya singgah di Novisiat SVD, Nenuk. Saya menginap dua malam di Nenuk dan ikut merayakan ulang tahunnya. Pada waktu itu ia berpikir bahwa saya juga akan masuk SVD, tetapi saya mengatakan saya masuk SDB. Ia bertanya apakah saya mengenal SDB? Kenapa tidak masuk SVD. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya mengagumi SVD tetapi lebih mencintai SDB. Dia mengatakan kepada saya, kita bagi-bagi tenaga supaya Gereja semakin kaya. Sejak saat itu saya banyak mendapat arahan untuk bertumbuh sebagai calon imam. Tuan Mua pasti punya doa dan harapan supaya keponakannya bisa berhasil menjadi imam, sebagaimana sudah dinubuatkan empat belas tahun sebelumnya.
Keempat, Pada bulan Juni tahun 2002 saya berlibur dan merayakan ekaristi bersama. Dia menampakan wajah gembira saat sama-sama merayakan kurban Kristus di altar. Orang Lerek saat itu berbisik satu sama lain, “Lihat anak dan bapa merayakan misa meriah.” Dia mengatakan kepada saya rasa bangganya karena setahun sebelumnya saya baru kembali dari studi di Yerusalem. Nasihat sebagai seorang bapa diberikan kepadaku untuk menjaga diri, menjaga imamat dan setia dalam melayani.
Kelima, Pada bulan Oktober 2008, Mgr. Kherubim Pareira, SVD, Uskup Maumere mengundang saya untuk mengunjunginya di Maumere sambil melihat kemungkinan kehadiran SDB di Maumere. Bersama Bapa Uskup, kami mengunjungi beberapa tempat seperti Patung Bunda Maria segala bangsa, Seminari Tinggi Ritapiret dan Ledalero. Pada saat itu kira-kira jam 4 sore. Dari pintu gerbang masuk Ledalero saya lihat Pater Hendrik Dori Wuwur berdiri dengan beberapa konfraternya sambil ngobrol dan tidak jauh dari situ saya melihat Tuan Ande Mua sedang olahraga sore. Ia berjalan dengan celana pendek, topi dan handuk putih kecil di lehernya. Begitu melihat mobil Bapa Uskup, ia berhenti. Bapa Uskup keluar dan mengatakan, “Ande, selamat sore.” Pater Ande menjawab: “Selamat sore Bapa Uskup. Apakah ada amplop atau titipan buatku?” Bapa Uskup menjawab, “Saya tidak membawa amplop tetapi karung.” Pada saat itu saya keluar dari mobil dan spontan ia berkata: “Oh mer gutu raya er uskup bise antar mone di” (Oh, kamu jelek begini tetapi bisa diantar oleh Bapa Uskup). Dengan bangga ia memperkenalkan saya, “Ini keponakan saya, anggota SDB”.
Keenam, Pada bulan Agustus 2011 kami berkumpul bersama di Lerek. Pada saat itu Pater Hendrikus Mado, SDB merayakan misa syukurnya. Setelah misa syukur Pater Endi, orang Lerek melihat kami bertiga dan berkomentar bahwa misa syukur saat itu dihadiri oleh tiga pastor dengan tingkatan: bapa-anak dan cucu. Sekali lagi diwajahnya terpancar sukacita yang besar. Pada saat itu kelihatan Tuan Ande sudah mulai tua dan sebagai orang tua, ia tersenyum bangga melihat banyak orang menjawabi panggilan Tuhan.Saya ingat ketika saya merayakan misa syukur di Lerek, RD. Petrus Gege Lewar mengatakan bahwa saya adalah imam ke-6 dalam keluarga Tolok, imam ke-16 dari stasi Lerek dan imam ke-32 dari Paroki Lerek. Angka-angka yang bagus!
Ini beberapa momen penting yang selalu saya ingat. Ada juga beberapa kebajikan yang selalu saya ingat dari Kene Tuan Mua.
Pertama, sesuai dengan namanya “Mua” ia memiliki satu misi yang luhur yaitu mengumpulkan keluarga-keluarga yang terpecah-pecah dan mempersatukan mereka. Di dalam keluarga dengan karakter yang berbeda-beda, keras seperti batu atau “kluli” tuan Ande mengurbankan diri dengan doa dan kesabaran untuk memenangkan jiwa-jiwa. Ia memiliki kebiasan mengunjungi orang-orang hidup dan orang-orang mati. Saya ingat kalau tuan Mua datang biasanya pada soreh hari dia pegang lilin putih, pale nowing dan berziarah ke kuburan. Hari berikutnya ia mengunjungi satu persatu keluarga. Mereka yang bermusuhan ia mendamaikan, meskipun kadang sangat sulit! Nilai mengunjungi dan “mengumpulkan” keluarga ini menyadarkan saya sebagai imam untuk menjadi pemersatu seluruh keluarga. Kadang-kadang lebih mudah mempersatukan keluarga orang lain dari pada keluarga sendiri. Inilah satu tantangan bagi saya secara pribadi. Terima kasih kene atas teladan baiknya.
Kedua, Tuan Mua menghargai para misionaris. Ia tahu betul bahwa Gereja lokal adalah gereja misionaris. Ia memiliki devosi yang besar kepada Pater Becker, SVD. Kalau sempat ke Lerek, ia pasti singgah di Watuwawer untuk memasang lilin, berdoa. Dia juga akrab dengan Pater Niko Strawn, SVD yang masih hidup. Sikapnya ini menjadi kekuatan bagi kita semua untuk menghargai para gembala yang berkarya di Paroki Lerek. Karena mencintai para misionaris, ia juga menulis buku untuk menghormati Pater Becker dan situasi misi di Lerek.
Ketiga, Tanggung jawab terhadap panggilan hidup bakti. Tuan Ande dikenal sebagai seorang formator para calon imam dan bina lanjut para imam dan biarawan. Tugas seperti ini tidaklah muda dan jarang orang mau menerimanya. Mengapa? Karena ketika sebagai formator kita salah membina formandi maka akan fatal buat tarekat. Tetapi Tuan Mua melewati dan menikmati tugas luhur ini dengan baik sampai akhir hidupnya. Tentu karakternya yang keras kadang membuat sakit hati banyak konfraternya tetapi kebaikannya itu pasti selalu dikenang.
Keempat, Tuan Mua itu seorang pendoa. Dari dulu ia menggunakan banyak waktu untuk berdoa, memiliki kematangan hidup rohani yang bagus. Selama saat-saat terakhir hidupnya, ia hanya kuat karena doa. Tuhan menambah nafasnya untuk beberapa saat sehingga semua keluarga bisa berkumpul. Sekarang ia menjadi pendoa abadi bagi kita semua.
Sudah duapuluh empat jam yang lalu Kenei Ande pergi untuk selama-lamanya kepada Bapa. Pada saat saya sedang menulis kata hatiku ini, Kene Ande sedang diantar ke tempat peristirahatan yang terakhir. Selamat jalan, mon mol nepo kame dore. Kami percaya bahwa hidupmu tidak lenyap, hanya diubah dan bahwa kediaman abadi sudah tersedia bagimu. Engkaulah abdi Allah yang setia, nikmatilah perjamuan kekal di surga Kene. Engkau tetaplah biji gandum yang menghasilkan buah panggilan untuk mengabdi Tuhan. Adios Padre!
P. Johanes Laba Tolok, SDB