Hari Selasa, Pekan Biasa XIX
Yeh. 2:8 – 3:4
Mzm. 119:14,24,72,103,111,131
Mat. 18:1-5,10,12-14
Kecaplah betapa manisnya Sabda Tuhan
Kemarin saya menulis Food For Thought sebagai refleksi menutupi hari Senin berjudul: “Ketika mereka bersama-sama di Galilea”. Sumber inspirasinya adalah sikap Yesus sebagai Tuhan yang terbuka dan mau hidup bersama dengan manusia yakni para muridNya di Galilea. Bagi saya, Yesus yang adalah Tuhan saja masih membutuhkan manusia untuk hidup bersama. Ia berbicara dan mereka mendengar dan tentu saja mereka juga berbicara dan dia mendengar. Relasi yang akrab antara Yesus dan manusia menjadi model bagi kita untuk membangun kebersamaan di dunia ini. Kita harus malu kalau kita tidak bersahabat karena Tuhan yang kita Imani saja bersahabat dengan siapa saja. Salah seorang sahabat yang membaca FFT ini menulis kepada saya sesaat setelah membacanya. Ia mengaku malu karena banyak kali waktu kebersamaan di dalam keluarga lewat begitu saja. Banyak kali sabda Tuhan yang didengarnya pun lewat begitu saja padahal seharusnya Sabda Tuhan itu memiliki daya yang luar biasa untuk mengubah hatinya. Saya merasa senang dengan tanggapan positif sahabat ini. Memang Sabda Tuhan itu manis dan perlu dikecap terus menerus, dan sifatnya mengubah hidup kita.
Nabi Yehezkiel hari ini membagi pengalaman kebersamaannya dengan Tuhan. Tuhan begitu akrab dengannya dalam perkataan ini: “Hai anak manusia dengarkanlah sabdaKu kepadamu. Janganlah memberontak seperti kaum pemberontak ini. Ngangakanlah mulutmu dan makanlah apa yang Kuberikan kepadamu.” (Yeh2:8). Ada dua hal yang penting muncul dalam perkataan Tuhan ini yakni Yehezkiel dan kita semua diajak oleh Tuhan untuk mendengarkan sabdaNya dan membuka mulut artinya membuka diri untuk menerima sabda dan melakukannya di dalam hidup kita. Sabda Tuhan dalam rupa gulungan-gulungan Kitab diberikan kepadanya dan berisikan nyanyian-nyanyian ratapan, keluh kesah dan rintihan. Semuanya ini mau menyadarkan kita bahwa Allah itu kasih dan meneguhkan hidup kita dengan kasihNya.
Tuhan mendesak Yehezkiel untuk membuka mulutnya dan menyantap Sabda yang diberikanNya, kemudian membawa Sabda itu kepada sesama. Jadi harapan Tuhan bagi kita bukan hanya sekedar mendengar Sabda tetapi juga mewartakan dan melakukanNya di dalam hidup. Di dalam mewartakan Sabda, kita perlu dan harus merasa bahwa Sabda Tuhan itu manis seperti madu di dalam mulut kita masing-masing. Hanya dengan rasa seperti ini kita bisa mewariskan manisnya sabda kepada sesama. Yehezkiel sendiri memiliki tantangan yang besar ketika mewartakan sabda. Orang Israel sedang mengalami kesulitan hidup dan tidaklah mudah menyadarkan mereka untuk merasakan Sabda Tuhan sebagai santapan yang manis seperti madu di mulut. Sabda itu menjadi nyata dalam karya pelayanan kita setiap hari.
Hal yang patut kita hindari dalam kebersamaan adalah ambisi pribadi. Kita tentu semua merasa heran dan kaget karena komunitas Yesus juga belum sempurna. Para muridNya masih memiliki ambisi sehingga mendiskusikan di antara mereka, siapakah yang terbesar di dalam Kerajaan Surga. Kekagetan kita hendaknya tidak berlebihan karena ternyata kita semua juga tidak luput dari ambisi-ambisi pribadi. Banyak orang berusaha dan mau menjadi “somebody” supaya dikagumi dan dipuja, dari pada hanya menjadi “nobody”.Mungkin hal ini memang terjadi karena kemuliaan Tuhan itu terpancar di dalam diri manusia. Pemazmur berkata kepada Tuhan tentang keluhuran manusia: “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” (Mzm 8:5).
Tuhan menempatkan ditengah-tengah mereka seorang anak kecil untuk menjelaskan kepada para muridNya, siapa sebenarnya yang terbesar di dalam Kerajaan Surga. Apa keunggulan dari seorang anak kecil dibandingkan dengan orang dewasa? Anak-anak di dalam dunia masa kuno itu dianggap tidak berdaya dan tidak punya privilege tertentu. Inilah sikap yang harus dimiliki di hadapan Tuhan yakni memiliki hati seperti seorang anak kecil. Dengan demikian, menjadi pertanyaan kita adalah siapakah yang terkecil di dalam Kerajaan Surga? Dialah orang yang rendah hati di hadirat Tuhan. Orang yang rendah hati itu mengakui Allah sebagai Bapa dan Pencipta segala sesuatu. Orang itu juga akan menerima Yesus di dalam hidupnya dan merasakan manisnya Sabda Tuhan Yesus sendiri.
Doa: Tuhan, betapa manisnya SabdaMu. Bantulah kami untuk bertumbuh menjadi anak-anakMu yang mendengar dan melakukan sabdaMu. Amen
PJSDB