Hari Sabtu, Pekan Biasa XXIII
St. Yohanes Krisostomus
1Kor 10:14-22a
Mzm 116:12-13.17-18
Luk 6:43-49
Jauhilah Penyembahan Berhala
Ada seorang romo yang melayani sebuah paroki di pedalaman. Ia merasa heran ketika untuk pertama kalinya tiba di tempat itu. Setiap hari Minggu banyak umat katolik selalu datang, memenuhi Gereja dan berekaristi bersama. Ia bisa merasakan persekutuannya sebagai gembala dan umat. Hal ini juga membuatnya sangat senang dan mendorongnya untuk mau melayani dengan sungguh-sungguh. Semakin lama melayani umat di paroki itu, ia semakin mengenal umatnya dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kelebihan umatnya adalah kesederhanaan hidup, persekutuan yang erat, rajin ke Gereja untuk berekaristi bersama. Dia juga menemukan kelemahan-kelemahan yakni umat setempat masih memiliki kebiasaan perdukunan, sering membawa sesajian ke gunung, batu besar dan pohon-pohon yang besar untuk menjamu roh nenek moyang mereka. Pada suatu hari Minggu, ia memberi teguran persaudaraan kepada mereka. Reaksi keras langsung dilontarkan kepadanya. Ia dinilai tidak menghargai budaya lokal dan lain sebagainya. Ia sangat sedih karena menurutnya umat setempat sudah menyembah berhala. Ia berusaha mengalah dan perlahan-lahan menata relasi dengan umat, memperkuat katekese umat. Hasilnya cukup bagus. Umat mulai sadar untuk membedakan mana yang membawa mereka ke arah menyembah berhala ditinggalkan dan yang membantu pertumbuhan iman ditingkatkan.
St. Paulus hari ini menghimbau jemaat di Korintus untuk menjauhkan diri dari penyembahan berhala. Memang pada saat itu mereka mengalami banyak hal yang bisa menghambat iman kepada Tuhan seperti imoralitas dan penyembahan berhala. Ia berusaha meluruskan pikiran mereka sehingga bisa layak di hadapan Tuhan. Orang-orang Korintus mempersembahkan hewan kurban kepada roh-roh jahat. Mereka lupa menyembah Tuhan yang benar, tetapi lebih suka menyembah berhala-berhala yang mereka miliki. Paulus secara pribadi tidak menghendaki supaya jemaat di Korintus menyembah berhala dan bersatu dengan roh-roh jahat. Ia berkata: “Kamu tidak dapat minum dari cawan Tuhan dan juga dari cawan roh-roh jahat. Kamu tidak dapat mendapat bagian dalam perjamuan Tuhan dan juga dalam perjamuan roh-roh jahat.” (1Kor 10: 21).
Apa yang St. Paulus lakukan di Korintus? Ia mengingatkan mereka bahwa meskipun berbeda-beda tetapi mereka menjadi satu karena sama-sama menerima berkat dari piala yang satu dan sama, serta roti yang satu dan sama pula. Piala yang berisi anggur dalam Ekaristi merupakan persekutuan dengan darah Kristus. Darah adalah simbol kehidupan! Roti yang satu dan sama mempersatukan mereka meskipun berbeda-beda tetapi menjadi satu tubuh dan menyantap satu tubuh juga. Nah, pertemuan misterius dengan Kristus yang telah bangkit, selain merupakan suatu pertemuan pribadi dengan Kristus, juga membuat kita semua menjadi satu tubuh. Kita semua sebagai orang yang dibaptis membentuk satu tubuh. Tentu saja hal ini bukan berarti kita semua merasa bersatu, tetapi bahwa Kristus yang telah bangkit mempersatukan kita dalam diriNya dan memberi kepada komunitas sebuah kekuatan baru.
Di dalam bacaan Injil, kita mendengar pengajaran Yesus yang sangat menarik dan membantu kita untuk tidak mudah jatuh dalam menyembah berhala. Orang harus memiliki dasar yang kuat dalam beriman dan tentu dasarnya adalah Tuhan Yesus Kristus dan SabdaNya. Yesus berkata: “Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya. Karena dari semak duri orang tidak memetik buah ara dan dari duri-duri tidak memetik buah anggur.” (Luk 6:43-44). Ucapan Yesus ini kita temukan juga di dalam Injil Matius (Mat 7:15). Hanya di sini Lukas mengacu pada kejernihan hati nurani. Kita diingatkan untuk memurnikan hati nurani, pikiran dan roh jiwa kita supaya menjadi pohon yang bisa menghasilkan buah yang baik.
Yesus juga berkata: “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.” (Luk 6:45). Kejernihan hati akan membuat kita sungguh-sungguh menjadi sesama manusia bagi manusia yang lain. Perkataan Yesus ini juga menjadi kritik sosial tersendiri bagi masyarakat kita saat ini. Kita semua pasti mendengar efek dari RUU Pilkada yang sedang digodok oleh para wakil rakyat di Senayan. Ketika pak Ahok memilih mundur dari Gerindra karena kebijakan partai yang tidak sejalan dengan suara hatinya muncul reaksi dalam partai Gerindra dan partai lain dalam koalisi Merah Putih juga bersuara. Kebiasaan mengecam, ikut campur tangan dengan urusan orang lain merupakan tanda penyembahan berhala di zaman modern ini. Orang menyembah kekuasaan dan lupa cita-cita untuk mengabdi rakyat. Tepatlah kata-kata Yesus: “Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.” Mengatakan kekerasan verbal berupa cacian, kecaman, ancaman merupakan situasi batin yang tercurah dalam kata.
Pada zaman modern ini menyembah berhala itu masih laku keras. Banyak orang menyembah pimpinan sehingga menciptakan mental ABS alias “asal bapa senang.” Banyak orang menyembah kekuasaan dan kekayaan sehingga terang-terangan dan tanpa malu-malu bersikap curang. Realitas ini benar-benar ada dalam masyarakat kita saat ini. Kita butuh manusia yang masih punya nurani untuk berani mengubah sistem. Kita butuh pahlawan kebenaran yang bisa mengubah orang yang menyembah berhala: kuasa, harta dan kedudukan, atau mereka yang masih bersekongkol dengan kejahatan. Kita butuh Tuhan Yesus, Jalan, Kebenaran dan Hidup untuk membaharui segalanya.
Doa: Tuhan, jauhkanlah kami dari berhala-berhala yang terlalu mengikat sehingga melupakan Dikau sendiri. Amen.
PJSDB