Hari Rabu, Pekan Biasa XXVIII
St. Theresia dari Avila
Gal 5:18-25
Mzm 1:1-2.3.4.6
Luk 11:42-46
Allah itu kasih!
Ada seorang romo yang sebelumnya diberi label oleh umatnya sebagai seorang “pemarah”. Label ini muncul, mungkin karena nada bicaranya keras dan raut wajahnya cepat berubah saat ada persoalan tertentu. Pada suatu hari, ia terpancing emosi sehingga benar-benar memarahi seorang umat. Umat itu tidak sungkan dengan romo tersebut. Ia berani berkata: “Romo selalu mengajar kami hukum cinta kasih dalam homili, buktikan dong pengajaran dengan perbuatanmu kepada kami. Bersikaplah adil Romo!” Romo itu diam, merasa malu karena “tamparan” keras dari seorang umatnya. Ia berusaha mengolah emosinya dengan baik dan sekarang menjadi seorang romo yang sangat bersahabat. Memang, setiap perkataan yang keluar dari mulut itu haruslah sinkron dengan perbuatan nyata. Tak perlu ada sikap berpura-pura atau sikap Farisi dalam hidup bersama.
Siapakah orang-orang Farisi itu? Orang-orang Farisi (Perusyim) berarti orang-orang yang dipisahkan, orang-orang yang terasing, orang-orang yang bersifat ekslusif dalam agama Yahudi. Origenes mengatakan bahwa orang-orang Farisi adalah orang-orang yang memisahkan diri dari kelompok Yahudi. Nama Farisi dikenal dikalangan luas pada masa kekuasaan Yonatan (160-143). Kemungkinan, mereka adalah kaum Hasidim (1Mak 7:12). Josephus Flavius menyebut kaum Farisi sebagai salah satu sekte Yahudi bersama dengan orang Eseni dan Saduki. Orang-orang Farisi saat itu memperjuangkan pengetahuan yang mendasar tentang Taurat Musa dan tradisi nenek moyang mereka (Misna dan Talmud). Mereka menafsirkan dengan keras hal-hal yang berhubungan dengan hari Sabat, kebersihan rituil dan semua yang berkaitan dengan persepuluhan. Sebenarnya mereka hanya memiliki satu tujuan penting yakni memisahkan diri dari semua pengajaran bukan Yahudi yang dianggap bisa mencemarkan tradisi Yahudi. Sebenarnya prinsip ini bagus tetapi lama kelamaan mereka menjadi arogan sehingga lebih mementingkan legalitas dari pada keadilan kepada sesama dan kasih kepada Tuhan.
Perikop Injil hari ini mengisahkan bagaimana Yesus mengecam orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang legalis dan munafik. Mengapa Yesus mengecam orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat? Jawaban yang pasti adalah karena mereka gagal dalam mendengar sabda Tuhan dan melakukannya. Mereka juga keliru membimbing sesama sehingga jalan mereka yang dilalui bukan jalan Tuhan.
Kita mendengar perikop Injil Lukas (11:42-46) paralel dengan Injil Matius 23: 23. 6. 27), berisikan tiga kecaman Tuhan Yesus terhadap orang-orang Perusyim dan satu kecaman untuk para ahli Taurat. Kecaman-kecaman itu adalah:
Pertama, Mereka bisa membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran tetapi mengabaikan keadilan terhadap sesama dan kasih kepada Allah. Di dalam Kitab Ulangan dikatakan: “Haruslah engkau benar-benar mempersembahkan sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladangmu, tahun demi tahun.” (Ul 14:22). Atau di dalam Kitab Imamat dikatakan: “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik Tuhan; itulah persembahan kudus bagi Tuhan.” (Im 27:30). Tujuannya persepuluhan adalah sebagai tanda syukur kepada Tuhan namun orang Farisi sudah salah menafsirkannya sehingga orang merasa bukannya bersyukur melainkan pemerasan yang mereka rasakan. Seharusnya orang-orang Farisi memperjuangkan keadilan kepada sesama dan kasih kepada Tuhan.
Kedua, Mereka memiliki ambisi pribadi berlebihan yang ditunjukkan dengan suka duduk di tempat terdepan di dalam rumah ibadat dan penghormatan di pasar. Sikap ambisi yang berlebihan hanya akan membuat keretakan dalam membangun kebersamaan.
Ketiga, Mereka bersikap munafik ibarat kubur yang di luarnya rapi dan indah tetapi di dalamnya penuh kotoran, tulang belulang yang bau dan menajiskan. Di dalam Kitab Bilangan dikatakan: “Setiap orang yang di padang, yang kena kepada seorang yang mati terbunuh oleh pedang, atau kepada mayat, atau kepada tulang-tulang seorang manusia, atau kepada kubur, orang itu najis tujuh hari lamanya.” (Bil 19:16). Sikap munafik itu busuk, najis!
Di samping kaum Farisi, para ahli Taurat dikecam Yesus karena suka meletakkan beban pada sesama tetapi mereka sendiri tidak mau terlibat. Mereka mencari yang enaknya dan yang jeleknya untuk orang lain.
Pesan penting dari perikop Injil pada hari ini adalah tentang kasih sejati dari Allah. Kita semua diingatkan bahwa kodrat Allah adalah kasih (1Yoh 4:8). Maka kita sebagai anak-anak Allah haruslah berusaha untuk bersikap adil terhadap sesama. Kita diingatkan untuk mengasihi Allah dengan totalitas seluruh hidup dan mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Kasih Allah itu mengalir dalam hidup manusia. Kasih Allah itu tanpa syarat atau hitung-hitungan. Marilah kita melepaskan sikap orang Farisi modern yang masih melekat di dalam diri kita dengan mengasihi Tuhan dan sesama. Kasih sejati itu bisa meringankan beban sesama an membuatnya memiliki hidup yang bermakna. St. Paulus berkata: “Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm 5:5). Rasakanlah kasih Allah dan sebarkan kasihNya kepada sesama.
Saya mengakhiri renungan ini dengan mengutip St. Theresia dari Avila yang hari ini kita peringati pestanya. Ia berdoa dalam puisinya: “Nada te turbe, nada te espante. Todo se pasa, Dios no se muda. La paciencia todo lo alcanza; quien a Dios tiene. Nada le falta: Solo Dios basta!”
Mari kita membangun skala prioritas untuk menguatamakan keadilan dan kasih di dalam hidup kita.
Doa: Tuhan, bantulah kami, semoga pada hari ini kami dapat berusaha menyingkirkan sikap Farisi di dalam diri kami yakni sikap legalistis, sombong dan munafik. Semoga dalam karya dan pelayanan, kami mengusahakan keadilan dan kasih. Amen
PJSDB