Hari Kamis, Pekan Biasa XXXI
Flp 3:3-8a
Mzm 105:2-7
Luk 15:1-10
Sunat Hati itu Perlu dan Harus!
Dalam suatu retret dengan sekelompok orang muda, saya ditanya tentang sunat dan tidak bersunat. Seorang muda yang kritis bertanya, “Romo, di dalam Injil Lukas 2:21 dikatakan bahwa Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Yerusalem ketika usiaNya baru 8 hari untuk disunat dan diberi nama Yesus. Mengapa sunat bukan keharusan atau menjadi seperti sebuah sakramen bagi para pengikutNya?” Ini sebuah pertanyaan yang memang kelihatan sederhana tetapi susah untuk diterangkan. Sunat atau circumcisio dalam kamus berarti pemotongan kulit penis. Sebenarnya kebiasan circumcisio dimulai oleh orang-orang Mesir dan Etiopia bukan orang Yahudi. Artinya circumcisio dalam agama Yahudi berkembang kemudian.
Kalau kita rajin membaca Kitab Suci, di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Tuhan Allah mengikat Perjanjian dengan manusia dengan tanda-tanda tertentu. Misalnya, Tuhan mengikat Perjanjian dengan Abraham dengan keturunannya dengan tanda circumcisio bagi anak laki-laki yang berusia 8 hari (Kej 17:11-12; Kis 7:8). Musa juga merasa bahwa ini adalah tradisi yang bagus maka tetap dipertahankan (Kel 12:48; Im 12:3). Yoshua bahkan sampai zaman keluarga Makabe tetap memandang perlunya circumcisio sebagai tradisi yang bagus (Yos 5:2; 2Mak 6:10). Di dalam Kitab Perjanjian Baru kita mengenal peristiwa Yesus dalam Luk 2:21, di mana Yesus disunat dan menerima nama yang dijanjikan malaikat kepadaNya.
Mengapa Yesus disunat? Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Dia berinkarnasi, Dia berkenosis menjadi hamba bahkan wafat di kayu Salib untuk menebus manusia. Nah, Dia menjadi manusia dan hidup dalam sebuah budaya Yahudi yang kental. Maka Yesus memang disunat karena Dia orang Yahudi, Dia mengikuti dan menghormati budaya dan agama Yahudi. Oleh karena itu wajar saja bahwa Ia disunat tetapi para pengikutNya tidak harus disunat secara fisik karena semuanya bertumbuh dalam budayanya sendiri-sendiri. Lagi pula sunat secara harafiah lebih cocok dengan kaum pria, bagaimana dengan wanita? Artinya dalam pemahaman sempit orang yang layak hanya kaum pria, lalu kemana kaum wanitanya karena tidak bersunat?
Melalui sakramen pembaptisan kita semua dikuduskan. Setiap pribadi menjadi anak-anak terang. Penginjil Yohanes bersaksi bahwa menurut Yesus setiap pribadi dilahirkan kembali dari air dan Roh (Yoh 3:5). Santo Paulus memahami pembaptisan sebagai proses meninggalkan hidup lama menuju hidup baru. Setiap pribadi diharapkan mengenakan manusia baru, mengenakan Kristus (Ef 4:22-24). Menyadari makna terdalam sakramen Permbaptisan ini maka kita harus memahami makna circumcisio secara baru. Circumcisio bukan dalam arti sunat secara fisik berupa pemotongan kulit penis kaum pria tetapi sikap bathin terdalam untuk meninggalkan hidup lama dan mengenakan hidup baru. Sikap bathin menyerupai Bartimeus yang meninggalkan “mantelnya” dan mengikuti Yesus. Sunat menjadi saat menguduskan diri bukan sebuah tindakan yang berhubungan dengan bagian fisik manusia.
Dalam konteks ini St. Paulus dengan tepat memahami sunat secara rohani yakni sunat hati. Sunat hati tidak berhubungan dengan tindakan terhadap fisik tertentu dari manusia tetapi proses perubahan yang radikal di dalam diri para pengikut Kristus. Proses perubahan itu berupa sikap bathin untuk meninggalkan hidup lama yang dikuasai hawa nafsu dan dosa dan membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menulis, “Tetapi orang Yahudi sejati ialah Dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujiannya datang bukan dari manusia melainkan dari Allah.” (Rom 2:29). Paulus juga menulis, “Dalam Kristus, kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia tetapi dengan sunat Kristus yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa. Karena dengan Dia, kamu telah dikuburkan dalam baptisan dan di dalam Dia kamu juga dibangkitkan oleh iman akan kuasa Allah yang telah membangkitkan Yesus” (Kol 2:11-12).
Sebenarnya pandangan Paulus ini juga bukan hal baru. Sunat rohani atau sunat hati sudah ada dalam dunia Perjanjian Lama. Sunat yang dapat dipahami sebagai pertobatan radikal dari setiap pribadi yang percaya. Misalnya Ul 10:16: “Sebab itu sunatlah hatimu dan jangan lagi kamu tegar tengkuk” atau dalam Ul 30: 6: “Dan Tuhan Allahmu akan menyunat hatimu dan keturunanmu sehingga engkau dapat mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup.” Kitab para nabi seperti Yeremia (4:4; 9:25-26) juga mengatakan hal yang mirip tentang pentingnya sunat hati bukan sunat secara fisik.
Berhubungan dengan sunat hati, Paulus dalam bacaan pertama hari ini menulis, “Saudara-saudara, kitalah orang-orang bersunat, yaitu kita kita yang beribadat oleh Roh Allah yang bermegah di dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh kepercayaan kepada hal-hal lahiria.” Jemaat di Filipi diberi kesadaran baru oleh Paulus bahwa mereka juga merupakan umat pilihan Allah yang memiliki sunat secara rohani, karena mereka sudah menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran. Paulus juga menceritakan tentang masa lalunya tetapi pada akhirnya dengan tegas ia mengatakan, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap merugikan karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi karena aku telah berkenalan dengan Kristus Yesus, Tuhanku, sebab hal itu lebih mulia dari segalanya”. (Flp 3:7-8).
Semangat Paulus ini hendaknya menjadi semangat Gereja untuk tidak hanya mengobservasi hal-hal lahiriah saja. Hal terdalam yakni jati diri manusia mesti diperhatikan. Hidup lama diubah menjadi baru karena orang berubah dari dalam bukan dari luar. Dalam Gereja purba sudah terdapat pertentangan antara kaum bersunat dan tidak bersunat sehingga dibuatlah Konsili pertama di Yerusalem. Lukas dalam Kisah Para Rasul menulis, “Ketika Petrus tiba di Yerusalem, orang-orang dari golongan bersunat berselisih pendapat dengan dia.” (Kis 11:2). “Dan beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajar bahwa, “Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan” (Kis 15:1). Apakah hal-hal lahiriah ini masih menghalangi umat Allah untuk bersatu dengan Tuhan di dalam Gereja saat ini?
Kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia selalu memberi kesempatan kepada kita untuk bertobat, mengalami sunat rohani! Mari kita berbenah diri untuk menjadi ciptaan baru di dalam Kristus. Pertobatan yang radikal ditandai dengan meninggalkan hidup lama seperti yang dialami sendiri oleh Paulus. Pertobatan radikal sempurna karena Tuhan senantiasa mencari dan menyelamatkan manusia yang berdosa, anda dan saya. Yesus care dengan setiap pribadi yang berdosa dan menghendaki supaya ada pertobatan yang radikal. Pertanyaan bagi kita adalah, bagaimana dengan pertobatan di dalam hidup ini?
Kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia selalu memberi kesempatan kepada kita untuk bertobat, mengalami sunat rohani! Mari kita berbenah diri untuk menjadi ciptaan baru di dalam Kristus. Pertobatan yang radikal ditandai dengan meninggalkan hidup lama seperti yang dialami sendiri oleh Paulus. Pertobatan radikal sempurna karena Tuhan senantiasa mencari dan menyelamatkan manusia yang berdosa, anda dan saya. Yesus care dengan setiap pribadi yang berdosa dan menghendaki supaya ada pertobatan yang radikal. Pertanyaan bagi kita adalah, bagaimana dengan pertobatan di dalam hidup ini?
Doa: Tuhan, terima berilah aku rahmat pertobatan supaya aku menjadi baru. Amen
PJSDB