Hari Selasa Pekan Biasa XXXI
Flp 2:5-11
Mzm 22:26b-27.28-30a.31-32
Luk 14:15-24
Orang Kristiani harus berani ber-Kenosis
Alkisah ada seorang perempuan tinggal sendirian di sebuah kampung. Dia adalah single parent dari seorang bayi yang lemah. Keadaan ini membuat para tetangga yang simpatik dan memberi bantuan kepadanya. Mereka bergantian merawat bayinya yang lemah dan dia sendiri bisa berbelanja ke pasar untuk kebutuhan mereka berdua. Setelah cukup lama bersahabat dengan para tetangga yang ramah, perempuan itu berniat menjadi pengikut Kristus. Niatnya pun tercapai, ketika para ibu itu sukarela mempersiapkan dia untuk dibaptis. Dia pun dibaptis dan semua orang merasa senang. Namun ada teman-teman ibu itu yang tidak suka dengan keputusannya untuk menjadi katolik. Mereka bertanya kepada ibu itu, “Apakah kamu tahu apa yang diajarkan mereka?” Perempuan itu bersaksi: “Yang kutahu adalah mereka mencintaiku dan selalu merawat anakku.” Kadang-kadang kita bersikap inklusif terhadap sesama yang membutuhkan kasih kita. Seharusnya kita perlu rendah hati sehingga cinta kasih betul-betul merupakan cinta kasih.
Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini sangat menarik perhatian kita. Santo Paulus melanjutkan pengajarannya dengan sebuah himne kristologi. Ia menulis,“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” Harapan Paulus adalah sikap-sikap dan perilaku jemaat di Filipi yang sedang berkembang, penuh kesombongan dan rasa ingat diri hendaknya sedapat mungkin dihindari sehingga yang ada hanyalah persekutuan kasih. Persekutuan kasih dalam arti setiap orang memiliki pikiran dan perasaan yang sama dengan Kristus. Namun masih ada bahayanya juga yakni ketika semua orang merasa bahwa diri mereka, kelompok atau komunitas mereka terbaik, terkuat atau harus bersaing dengan kelompok lain maka mereka berusaha dengan cara apa saja untuk bertahan. Mungkin orang berpikir ini hal yang baik dan patut dilakukan. Namun sikap inklusif seperti ini tidak berguna. Yesus sendiri melarang para murid untuk bersikap inklusif (Luk 9:55). Paulus menghendaki jemaat di Filipi untuk bersikap esklusif. Persekutuan kasih yang benar dibangun di atas dasar kerendahan hati bukan kesombongan.
Apa sikap Yesus yang patut kita ikuti? Paulus merumuskannya seperti ini: “Yesus Kristus walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaannya sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai wafat bahkan sampai wafat di kayu salib” (Flp 2:6-8).
Yesus memberi teladan yang amat luhur. Seorang Allah yang tidak bangga dengan martabatNya sebagai Anak Allah tetapi rela mengosongkan diri (kenosis)atau rela membungkuk serendah mungkin, menjangkau manusia, menjadi hamba. Ternyata tidak hanya berhenti sebagai manusia dalam peristiwa inkarnasi tetapi rela merendahkan diriNya lagi dan taat dengan wafat di kayu Salib. Seorang Allah yang begitu mutlak kuasanya, kudus, tak terbatas, kekal dan transenden rela masuk dan menjadi bagian dari dunia yang terbatas, fana, imannen dan penuh dosa. Yesus mengosongkan diriNya (Flp 2:7) untuk menjadi manusia. Ia juga wafat sebagai hamba bagi keselamatan kita di atas kayu salib (Flp 2:8). Meskipun Yesus merelakan diriNya demikian namun banyak orang yang masih belum percaya kepadaNya. Penginjil Yohanes memberi kesaksian: “Ia datang kepada milik kepunyaanNya, namun orang-orang kepunyaanNya tidak menerima Dia” (Yoh 1:11).
Sikap Yesus seperti inilah yang membuat Allah meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama, dan semuanya takluk dan mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa. Mengapa Yesus begitu ditinggikan? Bagi Paulus, Yesus luar biasa karena Dia adalah Allah yang menjadi manusia, Dia kaya rela menjadi miskin, Dia Alfa dan Omega, majikan menjadi pelayan atau hamba. Yesus merelakan diriNya menjadi yang paling hina, paling menderita yang paling dinista orang. Disinilah letak kehebatan Yesus sehingga Ia patut ditinggikan dan semua akan bertekuk lutut di hadaanNya.
Apa yang harus kita lakukan?
Membaca dan merenung tulisan Paulus ini, kita patut berbangga memiliki Tuhan Yesus. Hanya di dalam Kristianitas, kita memiliki gambaran Allah yang rela berinkarnasi menjadi manusia, Allah yang rela berkenosis untuk melayani manusia. Kita boleh bertanya pada diri kita masing-masing, apakah kita sudah menjadi seperti Yesus yang rela berkenosis, rela membungkukan badan untuk melayani tanpa pamrih? Apakah kita layak mengikut undangan Tuhan dalam perjamuanNya? Mari kita membenahi diri kita. Hilangkanlah kesombongan-kesombongan rohani dan kenakanlah kerendahan hati sang Penebus!
Doa: Tuhan terima kasih karena Engkau rela menjadi manusia dan mengangkat martabat kami menjadi anak-anak Allah
PJSDB