Kekuatan sebuah pengampunan
Namanya Stefanus. Nama ini berasal dari bahasa Yunani yaitu Στέφανος (Stéfanos) atau “στέφανος”, yang berarti: lingkaran, mahkota, penghormatan, penghargaan. Pada hari ini kita mendengar kisah kemartirannya di dalam Kisah Para Rasul. Hasil dari sebuah kesaksian palsu telah membawa Stefanus dihadapkan kepada Mahkamah agama Yahudi. Ia dengan penuh keberanian mempertahankan imannya dan mengoreksi cara hidup mereka.Upahnya adalah kematian. St. Lukas memberi kesaksian bahwa sebelum menghembuskan nafasnya, Stefanus masih mau berdoa bagi para alogojo yang melemparinya dengan batu: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” (Kis 7:60).
Stefanus mengikuti teladan Yesus yang sedang ia layani. Ia sungguh-sungguh Kristiani, mengasihi dan mengimani Kristus sampai tuntas. Teladan Yesus Kristus yang mengampuni para algojo menjadi bagian dari hidup pribadi Stefanus. Ia patut mendapat kehormatan di hadapan Tuhan, sesuai dengan makna namanya. Apa yang terjadi dengan Stefanus setelah meninggal dunia? Ia merasakan kemuliaan Tuhan. Ia sendiri mengakui: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kis 7:56).
Mengapa kita sulit untuk mengampuni terutama pada saat-saat yang sulit sebagaimana dialami Yesus dan Stefanus? Karena kita masih punya kecenderungan untuk tetap mengingat-ingat kesalahan orang lain. Masalah boleh berlalu, perjanjian damai boleh dibuat tetapi dalam hati masih sulit untuk mengampuni. Kesalahan sesama tetap membayangi hidup. Masa lalu tetap diingat dan dibawa sampai sekarang. Kita sedang “non progredi regredi est!” Bukanya maju melainkan mundur dalam hidup rohani. Mengampuni itu berasal dari kemampuan kita mengampuni diri sendiri. Kemampuan untuk melupakan semua kesalahan yang dilakukan sesama kepada kita. Kita butuh Yesus untuk menjadi seperti Stefanus.
PJSDB