Hari Sabtu, Minggu Biasa ke XIX
Yeh 18:1-10.13b.30-32
Mzm 51: 12-13.14-15.18-19
Mat 19:13-15
Biarkanlah anak-anak datang padaKu!
Ada sebuah pengalamanku yang menunjukkan bagaimana anak-anak sadar atau tidak sadar merindukan berkat Tuhan. Dalam suatu perayaan ekaristi bersama seorang romo di Pulau Sumba, ia mengingatkan saya sebelum misa bahwa setelah komuni kudus akan ada pemberkatan anak-anak khususnya mereka yang belum menerima komuni pertama. Maka terjadilah demikian, sang katekis menyanyikan lagu dari Mazmur 150 yang dipopulerkan dalam Kidung Jemaat dan Madah Bakti:
“Biar kanak-kanak datang kepadaKu”
Itu sabda Yesus; Dia memanggilku.
Kini aku datang siap menghadapNya,
Kini aku datang; Yesus memanggilku.
“Biar kanak-kanak datang kepadaKu”
Itu sabda Yesus, Dia memanggilKu.
Dalam kesukaran susah tak terhibur,
padaNya ‘ku datang; Yesus memanggilku.
Begitu lagu ini dinyanyikan anak-anak yang belum komuni pertama menyerbu Romo dan memohon berkat. Romo itu berdiri di depan altar mendoakan semua anak dengan melatakkan tangannya kemudian membuat tanda salib di dahi setiap anak. Hal yang menarik lagi adalah orang tua dan orang dewasa lainnya mengantar anak-anak untuk diberkati. Sungguh sebuah pengalaman yang menakjubkan dan bertumbuh menjadi kebiasaan baik bagiku untuk memberkati anak-anak setiap kali merayakan ekaristi.
Penginjil Matius melanjutkan kesaksiannya tentang kerasulan Yesus. Hari ini fokus penagajaran Yesus adalah tentang mendesaknya Kerajaan Allah bagi setiap pribadi. Setelah Ia mengecam orang-orang yang menghendaki perceraian, kepadaNya dihadapkan anak-anak yang mau datang untuk bertemu denganNya tetapi para muridNya menghalangi mereka. Para murid tentu memiliki alasan tertentu. Mungkin sang Guru sudah kelelahan dalam kerasulan atau mereka mau membiarkan Dia beristirahat sejenak. Namun Yesus justru berkata kepada para muridNya, “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKu, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan surga.” (Mat 19:14). Anak-anak yang sebelumnya dihalangi oleh Yesus, datang kepadaNya dan Dia meletakkan tanganNya atas mereka.
Sebuah pertanyaan yang tentunya muncul adalah mengapa Yesus memprioritaskan anak-anak bukan orang-orang yang perkasa? Kalau dihubungkan dengan argumen sebelumnya tentang perceraian, anak-anak jelas-jelas menjadi korban dari orang-orang dewasa yakni orang tuanya. Mereka hidup dalam kebingungan akan figur orang tua yang tepat. Suami isteri boleh bahagia karena mendapat pasangan baru tetapi anak-anak memiliki derita yang tersembunyi. Anak-anak juga menjadi simbol orang yang lemah, kurang diperhatikan, sering mengalami ketidakadilan sosial dalam masyarakat, sering dieksploitasi dan dilecehkan. Padahal bagi Yesus, anak-anak ini memiliki malaikat di surga (Mat 18:10). Anak-anak juga menjadi simbol orang-orang yang polos dan rendah hati sehingga bagi merekalah Kerajaan Surga. Orang yang rendah hati akan terbuka pada semua pengajaran Yesus.
Dalam hidup setiap hari terkadang kita berlaku seperti para murid yang menghalangi anak-anak untuk datang kepada Yesus. Sikap yang sering tanpa sadar dilakukan adalah membawa banyak orang kepada diri sendiri dan bukan membawa mereka kepada Yesus. Di dalam karya pewartaan, pelayanan kasih terkadang orang membanggakan diri dan lupa bahwa semuanya untuk kemuliaan Tuhan. Kita hendaknya bertobat dan menjadi seperti Yesus yang mencintai anak-anak, memberkati mereka dan menganugerahkan sukacita kepada mereka. Opsi kita adalah orang-orang kecil, lemah, yang sering dilecehkan dan membuat mereka menyadari bahwa mereka memiliki martabat sebagai anak-anak Allah. Janganlah anda menjadi batu sandungan bagi sesama untuk berjumpa dengan Yesus!
Sikap para murid ini juga banyak diikuti oleh orang tua tertentu yang tidak mengijinkan anaknya untuk dibaptis. Alasannya adalah memberi kebebasan kepada anak untuk menentukan pilihannya sendiri dalam hal beragama dan beriman. Ini sebuah kekeliruan yang fatal. Orang tua memiliki tugas istimewa yaitu mendidik anak-anak untuk bertumbuh dalam iman bukan menghalangi mereka untuk bertumbuh dalam iman.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang harus kita lakukan?
Yehezkiel dalam bacaan pertama memberi beberapa rumusan bagaimana kita tidak menjadi sandungan bagi orang lain terutama mereka yang lemah. Orang harus membangun dalam dirinya sikap sebagai orang benar dan melakukan keadilan dan kebenaran di dalam hidupnya. Ia tidak berbuat dosa tertentu seperti menyembah berhala atau berzina. Ia tidak menindas dan merampas. Ia seharusnya memberi makan kepada orang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang. Singkatnya, orang benar adalah orang yang hidup menurut hukum-hukum Tuhan. Andaikan orang dapat menyadari hidupnya di hadirat Tuhan maka dunia kita ini akan memiliki warna yang baru. Semua orang akan berjalan dalam jalan Tuhan dengan menyadari panggilan masing-masing untuk mengabdiNya.
Doa: Tuhan sadarkanlah kami untuk membawa banyak orang kepadaMu bukan kepada diri kami sendiri. Amen
PJSDB