Hari Sabtu, Pekan Biasa XXII
Kol. 1:21-23
Mzm. 54:3-4,6,8
Luk. 6:1-5.
Yesus adalah damai kita
Saya pernah menghadiri undangan sebuah Persekutuan Doa untuk merayakan Misa syukur ulang tahunnya yang ke-X. Mereka memilih tema perayaan Ekaristinya: “Yesus adalah damai kita”. Saya coba menanyakan makna tema perayaan ini kepada salah seorang pengurus sebelum merayakan Misa syukur. Ia mengatakan bahwa seluruh anggota Persekutuan Doa ini mau bersyukur kepada Tuhan karena selama sepuluh tahun ini mereka sama-sama berjuang untuk mewujudkan damai dalam hati, damai dalam komunitas dan damai dalam keluarga masing-masing. Mereka juga percaya bahwa Tuhan Yesus adalah tokoh utama yang menganugerahkan damai-Nya kepada mereka. Penjelasan ini berguna bagi saya untuk membantu saya memberikan homili kepada mereka.
Sebuah Persekutuan Doa. Artinya ada orang yang memiliki minat yang sama untuk bersekutu dan berdoa bersama. Persekutuan berdasarkan kategori “minat yang sama” ini nantinya menjadi sebuah komunitas yang tentunya menghimpun banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada orang yang berkumpul bersama karena memiliki motivasi yang luhur untuk bersekutu menjadi sebuah Gereja kecil yang berdoa bersama dan melakukan pelayanan kasih kepada sesama yang lain. Ada juga yang bersekutu dan berdoa sambil memanfaatkan kebaikan orang dengan rencana-rencanannya yang busuk di dalam pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaiannya. Salah satu hal yang bisa menghancurkan persekutuan Doa adalah uang. Ketika uang menjadi raja maka persekutuan bisa lebih kuat tetapi dangkal secara rohani karena yang bersekutu lebih banyak memiliki uang yang cukup. Tetapi lebih parah lagi, ketika ada orang yang meminjam hingga menimbulkan “kredit macet” di dalam Persekutuan Doa. Maka saya merasa bahwa tema perayaan yang mereka pilihkan yakni ‘Yesus adalah damai kita’ mungkin sedikit menggambarkan perjalanan mereka selama sepuluh tahun terakhir.
Yesus adalah damai kita. Kalimat ini ditulis oleh Paulus kepada jemaat di Kolose. Menurut St. Paulus, “Dengan perantaraan Yesus Kristus, Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Baik yang ada di bumi, maupun yang ada di Surga, segalanya didamaikan oleh darah Kristus yang tersalib.” (Kol 1:20). Jadi, Allah mendamaikan segala sesuatu melalui Yesus Kristus Putra-Nya yang tunggal Tuhan kita. Ketika menciptakan dunia dan isinya, Tuhan memiliki satu ide yang jelas yakni semuanya baik adanya. Kebaikan Tuhan disalahgunakan oleh manusia pertama pada saat mereka jatuh dalam dosa. Sejak manusia mengenal dosa maka manusia jauh dari Tuhan, namun Ia sendiri memiliki rencana untuk menyelamatkan, mendekatkan manusia dengan diri-Nya. Kitab Taurat, kitab Para Nabi dan Mazmur-Mazmur sudah mengatakan tentang sang Mesias yang akan menyelamatkan umat manusia dan mendamaikan segaka sesuatu karena Dialah raja damai. Rencana Tuhan menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus.
Pada hari ini St. Paulus melanjutkan pengajarannya kepada jemaat di Kolose tentang Yesus sebagai damai kita. Ia mengatakan: “Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya.” (Kol 1:21-22). Paulus mengingatkan mereka akan pengalaman masa lalu jemaat di Kolose yang jauh dari Tuhan karena mereka belum mengenal-Nya, kini mereka harus menjadi dekat karena mengenal Dia melalui pengajaran-pengajaran Paulus dan rekan-rekan misionarisnya. Jemaat di Kolose disadarkan akan pengalaman mereka pernah jatuh dalam dosa dalam pikiran, perkataan dan perbuatan namun Tuhan tetap mengasihi mereka. Tuhan justru mendamaikan-Nya dalam Yesus Kristus supaya jemaat juga menjadi kudus di hadirat-Nya. Setiap pribadi dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi kudus serupa dengan Tuhan yang kudus adanya.
Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi kudus? St. Paulus memberikan kiat-kiat untuk menjadi kudus yakni: “Harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.” (Kol 1:23). Nah, saya percaya bahwa manusia itu bisa berubah. Perubahan itu bukan hanya dirasakan pada saat dibaptis sebagai saat pertama kita menerima Tuhan Yesus Kristus, tetapi bahwa kita harus berusaha untuk menjadi orang kristen yang terbaik hari demi hari. Perubahan yang radikal mengandaikan adanya ketekunan dalam iman, tetap teguh dan tidak goyah.
Di dalam bacaan Injil, dikisahkan bahwa pada hari Sabat, Yesus dan para murid-Nya berjalan di ladang gandum. Para murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya karena mereka merasa lapar. Orang-orang Farisi menggunakan kesempatan untuk mempersalahkan Yesus dan para murid-Nya. Sebenarnya orang-orang Farisi tahu kisah Daud dan pasukannya yang merasa lapar dan memakan roti sajian di dalam rumah Tuhan (1Sam 21:5). Maka Yesus dengan tegas mengatakan kepada mereka: “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”
Tentu saja Tuhan Yesus tetap menghormati hari Sabat bukan menolaknya. Namun sikap legalistis yang berlebihan sampai melupakan kebutuhan manusia itu bukanlah rencana dan kehendak Tuhan. Kita membutuhkan aturan dan hukum, tetapi tujuan utamanya adalah kebaikan dan kesejahteraan bersama. Banyak orang sangat legalistis dan mengorbankan sesama manusia yang lain. Mari kita berlaku fleksibel dengan memperhatikan kebutuhan hidup manusia. Dengan demikian semua orang boleh hidup dan merasakan damai sejati, ketenangan bathin, keharmonisan hidup di hadirat Tuhan.
PJSDB