Hari Sabtu, Pekan Biasa III
2Sam. 12:1-7a,11-17
Mzm. 51:12-13,14-15,16-17
Mrk. 4:35-41
Aku sudah berdosa kepada Tuhan!
Pada tanggal 19 Januari 2016, Paus Fransiskus merayakan misa kudus hariannya dan memberi sebuah homili yang sangat inspiratif dari kehidupan pribadi raja Daud. Paus Fransiskus berkata, “Raja Daud menjadi santo Raja Daud, ini benar, namun ia menjadi orang kudus setelah melewati hidup lamanya, sebuah hidup penuh dosa.” Paus Fransiskus mengomentari kehidupan raja Daud dengan mengatakan bahwa dalam diri Daud kita bisa melihat sosok seorang kudus di masa depan dan pendosa di masa lampau. Dia adalah seorang pribadi yang mampu mempersatukan seluruh kerajaan, memimpin semua orang Israel. Namun ia pernah merasakan pencobaan sehingga dengan sadar ia berkali-kali jatuh ke dalam dosa. Misalnya, ia pernah membunuh. Untuk menutupi nafsu birahi dan dosa perzinahannya, ia menugaskan suatu pembunuhan kepada Uria. Ia melakukan semuannya itu dengan sadar. Ketika Tuhan mengutus nabi Nathan kepadanya untuk mengoreksinya maka pada saat itu Daud menjadi insyaf akan perbuatan salah dan dosanya sehingga ia pun menyesal dan memohon pengampunan dari Tuhan. Dengan merenungkan hidup pribadi raja Daud ini maka, Paus Fransiskus mengatakan bahwa tidak ada seorang kudus pun yang pernah luput dari dosa dan tidak ada seorang pendosa pun tanpa ada masa depan. Hidup kita ada di tangan Tuhan dan Dialah yang memiliki kuasa atas hidup dan masa depan kita.
Pada hari ini kita kembali mendengar kisah hidup pribadi raja Daud. Ia dengan sadar melakukan perbuatan-perbuatan jahat di hadapan Allah yakni mengambil Batsyeba istri dari Uria menjadi istrinya sendiri. Ini merupakan krisis moralitas seorang pemimpin yang tidak pernah dikehendaki Tuhan. Lagi pula, Daud itu dipilih Tuhan menjadi raja Israel karena Tuhan mengasihinya. Daud sudah melupakan kasih Tuhan. Namun demikian, Tuhan tidak tinggal diam. Ia memanggil Nabi Nathan dan mengutusnya untuk menegur Daud. Harapan Tuhan adalah Daud sadar dan bertobat.
Apa yang dilakukan nabi Nathan? Sebagai utusan Tuhan, ia tidak kompromi dalam memberi koreksi dan teguran kepada Daud. Nathan berkata: “Ada dua orang dalam suatu kota: yang seorang kaya, yang lain miskin. Si kaya mempunyai sangat banyak kambing domba dan lembu sapi; si miskin tidak mempunyai apa-apa, selain dari seekor anak domba betina yang kecil, yang dibeli dan dipeliharanya. Anak domba itu menjadi besar padanya bersama-sama dengan anak-anaknya, makan dari suapnya dan minum dari pialanya dan tidur di pangkuannya, seperti seorang anak perempuan baginya. Pada suatu waktu orang kaya itu mendapat tamu; dan ia merasa sayang mengambil seekor dari kambing dombanya atau lembunya untuk memasaknya bagi pengembara yang datang kepadanya itu. Jadi ia mengambil anak domba betina kepunyaan si miskin itu, dan memasaknya bagi orang yang datang kepadanya itu.” (2Sam 12:1-4).
Daud tidak mengerti maksud Nathan. Ia berpikir bahwa Nathan sedang melaporkan pribadi tertentu kepadanya. Ia pun marah dan bereaksi dengan keras dengan berkata: “Demi Tuhan yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan.” (2Sam 12:5-6). Nathan memandangnya dengan penuh kasih dan berkata: “Engkaulah orang itu! (2Sam 12:7). Kita bisa membayangkan wajah Daud setelah Nathan menggambarkan dirinya sebagai orang berdosa di hadirat Tuhan.
Perkataan nabi Nathan ini singkat tetapi mendobrak seluruh kehidupan Daud. Daud telah berzinah, berbohong dan membunuh beberapa orang (2Sam 11:4…). Setelah melakukan semua dosa ini, ia tidak merasa bersalah. Mengapa Daud tidak merasa bersalah? Alasannya sederhana saja yakni ketika seorang memiliki rasa bersalah menurun maka rasa berdosa akan meningkat. Rasa bersalah atau berdosa hilang maka perbuatan dosa akan menjamur ke mana-mana. Karena itu Tuhan berkata: “Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil isteri-isterimu di depan matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan isteri-isterimu di siang hari. Sebab engkau telah melakukannya secara tersembunyi, tetapi Aku akan melakukan hal itu di depan seluruh Israel secara terang-terangan.” (2Sam 12:11-12).
Hal yang indah dari kehidupan Daud ialah ia sadar diri, mengenal dirinya dan mau bertobat. Maka dikisahkan bahwa Daud menyesal di depan Tuhan dan berkata: “Aku sudah berdosa kepada Tuhan.” (2Sam 12:13). Tuhan, melalui nabi Nathan berkata: “Tuhan telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati. Walaupun demikian, karena engkau dengan perbuatan ini telah sangat menista Tuhan, pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati.” (2Sam 12:13-14). Tuhan menulahi anak yang dilahirkan Batsyeba dari istri Uria sehingga ia sakit. Daud menunjukkan penyesalannya dengan bermatiraga dan berpuasa.
Daud memang orang berdosa. Dosa-dosanya besar di hadapan Tuhan dan sesama. ia dikuasai oleh hawa nafsunya dan benar-benar melupakan kasih dan kebaikan Tuhan. Namun ia juga memiliki hati nurani. Ia bisa bertobat dan berkata kepada Tuhan: “Aku sudah berdosa kepada Tuhan.” Ini menjadi awal pertobaannya yang benar. Ia berpuasa, bermatiraga dan merasa malu karena Tuhan mengasihinya apa adanya. Maka Daud tidak malu untuk berkata kepada Tuhan penyesalan dan memohon belas kasih-Nya: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku.” (Mzm 51:3-5).
Kehidupan pribadi Daud dan sepak terjangnya di hadapan Tuhan dan sesama menjadi cerminan bagi kehidupan kita semua. Tuhan mengasihi kita apa adanya. Yesus sendiri berkata: “Demikian besar kasih Allah kepada dunia, sehingga Ia menyerahkan Anak-Nya yang tunggal. Setiap orang yang percaya kepada-Nya memiliki hidup abadi.” (Yoh 3:16). Kasih Allah itu melampui segalanya. Dosa dan kelemahan seberat apa pun, bisa diampuni oleh Tuhan karena Ia adalah kasih yang mengasihi.
Dalam bacaan Injil, situasi hidup kita yang nyata dengan beraneka pergumulan hidup selalu datang dan pergi. Pergumulan hidup itu laksana badai yang datang silih berganti. Dalam pergumulan hidup itu kita bisa menjadi ragu dan merasa bahwa Tuhan telah melupakan kita. Padahal Tuhan sedang bersama dengan kita. Kita hanya diminta untuk sadar diri dan percaya kepada-Nya. Kita perlu menyadari keberadaan yang terus menerus di hadirat Tuhan dan Dia pasti mengasihi kita apa adanya.
PJSDB