Hari Rabu, Pekan Biasa VII
Yak 4:13-17
Mzm 49: 2-3.6-7.8-10.11
Mrk 9:38-40
Jika Tuhan menghendakinya….
Ada seorang bapa yang memiliki seekor anjing jantan. Setiap hari ia merawatnya dengan baik, seperti seorang ibu merawat anaknya. Ia menyiapkan makanan dan minuman secukupnya yang nantinya dihidangkan ditempat makan khusus. Ia juga memandikannya dengan teratur. Satu hal yang istimewa adalah anjing itu dilatih untuk melindungi hewan piaraan lain di rumah seperti ayam. Padahal sebetulnya ayam bukanlah hewan yang mudah bersahabat dengan anjing. Namun karena ada latihan yang terus menerus maka anjing dapat bersahabat dengan ayam. Mereka berjalan ke sana kemari bersama-sama, begitu bersahabat. Semua orang memuji bapa ini karena telah melatih anjingnya untuk bersahabat dengan ayam. Ada juga yang mengatakan kepadanya, semoga anjingnya semakin terlatih dan menolongnya. Ia menjawab: “Jika Tuhan menghendakinya maka semuanya pasti bisa.”
Sebuah keluarga yang lain memiliki seorang anak cacat. Cacat fisik di kakinya baru terdeteksi ketika ia berusia dua tahunan. Pada saat anak itu menginjak masa remaja, ia menunjukkan wajah yang cantik, ramah dan senang memainkan alat music tertentu. Ia mengikuti kursus piano hingga dapat memainkan piano dengan baik. Pada suatu kesempatan ia tampil memukau banyak orang dalam suatu acara orchestra. Semua orang mengagumi dan memujinya. Mereka juga memuji kesabaran dan kesetiaan orang tuanya. Harapan mereka adalah supaya suatu saat anak itu menjadi seorang pianis yang hebat. Ibunya hanya menjawab: “Jika Tuhan menghendakinya maka semuanya pasti bisa.”
Kedua contoh yang saya kisahkan ini menggambarkan bagaimana orang beriman menunjukkan kepasrahan kepada Allah dan kekuasaan-Nya. Setiap orang memiliki banyak rencana untuk kehidupannya di masa depan. Ada yang memiliki harapan supaya dapat mencapai hari esok yang lebih baik. St. Yakobus mengakui bahwa setiap orang harus memiliki harapan tetapi perlu juga menyadari bahwa kita semua tidak mengetahui apa yang akan terjadi di hari esok. Menurut Yakobus, hidup kita itu seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Dengan menyadari kefanaan hidup seperti ini maka tepatlah kalau kita berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” (Yak 4:15). Ini adalah tanda kepasrahan kepada Tuhan dan kehendak-Nya.
Namun di sisi lain, Yakobus juga mengetahui kelemahan jemaat. Ada di antara mereka yang memegahkan diri dalam kecongkakan dan kemegahan hidupnya. Hal ini tentu membuat mereka lebih banyak mengandalkan dirinya bukan mengandalkan Tuhan. Yakobus sebagai pemimpin jemaat membantu mereka untuk kembali ke jalan yang benar dengan mengandalkan Tuhan dan kuasa-Nya. Gambaran jemaat gereja perdana kiranya masih mirip dengan kehidupan banyak orang saat ini. Mereka berpikir dapat mengubah dunia dengan kekuaatan sendiri. Ternyata tidaklah demikian.Kita semua seharusnya berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu” bukan jika saya berkenan maka dapat melakukan segalanya.
Dengan sikap mengandalkan Tuhan dalam hidup maka kita semua juga dapat berbela rasa dengan sesama, tanpa memandang siapakah orang itu. Mengapa demikian? Karena ada saja kecenderungan dalam hidup kita untuk bermegah dalam hidup pribadi dan lupa akan sesama yang lain. Mungkin saja ada kecenderungan untuk menganggap diri kita status quo terhadap sesama yang lain.
Penginjil Markus mengisahkan sebuah peristiwa yang dapat membuka pikiran kita untuk belajar berbela rasa dari Yesus. Dikisahkan bahwa ada seorang yang bukan pengikut Yesus mengusir setan demi nama-Nya. Hal ini sempat diketahui oleh para murid Yesus. Yohanes mencegah orang itu karena ia bukan pengikut Yesus. Yohanes dan teman-temannya berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu baik dan menyenangkan hati Yesus. Ternyata bukanlah demikian. Yesus malah mengingatkan mereka supaya jangan mencegah orang itu. Yesus memiliki alas an yang logis, yakni kalau ada orang dapat mengadakan mukjizat demi nama-Nya tidak mungkin pada saat yang sama ia mengumpat Yesus. Maka Yesus dengan tegas berkata: “Barangsiapa tidak melawan kita, ia memihak kita.” (Mrk 9:40).
Tuhan Yesus mengajar kita untuk percaya bahwa Ia membawa keselamatan kepada semua orang. Maka Ia mengajar kita untuk tidak memperlakukan orang sesuai dengan sikap manusiawi kita, tetapi memperlakukan sesama seperti Ia sendiri memperlakukan kita semua. Dia mengajarkan kita untuk bersikap toleran terhadap sesama yang tidak seiman, dan membangun semangat oikumenis dengan saudara-saudari yang mengakui-Nya sebagai Tuhan. Mari kita mengubah sikap intoleran dengan sikap toleran dengan mereka yang tidak seiman.
PJSDB