Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXI
1Kor. 1:17-25
Mzm. 33:1-2,4-5,10ab,11
Mat. 25:1-13
Kebijaksanaan membuka pintu kesetiaan
Saya pernah melihat sebuah spanduk di halaman Gereja sebuah paroki, dengan tulisan berbunyi: “Kebijaksanaan membuka pintu kesetiaan”. Tulisan pada spanduk ini merupakan tema sebuah talk show yang diselenggarakan bagi keluarga-keluarga dan pasangan muda di paroki itu. Kegiatan ini termasuk salah satu program kerja dari sebuah kelompok kategorial di paroki itu. Berdasar pada tema talk show ini, para suami dan istri memerlukan bantuan untuk memperoleh anugerah kebijaksanaan yang terus menerus dari Tuhan supaya mereka menjadi bijaksana dalam dirinya sendiri, dalam berelasi dengan pasangan dan dalam mendidik anak-anak mereka.
Anugerah kebijaksanaan dari Tuhan bisa membuka pintu kesetiaan. Artinya pasangan suami dan istri yang bijaksana atau berhikmat akan menjadi pribadi yang setia satu sama lain. Pasangan suami dan istri yang tidak bijaksana akan sulit untuk menjadi pribadi yang setia. Contoh, pasangan suami dan istri yang bijaksana akan saling menghormati privasi mreka, menjaga nama baik pasangan mulai dari hal-hal yang kecil dan biasa di rumah. Pasangan yang tidak bijaksana, mudah menceritakan kelemahan pasangan kepada orang lain yang bukan pasangannya sendiri. Lama kelamaan kesetiaan hidup mendapat ujian yang berat. Saya membayangkan bahwa talk show di paroki itu akan memiliki dampak yang positif bagi para suami dan istri dalam membangun komunikasi satu sama lain, supaya menjadi pribadi yang bijaksana dan setia.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini berbicara tentang kebijaksanaan sebagai anugerah Tuhan yang dapat membuka pintu kesetiaan dalam hidup manusia. Tuhan hendak membuka pikiran dan hati kita bahwa hidup akan bernilai kalau kita berhikmat dan setia. Mari kita belajar dari pengalaman rohani St. Paulus. Ia berkata: “Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, melainkan untuk memberitakan Injil supaya salib Kristus jangan sampai menjadi sia-sia” (1Kor 1: 17). Ia menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai rasul atau utusan Tuhan. Tugasnya sudah jelas yaitu mewartakan Injil Yesus Kristus bukan untuk membaptis. Injil yang diwartakan nantinya menjadi injil yang hidup di dalam jemaat di Korintus. Semua orang menerima salib Kristus sebagai salib keselamatan.
Paulus menyadari tentang makna salib Kristus bagi keselamatan manusia. Baginya, Salib adalah kekuatan Allah bagi orang yang mengharapkan keselamatan. Sedangkan orang yang akan binasa merasa bahwa salib adalah kebodohan. Orang-orang yang akan binasa hanya memiliki hikmat duniawi sehingga mereka tidak mengenal Allah. Orang-orang yang melihat salib sebagai kekuatan dari Allah memiliki hikmat surgawi di mana keselamatan menjadi milik mereka. Menurut Paulus, Tuhan Allah sendiri akan menyelamatkan orang-orang yang percaya berkat kebodohan pemberitaan Injil.
Paulus lebih lanjut mengatakan bahwa sebagai utusan Allah, ia bersama rekan-rekannya memberitakan Kristus yang tersalib, suatu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang bukan Yahudi (1Kor 1:23). Ia menambahkan bahwa bagi orang yang dipanggil baik Yahudi maupun bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan dan hikmat Allah! Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia (1Kor 1:24-25). Salib adalah kekuatan Allah, hikmat yang menyelamatkan manusia dari kebinasaan dosa.
Kita semua sebagai orang yang dibaptis mendapat anugerah istimewa untuk mengerti tentang makna salib. Dengan memandang salib kita melihat keselamatan hanya di dalam Yesus Kristus. Hikmat dari salib bagi kita adalah sebuah kekuatan istimewa dari Allah. Sebuah kekuatan istimewa yang menyelamatkan kita dari dosa dan kebinasaan. Sebab itu kita berani memandang salib Yesus dan berkata: “Sebab dengan salib suci-Mu, Engkau telah menguduskan dunia”. In Cruce Salus! Salib adalah tanda keselamatan. Salib adalah tanda kesetiaan Kristus kepada Bapa. Salib adalah kesetiaan kita kepada Tuhan selama-lamanya. Ini adalah kebijaksanaan Kristiani!
Tuhan Yesus dalam Injil memberi sebuah perumpamaan kepada para murid-Nya tentang sepuluh orang gadis yang mengambil pelitanya untuk menyongsong pengantin. Dari kesepuluh orang gadis itu, ada lima orang gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh. Gadis-gadis yang bijaksana membawa pelita dan minyak dalam buli-bulinya sedangkan gadis-gadis yang bodoh hanya membawa pelitanya saja. Mereka sama-sama menanti sang pengantin hingga tertidur. Pada tengah malam pengantin datang dan mereka harus menyambutnya. Gadis-gadis yang bijaksana menyalakan pelitanya sedangkan gadis-gadis yang bodoh tidak bisa menyalakan pelitanya karena tidak ada minyak.
Kisah selanjutnya mengatakan bahwa para gadis bijaksana itu benar-benar menjadi mempelai bagi sang pengantin. Mereka masuk bersamanya dengan pelita bernyala untuk mengikuti perjamuan bersama. Ada sukacita yang besar. Gadis-gadis yang bodoh masih mencari minyak, dan ketika mereka kembali dengan minyaknya, pintu sudah tertutup. Mereka berkeinginan untuk masuk dan bersukacita bersama namun bagi mereka berlima pintu tidak dibukakan lagi. Tuan itu tidak mengenal mereka. Mereka seharusnya berjaga-jaga dalam menanti kedatangan sang mempelai. Mereka tidak menggunakan hikmat yang Tuhan anugerahkan kepada mereka.
Kisah Injil ini mau mengatakan satu kata penting yakni kesetiaan. Gadis-gadis bijaksana menjadi mempelai bagi sang pengantin karena mereka setia. Kesetiaan hidup ditunjukkan dengan membawa pelita dan minyaknya. Pelita orang yang setia harus tetap menyala. Pelita orang bodoh tidak menyalah karena mereka tidak setia, hanya ikut ramai saja. Maka orang yang berhikmat akan menjadi seperti gadis-gadis bijaksana dan setia dalam Injil. Tuhan datang pada waktu istimewa dan mereka siap untuk menjadi mempelai abadi-Nya.
Kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia memberikan hikmat kepada kita sebagai sebuah anugerah. Hikmat untuk merasakan salib sebagai kekuatan dari Allah. Hikmat untuk membuka pintu kesetiaan kita kepada Tuhan dan sesama selamanya. Bersyukurlah senantiasa kepada Tuhan yang setia kepada kita.
PJSDB