Tuhan saja bisa menyesal, mengapa kita sulit?
Saudari dan saudara terkasih. Kita mengakhiri hari ini dengan sebuah permenungan sekaligus pemeriksaan batin. Sepanjang hari ini saya merenungkan kerahiman Tuhan yang tiada batasnya bagi manusia. Penginjil Lukas mengisahkan tiga perumpamaan yang sama-sama menunjukkan betapa Tuhan mengasihi, berbelas kasih dan maharahim bagi manusia yang berdosa. Ia selalu membuka tangan-Nya untuk menerima anak-anak yang tersesat dan hilang. Ada sukacita besar di dalam hati Tuhan ketika anak-anak-Nya yang tegar tengkuk, menyesal dan bermetanoia (Luk 15:1-32).
Namun ada satu hal yang membuat saya lebih bangga dengan Tuhan Allah pada hari ini. Dikisahkan bahwa Musa sedang berada di hadiratNya selama 40 hari dan 40 malam. Ini menjadi kesempatan bagi bangsa Israel di kaki gunung Sinai untuk menyembah berhala. Mereka melebur emas yang mereka bawa dari Mesir lalu membuat patung lembu dan menyembah serta memberi sesajian kepadanya. Tuhan Allah marah besar dan hendak menghancurkan bangsa yang tidak tahu berterima kasih ini. Ia hanya mau memperhatikan Musa dan keturunannya. Namun Musa membujuk Tuhan untuk tidak memberi malapetaka kepada bangsanya. Tuhan mendengar Musa sehingga hatinya lunak. Sebab itu “Menyesallah Tuhan atas malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya” (Kel 32:14).
Tuhan kita hebat. Ia merancang malapetaka bagi orang yang tidak percaya dan berbuat jahat kepada-Nya. Namun tidak ada eksekusi. Tuhan menyesal karena sudah mengancam bangsa Israel dengan malapetaka.
Hari ini kita harus belajar untuk malu. Tuhan Allah saja menyesal padahal Ia baru merencanakannya. Sekarang pikirkanlah hidupmu. Mengapa anda mengaku sebagai orang katolik, pengikut Yesus Kristus tetapi masih sulit untuk mengampuni sesama? Tuhan saja menyesal, mengapa sebagai ciptaan-Nya yang mulia, sulit untuk berhati lunak, dan masih mau membalas dendam? Kita belajar dari Tuhan yang menyesal karena merancang malapetaka dan mengampuni tanpa batas.
PJSDB