Hari Rabu, Pekan Biasa ke XXVII
Gal. 2:1-2,7-14
Mzm. 117:1,2
Luk. 11:1-4
Apakah anda berdoa?
Pada suatu kesempatan saya mengunjungi sebuah keluarga yang memiliki seorang anak berusia empat tahun. Ketika itu, saya diminta untuk menunggu sebentar di ruang tamu karena pasangan suami dan istri masih berdoa bersama anak mereka. Saya merasa bangga dengan keluarga muda ini karena memiliki sebuah kebiasaan yang baik yaitu berdoa bersama. Anak mereka yang masih balita sudah mulai belajar berdoa besama orang tuanya. Kebiasaan baik ini akan menjadi sebuah kekuatan rohani baginya di masa depan. Berdoa bagi mereka merupakan sebuah kebutuhan rohani bukan sebuah tugas manusiawi. Orang yang merasa bahwa berdoa adalah sebuah kebutuhan maka ia akan setia berdoa kapan dan di mana pun. Orang yang merasa bahwa berdoa adalah sebuah tugas maka kemungkinan lalai dalam berdoa selalu ada.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa berdoa berarti kita mengarahkan hati dan pikiran hanya kepada Tuhan. Mengapa kita perlu mengarahkan hati dan pikiran kita hanya kepada Tuhan? Karena ketika kita berdoa berarti kita memiliki satu prioritas utama yakni mengasihi Tuhan Allah. Kita membaca di dalam Kitab Ulangan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul 6:5). Jadi mengarahkan hati dan pikiran berarti kita mengasihi Tuhan tanpa batas. Berdoa menjadi sebuah kebutuhan, sebuah prioritas di dalam hidup kita.
Penginjil Lukas hari ini menunjukkan Yesus sebagai seorang pendoa. Ia menulis: “Pada waktu itu Yesus sedang berdoa di salah satu tempat”. Yesus adalah Anak Allah. Ia mengarahkan hati dan pikiran-Nya kepada Tuhan di sebuah tempat yang dapat dilihat oleh para murid-Nya. Salah seorang murid-Nya berani meminta kepada Yesus untuk mengajar sebuah doa. Banyak murid Yesus adalah mantan didikan Yohanes Pembaptis maka mereka sudah belajar berdoa bersamanya. Kini mereka mau memiliki doa yang diajarkan khusus oleh Yesus.
Tuhan Yesus adalah Rabi yang mengajar para murid-Nya untuk berdoa dengan berkata: “Bila kalian berdoa katakanlah”. Para murid harus bersikap sebagai anak-anak Allah yang benar di hadirat-Nya sehingga berani berkata benar. Para murid berdoa karena melihat Yesus berdoa. Ia menunjukkan teladan sebagai seorang Pendoa. Ia mengajar mereka untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan-Nya di hadirat Bapa. Selanjutnya, Yesus mengajarkan mereka doa ini: “Bapa dikuduskanlah namamu, datanglah Kerajaan-Mu, berilah kami setiap hari makanan yang secukupnya, ampunilah kesalahan kami sebab kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami, janganlah membawa kami ke dalam pencobaan”
Di dalam doa yang diajarkan Yesus ini, kita semua menyapa Allah sebagai Bapa dan menguduskan nama-Nya. Artinya, hidup kita sebagai anak selalu terarah kepada-Nya sebagai Bapa yang baik. St. Theresia dari Avila mengakui bahwa banyak kali dia hanya berhenti pada kata Bapa, ketika mendoakan doa Bapa kami. Ia merasa bahwa Bapa adalah kata yang indah, penuh kasih karena meskipun kita adalah manusia yang lemah namun masih boleh menyapa Allah sebagai Bapa. Dia adalah Bapa yang memiliki Kerajaan kasih. Sebagai anak kita dipanggil untuk ikut merasakan kasih di dalam Kerajaan-Nya.
Kita sebagai anak-anak-Nya menyampaikan permohonan, bukan hal yang kita sukai tetapi yang kita butuhkan di dalam hidup ini. Kita membutuhkan makanan secukupnya, kita mewujudkan kasih dengan saling mengampuni satu sama lain dan supaya kita luput dari semua pencobaan yang menjauhkan kita dari kasih dan kerahiman-Nya.
Apakah anda berdoa dan mengucap syukur seperti Yesus? Kita harus malu sebab Yesus sebagai Anak Allah saja masih berdoa, mengapa banyak di antara kita yang lalai dalam berdoa? Berdoa haruslah menjadi kebutuhan hidup kita. Satu hal yang konkret adalah pada bulan Rosario ini, kita jangan hanya memiliki rosari merah putih saja tetapi kita berdoa, mengajarkan doa rosario kepada sesama terutama anak-anak kita di rumah.
PJSDB