Bacaan I: Kebijaksanaan 2: 23-3, 9
Mazmur: 34:2-3;16-17; 18-19
Injil: Lukas 17: 7-10
Apabila kita membaca sepintas perumpamaan Yesus ini maka kita pasti kecewa dengan majikan yang terlampau menggunakan kuasanya. Majikan itu sifatnya egois, sinis, dan tidak peduli dengan para hambanya. Ketika hambanya barusan pulang dari ladang ia harus menunjukkan pengabdiannya meski diperlakukan secara kasar: “Sediakanlah makananku, ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai aku selesai makan dan minum. Setelah itu anda boleh makan dan minum.” Bahkan berterima kasih kepada hamba atas pelayanannya pun tidak. Situasi ini memang lazim dalam masayarakat zaman itu yang suka merendahkan orang-orang kecil.
Semangat baru yang diajarkan Yesus terletak pada kehebatan hamba yang setia melayani majikannya. Hamba atau pelayan berani membakar egonya dan mengabdi majikannya dengan tulus hati. Prinsip hidup para hamba dalam pelayanan mereka adalah: “Kami ini hamba-hamba tak berguna. Kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan.” Tentu saja semangat hamba inilah yang perlu dikembangkan oleh para murid Kristus.
Satu kebijaksanaan yang seharusnya menyadarkan kita adalah bahwa manusia diciptakan sewajah dengan Allah. Oleh karena itu manusia seharusnya menyadari makna pengabdian yang tulus kepada Tuhan. Memberi diri tanpa perhitungan tertentu untuk memperoleh sesuatu sebagai balasan. Hati kita seharusnya seperti hati seorang hamba yang siap untuk melayani Tuhan. Hamba yang baik tidak akan membanggakan dirinya sebagai pelayan, tidak mencari popularitas tetapi merasa sebagai hamba yang tidak berguna dan siap melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Hamba dapatlah menderita sebagai orang jujur di hadirat Allah tetapi mereka dilindungi dan dijaga oleh kasih dan kerahiman Allah.
Masing-masing kita perlu dan harus memiliki hati sebagai hamba yang setia melayani. Pengabdian yang kita miliki merupakan wujud kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Maka jangan berhenti berbuat baik dalam melayani. Tinggalkanlah egomu dan mengabdilah. Ingatlah, barang siapa yang mengerjakannya lebih dari apa yang dibayarkan kepadanya suatu saat akan menerima lebih dari apa yang dikerjakannya.
Sabda Tuhan juga mengoreksi mental majikan dalam diri kita terhadap sesama: pembantu, sopir, karyawan yang sering dianggap sebagai “sebuah” untuk mempermudah pekerjaan kita dan lupa bahwa mereka adalah “siapa” yang harus diberdayakan untuk menjadi sungguh-sungguh manusia. Kategori kita adalah bahwa mereka digaji dan pantas untuk dipekerjakan. Seharusnya kita melihat mereka sebagai mitra yang turut membantu karya kita, dan kita memberdayakan mereka. Gereja dalam hal ini komunitas-komunitas biara, paroki, sekolah-sekolah dan rumah sakit katolik kadang lupa dengan semangat ini. Maka gaji para karyawan pun terkadang minim di bawah standar upah minimum. Memang mereka mungkin berprisip kami hanya para hamba tetapi “Seorang pekerja patut mendapat upahnya”.
Doa seorang hamba: Aku melayani Tuhan dengan setulus hati.
PJSDB