Ekaristi sebagai saat bersahabat dengan Yesus
Dalam kisah hidup para kudus, saya sangat tertarik dengan kehidupan St. Gerardus Majella. Orang kudus ini terkenal karena mengalami rahmat istimewa dari Tuhan yaitu dapat melayang di udara dan berada di dua lokasi sekaligus. Dia terkenal murah hati, taat, bakti yang tidak mementingkan diri sendiri dan matiraga. Pengalaman rohaninya dimulai ketika masih berusia 5 tahun. Ia masuk ke dalam Gereja dan terjadilah bahwa Patung Kanak-Kanak Yesus yang digendong Bunda Maria itu turun dan bermain-main dengan Gerardus. Ketika lapar, kanak-kanak Yesus itu memberinya sepotong roti. Setiap kali kembali ke rumah ia selalu membawa roti dan tentu mengherankan orang tuanya. Ketika ditanya dari mana roti itu, Gerardus hanya menjawab, ada sahabat yaitu seorang bocah laki-laki yang memberinya.
Pada suatu hari, kakak perempuannya mengikuti Gerardus ke Gereja. Di sana ia melihat
Gerardus bermain-main dengan kanak-kanak Yesus. Usai bermain bersama, Kanak-Kanak Yesus memberinya sepotong roti lagi. Setiap kali mengikuti misa kudus, Gerardus juga melihat kehadiran nyata Yesus dalam Ekaristi Kudus. Pada saat berusia tujuh tahun, ia ingin menerima komuni, tetapi belum diperbolehkan karena usianya masih kecil. Ia pun menangis sedih seharian maka pada malam hari, ia didatangi Malaikat Agung Mikhael dan memberinya komuni kudus. Ini adalah sebuah pengalaman rohani yang berharga bagi kita dari St. Gerardus.
Setiap kali mengikuti perayaan Ekaristi kita seharusnya merasakan kehadiran Kristus dalam Sabda dan Ekaristi. Di dalam bagian Sabda, kita merasa sungguh-sungguh dicintai karena disapa dengan penuh kebaikan oleh Tuhan. Dengan mendengar Sabda Tuhan, setiap pribadi yang mendengarnya merasa mengalami kehadiran Tuhan Allah, bersekutu dengan semua saudara karena mendengar satu firman yang sama, dan menjadi rasul atau utusan untuk mewartakan Sabda setelah mendengarnya (menjadi pelaku Firman). Betapa indah dan bahagianya ketika kita disapa dan dikoreksi Tuhan melalui SabdaNya. Bagian Ekaristi membantu kita untuk merasakan persekutuan yang intim dengan Tuhan. Tuhan tidak hanya berbicara tetapi tindakan konkretnya adalah memberi diriNya sebagai santapan bagi semua orang yang percaya kepadaNya. St. Fransiskus dari Sales pernah berkata: “Dalam Ekaristi kudus, kita menjadi satu dengan Allah seperti makanan dengan tubuh.” Makanan yang dikunya, ditelan dan dicerna sempurna lalu menyatu dan beredar dalam seluruh tubuh kita.
Beata Theresia dari Kalkuta pernah berkata: “Hidupmu harus ditenun di sekeliling Ekaristi. Arahkanlah matamu padaNya. Dialah Cahaya. Bawalah hatimu sedekat-dekatnya pada hati ilahiNya, minta dariNya rahmat untuk mengenalNya, kasih untuk mencintaiNya, keberanian untuk melayaniNya. Carilah Tuhan dengan kerinduan”. Jauh sebelumnya St.Agustinus juga berkata: “Seolah-olah aku mendengar suara dari tempat tinggi: “Akulah santapan dari Yang Kuasa. Makanlah dan bertumbuhlah. Tetapi engkau tidak akan mengubah Aku menjadi dirimu sendiri seperti makanan bagi tubuh, namun engkaulah yang akan diubah ke dalam diriKu.”
Ekaristi sebagai sebuah perjamuan merupakan jantung persekutuan bagi umat kristiani. Dengan menerima Tubuh dan Darah Kristus kita semua sebagai umat Allah mesti merasa semakin dipersatukan dengan Kristus Putra Allah. Tidak ada perbedaan di antara kita karena kita menerima Yesus yang satu dan sama dalam rupa roti dan anggur. Mengapa demikian? Karena Yesus sendiri mengakui diriNya: “Akulah roti hidup; barang siapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi dan barang siapa percaya kepadaKu, ia tidak akan haus lagi” (Yoh 6:35). Dua kata kunci yang dipakai Yesus untuk memberi pemahaman kepada para muridNya dan kita semua yaitu “datang kepada Yesus” sifatnya mengenyangkan; “percaya kepada Yesus” sifatnya melegahkan dahaga.
Pernakah anda memiliki perhatian yang besar dalam perayaan Ekaristi? Pada saat konsekrasi, imam mengulangi kata-kata Yesus pada malam perjamuan terakhir. Inilah kata-kata Yesus ketika mengambil roti: “Terimalah dan makanlah: inilah tubuhKu yang diserahkan bagimu” (1Kor 11: 24). Ketika mengambil piala dan Ia berkata: “Terimalah dan minumlah: inilah Piala darahKu, darah perjanjian baru dan kekal yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Lakukanlah ini untuk mengenangkan daku”(1Kor 11: 25). Kata-kata dalam konsekrasi ini disempurnakan dengan kalimat: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”.Ekaristi menjadi saat mengenang keselamatan dan kasih Tuhan yang tiada batasnya.
Hal yang menarik perhatian kita adalah bahwa Yesus mencintai kita tiada batasnya itu bersifat pribadi. Ia memberikan roti yang tidak lain adalah tubuhNya sendiri bagi kita secara pribadi: “Inilah tubuhKu yang diserahkan bagimu”. Inilah piala darahKu…yang ditumpahkan bagimu”. Dengan kata lain cinta kasih dan pengorbanan besar dilakukan oleh Yesus untuk kita masing-masing secara pribadi bukan kolektif. Itu sebabnya ketika imam mengangkat roti dan anggur yang dikuduskan dengan daya Roh Kudus berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, kita semua harus melihat kepada roti dan anggur yang sedang dikonsekrir dan diangkat oleh imam tertahbis bukan menundukkan kepala. Ketika imamnya berlutut atau menundukkan kepala, pada saat kita kita juga menundukkan kepala sebagai tanda sembah bakti kita. Kita harus melihat Tubuh dan Darah Kristus yang menyelamatkan kita. Yesus hadir nyata dalam Ekaristi.
Selanjutnya, apa yang mendorong kita untuk menerima komuni kudus? Apakah SabdaNya saja belum cukup? Jawabannya adalah dalam perayaan ekaristi ada Sabda dan Ekaristi. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Tidak cukup mendengar SabdaNya, harus dilengkapi dengan kehadiran nyata dalam Ekaristi. Saya ingat Paus Leo Agung pernah berkata: “Pada saat kita menerima Tubuh dan Darah Kristus, kita juga diubah menjadi seperti yang kita terima”. St. Thomas Aquino berkata: “Pengaruh yang sesungguhnya dari Ekaristi adalah perubahan dari manusia menjadi Allah”. Ekaristi memiliki daya mengubah kita menjadi serupa dengan Kristus.
Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip salah satu buah pikiran Paus Emeritus Benediktus XVI: “Bagaimana Yesus dapat membagikan tubuh dan darahNya? Dengan mengubah roti menjadi TubuhNya dan anggur menjadi DarahNya. Dia mengantisipasi wafatNya, menyambut dalam hatiNya, dan mengubahnya menjadi tindakan cinta kasih.
Apa yang di luar merupakan kekerasan yang brutal berupa penyaliban, dari dalam menjadi tindakan cinta kasih dan pemberian diri secara total.” Memang, kadang-kadang kita hanya berhenti memandang salib sebagai salib dan kita lupa bahwa di dalam salib itu ada cinta kasih yang tiada batasnya bagi setiap pribadi.
Dengan merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, kita memandang Yesus sebagai Imam Agung kekal yang berekaristi dengan kita semua. Ia menyerahkan diriNya sebagi kurban sepanjang masa demi keselamatan kita semua. Kita berterima kasih kepada Tuhan dan senantiasa memohon agar Tubuh dan Darah Kristus yang kita terima setiap kali dalam Ekaristi mengubah hidup kita. Perubahan yang radikal di dalam diri kita masing-masing adalah semakin akrabnya diri kita dengan Tuhan Yesus sendiri.