PW Hati Tersuci SP Maria
Yes 61: 9-11
Mzm (1Sam) 2:4-5.6-7.8abcd
Luk 2:41-51
Merenungkan Kesucian Hati Bunda Maria
Sehari setelah merayakan Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus, kita memperingati Hati Tersuci Santa Perawan Maria. Devosi kepada Hati Tersuci Santa Perawan Maria di dalam di dalam Gereja Katolik dimulai sejak tahun 1640 di Napoli, Italia. Ketika itu St. Yohanes Eudes memulai sebuah gerakan devosional kepada Hati Tersuci Bunda Maria. Hal yang mendorongnya untuk mempopulerkan devosi ini adalah Magnificat yang diucapkan Bunda Maria di dalam Injil Lukas: “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah Juru selamatku”. (Luk 1:46-47) Maria juga menyimpan semua perkara di dalam hatinya (Luk 2:51). Devosi ini semakin dikenal luas di dalam Gereja Katolik pada tahun 1805. Hingga tahun 1942, devosi ini tetap dikenal di dalam Gereja dan dirayakan setiap tanggal 22 Agustus. Pada masa kepemimpinan Paus Pius ke-XII, yakni tahun 1944, beliau mempersembahkan pengudusan dunia kepada Hati Tersuci Santa Perawan Maria di kandung tanpa noda. Sejak tahun 2000 kita merayakannya sehari setelah perayaan Hati Yesus yang Mahakudus. Merayakan Hati Tersuci Santa Perawan Maria membantu kita untuk memandang Maria dan belajar untuk memiliki hati yang suci dan murni.
Tuhan Yesus dalam Sabda Bahagia-Nya mengatakan: “Berbahagialah orang yang suci hatinya karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8). Orang yang suci hatinya, hatinya tembus pandang akan mengalami kekudusan Allah dalam hidupnya dan menunjukkan kekudusan Allah kepada sesamanya. Allah yang kudus bersemayam di dalam hatinya. St. Paulus menasihati kita semua: “Tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu. Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah…” (1Kor 6:19). Perkataan St. Paulus ini kiranya tepat ditujukan kepada Bunda Maria. Tuhan memadang kesucian hatinya sehingga memilihnya untuk menjadi bunda Yesus Putera-Nya. Kita pun berjalan dalam jalan yang sama untuk berjalan dalam jalan kekudusan.
Kita merayakan peringatan Hati Tersuci Bunda Maria, membuka wawasan kita untuk selalu bersukacita dalam hidup, apa pun situasinya. Hidup dalam sukacita bukan berarti hidup tanpa masalah. Sebagai pengikut Kristus, Tuhan Yesus sendiri berkata: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela, dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:11-12). Orang yang menerima penderitaan dalam sukacita akan layak disebut keturunan yang diberkati Tuhan.
Nabi Yesaya dalam bacaan pertama mengungkapkan sukacitanya di dalam Tuhan. Ia berkata: “Aku bersukaria di dalam Tuhan, jiwaku bersorak sorai di dalam Allahku sebab Ia mengenakkan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran…” Suasana sukacita yang diharapkan oleh Yesaya karena Tuhan turut bekerja di dalam hidup manusia. Tuhan Allah bagi Yesaya, akan menumbuhkan kebenaran dan puji-pujian di depan semua bangsa. Hati penuh sukacita karena Tuhan sungguh hadir dalam hidup manusia. Pengalaman nabi Yesaya adalah pengalaman kita juga ketika membuka diri dan merasakan sukacita Tuhan dalam situasi apapun.
Di dalam bacaan Injil kita belajar dua hal yang dibagikan oleh St. Lukas. Pertama, kita belajar untuk bersukacita di dalam Tuhan sebagaimana ditunjukkan oleh Bunda Maria dan St. Yusuf bersama Yesus. Keluarga kudus dari Nazaret ini bergembira dan bersukacita dengan berziarah ke Yerusalem. Bagi Maria dan Yusuf, ini adalah kesempatan untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Yahwe. Bagi Yesus, ini adalah kesempatan untuk bersatu dengan Bapa di Surga dan mewahyukan diri-Nya kepada manusia sebagai Anak Allah. Masing-masing mereka menunjukkan sukacita tersendiri di hadapan Allah.
Kedua, kita melihat figur Bunda Maria dengan hatinya yang suci. Ia menunjukkannya melalui rasa tanggung jawab sebagai seorang ibu bagi anaknya Yesus Kristus. Dikisahkan bahwa setelah seharian perjalanan, mereka tidak melihat Yesus. Mereka mencari dan tidak menemukan-Nya. Mereka pun kembali ke Yerusalem dan mencari-Nya selama tiga hari. Ketika berjumpa dengan Yesus, Maria menunjukkan keibuan dan kesuciannya dengan berkata: “Anak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihatlah, Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” (Luk 2:48). Maria bahkan menyimpan semua perkara ini di dalam hatinya (Luk 2:51). Dia benar-benar bertanggung jawab terhadap anaknya Yesus Kristus. Yesus bertumbuh, bertambah besar hikmat-Nya di dalam keluarga Kudus Nazaret.
Dari sikap Bunda Maria ini, kita belajar sesuatu yang sangat bernilai. Pertama, supaya selalu bersukacita dalam hidup, apa pun situasinya. Kedua, kita menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap segala tugas yang dipercayakan kepada kita. Kalau anda sudah menjadi ibu dan ayah, jangan hanya menjadi ibu dan ayah yang baik tetapi yang terbaik di dalam keluarga. Kalau menjadi suster, bruder, frater dan pastor maka jangan hanya menjadi yang baik tetapi yang terbaik di hadapan Tuhan dan sesama. Bunda Maria menujukkan kepada kita yang terbaik yakni kekudusannya. Bagaimana dengan kita?
PJ-SDB