Hari Minggu Biasa ke-X/B
Kej. 3:9-15
Mzm. 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8
2Kor. 4:13-5:1
Mrk. 3:20-35
Berpikir positif Seperti Yesus
Pada pagi hari ini saya menemukan sebuah perkataan dari seorang Penulis dan motivator berkebangsaan Amerika, namanya Alan Cohen. Ia berkata: “Berpikir positif itu tidak berarti kita mencoba menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Berpikir positif sesungguhnya mengakui bahwa kebaikan itu memang sudah ada — semuanya itu ada.” Saya tersenyum sebentar dan mengatakan dalam hati bahwa hingga saat ini masih banyak orang yang berpikir bahwa berpikir positif itu identik dengan menciptakan atau mengakui kebaikan yang belum ada di dalam diri sendiri dan diri sesama yang lain. Sebab itu orang mau menciptakan sesuatu yang baru dalam hidupnya dan mengklaim bahwa dialah yang terbaik sambil merendahkan sesama yang lain. Banyak kali kita juga hanya menilai sesama dari apa yang kita lihat dengan mata yakni di bagian luar atau pada tampilan fisiknya saja. Kita lupa bahwa bagian terdalam dari setiap pribadi, yakni jati dirinya sebagai manusia adalah elemen yang paling penting dalam hidupnya. Tuhan Allah melihat hati manusia sedangkan manusia terbiasa melihat bagian luarnya saja (1Sam 16:7). Biasakanlah berpikir positif sehingga kita benar-benar menjadi sesama manusia.
Pada hari Minggu Biasa ke-X/B ini, kita mendengar kisah Yesus dalam bacaan Injil. Banyak orang yang mengikuti-Nya dari dekat, merasa takjub dan berpikir positif karena mengalami kuasa ilahi-Nya melalui setiap perkataan yang keluar dari mulut-Nya dan setiap pekerjaan yang dilakukan-Nya. Penginjil Markus mengatakan bahwa Yesus dan para murid-Nya saat itu tekun berkarya dan melayani sehingga ‘makan pun mereka tidak dapat’. Ini tentu hal yang menggembirakan sebab Ia datang ke dunia bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Namun masih ada orang-orang tertentu yang berpikir negatif terhadap-Nya. Misalnya ada yang melihat kesibukan Yesus dalam melayani ini menganggap-Nya tidak waras lagi sehingga mereka memanggil keluarga-Nya supaya datang untuk menjemput-Nya. Para ahli Taurat yang datang dari Yerusalem menganggap-Nya kerasukan Beelzebul dan dengan bantuan penghulu setan itu Yesus dapat mengusir setan-setan. Ini adalah pikiran-pikiran negatif dari orang-orang yang sedang melihat Yesus dan karya-Nya di atas dunia saat itu.
Tuhan Yesus memaklumi kepicikan orang-orang yang berpikiran negatif terhadap-Nya. Ia tidak membalas pikiran negatif mereka secara frontal. Ia justru menunjukkan kesabaran Allah kepada mereka. Ia berkata: “Bagaimana Iblis dapat mengusir Iblis? Kalau suatu kerajaan terpecah-pecah, kerajaan itu tidak dapat bertahan, dan jika suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah tangga itu tidak dapat bertahan. Demikianlah juga kalau Iblis berontak melawan dirinya sendiri dan kalau ia terbagi-bagi, ia tidak dapat bertahan, melainkan sudahlah tiba kesudahannya.” (Mrk 3:23-26). Kata-kata Yesus ini coba membangunkan para ahli Taurat dan lawan Yesus yang sedang tidur dalam imannya. Mereka tidak mengapresiasi Yesus dan pekerjaan-Nya tetapi merendahkan-Nya. Manusia yang lemah merendahkan Tuhan yang berkuasa atas segalanya. Sungguh sangat ironis, di satu pihak Allah melalui Yesus Putera-Nya mengasihi dan di pihak manusia hanya ada pikiran negatif kepada-Nya. Tuhan Yesus juga melihat kedegilan hati mereka. Ia mengetahui bahwa manusia selalu jatuh dalam dosa yang sama. Tuhan Allah sebagai pencipta saja masih direndahkan begitu saja. Allah Tritunggal Mahakudus tidak mendapat tempat dalam hati manusia. Sebab itu Yesus berkata: “Sesungguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua hujat yang mereka ucapkan. Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa kekal.” (Mrk 3:28-29).
Apa artinya dosa melawan Roh Kudus? Dosa melawan Roh Kudus adalah sikap bathin manusia yang benar-benar menutup dirinya di hadirat Tuhan sehingga tidak percaya kepada Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari kematian-Nya. Arah hidup orang ini hanya tertuju kepada dosa bukan kepada Tuhan. Tentang Dosa menghujat Roh Kudus, Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajarkan: “Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus”, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, tetapi bersalah karena berbuat dosa kekal” (Mrk 3:29). Kerahiman Allah tidak mengenal batas; tetapi siapa yang dengan sengaja tidak bersedia menerima kerahiman Allah melalui penyesalan, ia menolak pengampunan dosa-dosanya dan keselamatan yang ditawarkan oleh Roh Kudus. Ketegaran hati semacam itu dapat menyebabkan sikap yang tidak bersedia bertobat sampai pada saat kematian dan dapat menyebabkan kemusnahan abadi.” (KGK, 1864). Orang yang melawan Roh Kudus itu tidak mau bertobat sampai saat ajal tiba. Sungguh menyedihkan bagi orang-orang seperti ini.
Apakah Roh Kudus lebih penting atau roh jahat? St. Paulus pernah berkata: “Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.” (Rm 8:11). Orang yang menutup dirinya terhadap Roh Kudus pasti tidak percaya pada kebangkitan dan keselamatan dalam Yesus Kristus. Dalam bacaan kedua, Paulus juga bersaksi: “Karena kami tahu, bahwa Ia, yang telah membangkitkan Yesus, akan membangkitkan kamu juga bersama-sama dengan Yesus. Dan Ia akan menghadapkan kami bersama-sama dengan kamu pada diri-Nya.” (2Kor 4: 14). Semua ini karena karya Roh Kudus yang datang dari Bapa melalui Yesus sang Putera. Paulus mengorientasikan kita supaya dengan kekuatan Roh Kudus, kita bersatu dengan Bapa di Surga. Tentang hal ini, Paulus berkata: “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.” (2Kor 5:1). Persatuan dengan Allah adalah harapan kita semua.
Apa yang harus kita lakukan untuk selalu berpikir positif?
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memberikan satu jalan yang pasti bagi kita semua yaitu dengan tekun melakukan kehendak Allah di dalam hidupnya. Ia berkata: “Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Mrk 3:35). Kehendak Allah bagi kita adalah membangun kerajaan kasih dan keadilan di atas dunia ini. Kita berpikir positif seperti Yesus sendiri. Pikiran positif ini menjadi nyata dalam sikap hidup kita terhadap sesama yang lain. Banyak kali kita semua mirip Adam dan Hawa di taman Eden yang suka mengalihkan beban kepada orang lain. Pada saat Tuhan bertanya kepada Adam: “Adam, di manakah engkau?” Adam dan Hawa bersembunyi karena mereka takut dan telanjang. Cinta kasih dan kebebasan yang Tuhan berikan kepada mereka sirna. Mulailah Adam mengalihkan dosanya kepada Hawa, Hawa mengalihkan dosanya kepada ular dan ularlah yang mendapat kutukan dari Tuhan. Manusia boleh saling mengalihkan dosa, tetapi Tuhan tetap berpikir positif bagi manusia. Pemzmur berkata: “Pada Tuhan ada kasih setia dan penebusan berlimpah” (Mzm 130:37). Berpikir positif seperti Tuhan Yesus akan membuat hidup kita lebih bermakna.
Pada hari ini Tuhan menghendaki supaya kita jangan mengalihkan dosa kita kepada orang lain, dan berpikir bahwa kita tidak ada dosa. Cukuplah Adam dan hawa berdosa seperti itu! Kita juga diingatkan untuk bertumbuh dalam suasana berpikir positif tentang sesama. Coba hitunglah, selama sehari berapa kali anda berpikiran negatif terhadap sesama manusia? Apakah anda mendapat keuntungan tertentu dari hidup dengan pikiran negatif terhadap sesama? Sebaiknya berpikirlah positif. Hal yang terakhir adalah bangunlah semangat bermetanoia. Biarkanlah Roh Kudus berkarya dan membaharui hidupmu.
PJ-SDB