Da Mihi Animas Cetera Tolle

Buah permenungan filsafat, teologi dan psikologi, juga berisi homili harian berdasarkan bacaan harian Liturgi Gereja Katolik

  • Home
  • Renungan
  • Bible
  • Teologi
  • Filsafat
  • Psikologi
  • Don Bosco
  • Spiritualitas Pria Katolik
  • Saint a Day

Archives for June 2018

Food For Thought: Memberi dengan sukacita

20/06/2018 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Memberi dengan sukacita

Pada hari ini saya berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan karena Tuhan sungguh baik bagi saya. Ia sudah memberi segalanya yang boleh saya alami sendiri hingga saat ini. Saya tidak dapat menghitungnya, hanya dapat mensyukurinya. Tuhan memberi kepadaku orang-orang yang terbaik, mulai dari orang tua dan keluargaku, para konfrater Salesian, para penderma, kaum muda, sahabat dan kenalan yang dengan caranya masing-masing menunjukkan kasih dan pengurbanannya bagiku. Sejauh ini saya tidak pernah mendengar Tuhan dan juga kalian semua menghitung-hitung berapa yang sudah anda berikan kepadaku dan berapa yang sudah saya berikan kepadamu. Semuanya ternyata gratis! Luar biasa. Ini menjadi alasan saya sekali lagi berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan dan memohon rahmat yang terbaik bagimu. Mungkin anda mengatakan kepadaku, Pater John Laba, SDB sedang basa-basi di siang hari ini. Saya mengatakan tidak sedang basa-basi tetapi saya mengatakan semua ini dari lubuk hati yang paling dalam bahwa saya bersyukur karena anda juga hadir dalam hidup saya. Semua kebaikan dan kasih benar-benar saya rasakan dalam hidup saya.

Saya menulis ucapan syukur ini sebagai refleksi saya atas perkataan Tuhan Yesus dalam Injil hari ini: “Apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Sesungguhnya mereka ini sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang dilakukan tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi itu akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6: 2-4). Perkataan Tuhan Yesus ini sederhana, jelas dan sangat bermakna bagi hidup kita. Tuhan Yesus sedang berbicara tentang hidup kita di hadapan-Nya dan hidup kita berdampingan dengan sesama yang lain.

Perkataan Tuhan Yesus ini membuka wawasan kita bahwa sebenarnya ada dua tipe manusia:

Manusia pertama selalu memberi dengan sukacita, tanpa menghitung-hitung apa yang sudah diberikannya kepada sesama yang lain. Ketika memberi sesuatu, ia berusaha supaya apa yang diberikan tangan kirinya tidak diketahui oleh tangan kanannya. Ia tidak punya kesempatan untuk bercerita kepada semua orang bahwa ia menyumbang ini dan itu, sekian dan sekian. Ia memberi gratis dan penuh sukacita. Ia akan berkata: “Betapa indahnya berbagi denganmu”. Atau boleh juga ia berkata: “Aku hanya distributor kasih Tuhan Allah bagimu.” Manusia tipe pertama ini tidak jauh dari Kerajaan Allah. Ia akan mendapat balasan dari Tuhan. Manusia kedua selalu memberi tetapi penuh perhitungan dan suka menceritakan apa saja dan sekian kepada orang yang sudah diberikannya. Ada rasa penyesalan karena meyumbang kepada orang lain. Ada juga yang memberi demi popularitas, biar dikenang sebagai donator di lembaga atau tempat itu. Manusia pertama dan kedua dapat menjadi “Gue bangetz atau kita bangetz”. Berapa kali kita memberi dengan sukacita dan berapa kali kita memberi dengan terpaksa dan menghitung-hitung apa yang sudah kita berikan.

Mungkin kita selalu lupa. Tuhan itu memberi semuanya tanpa menghitung-hitung apa yang sudah diberikan kepada kita. Yesus, Anak-Nya yang tunggal saja Ia berikan dengan gratis sebagai Penebus dosa kita semua. Tuhan memberi hidup dan menjaganya sampai saat ajal tiba. Orang tua kita masing-masing juga memberi dengan sukacita. Mereka bekerja, membanting tulang untuk kehidupan dan masa depan yang lebih baik dalam keluarga, terutama anak-anak. Pikirkanlah para petani yang bekerja di bawah hujan dan terik panas sampai tuntas. Ingatlah para ibu di pasar yang menjual sembako sepanjang hari. Semua ini dilakukan dengan kasih.

Saya bersyukur dan bergembira karena mengenal dan mengalami kasihmu. Saya tidak pernah mendengar engkau bercerita tentang berapa yang sudah engkau sumbangkan kepadaku dan kami. Hanya ada kata yang selalu keluar dari mulutmu: “Pater, semua ini milik Tuhan. Mohon doanya Pater John”. Kalimat yang membuka kesadaran saya untuk mengerti apa artinya memberi dengan sukacita. Sama seperti sebuah gelas yang berisi air, akan berguna kalau air di dalam gelas berkurang karena diminum. Demikian pula ketika kita berbagi dengan sukacita maka semua itu akan kembali kepada kita bahkan lebih dari yang sudah kita berikan. Mengapa? Sebab Bapa melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.

Saya mengakhiri refleksi ini dengan sebuah kutipan dari Maya Angelou, seorang penulis negro asal Amerika: “Seseorang tidak selalu lahir dengan keberanian, tapi seseorang lahir dengan potensinya masing-masing. Tanpa keberanian, kita tidak bisa berbuat baik dengan konsisten. Kita tidak bisa menjadi baik, benar, murah hati, dermawan, atau jujur.” Mari kita memberi dengan sukacita! Terima kasih kepadamu. Anda murah hati dan suka memberi dengan sukacita kepadaku.

PJ-SDB

Food For Thought: Musuh…

19/06/2018 by P. John Laba SDB 1 Comment

Anda masih memiliki musuh!

Pada sore hari ini saya mampir di sebuah bar untuk menikmati segelas kopi. Saya duduk sambil membaca buku karya Melissa A. Schilling berjudul “Quirky” pada bagian “Creative Mind”. Tiba-tiba pikiran saya berubah haluan karena sepasang muda-mudi di meja sebelah sedang berdiskusi tentang rekonsilasi. Saya mendengar sang pemudi bertanya: “Apakah anda mengenal si A?” Sang pemuda menjawab, “Ya saya kenal dengan baik. Ada apa dengan si A?” Sang pemudi menjawab: “Dia adalah musuh bebuyutanku!” Sang pemuda hanya menggeleng kepala sebentar dan berkata dengan tegas: “Anda memang masih memiliki musuh! Anda seorang perempuan, apa untungnya anda memiliki musuh?” Suasana menjadi sepi sejenak. Mereka berdua hanya saling memandang dan tersenyum. Mungkin mereka sadar diri karena masing-masing masih memiliki musuh. Tetapi rekonsiliasi tetaplah menjadi sebuah prioritas penting dalam berbangsa dan bernegara.

Sebuah pertanyaan yang dapat membuat kita berefleksi adalah: “Apa untungnya anda memiliki musuh?” Mungkin ada salah satu jawaban yakni supaya kita tetap exist di hadapan sesama lain. Mungkin tanpa musuh orang berpikir bahwa dia kehilangan jati dirinya. Ini adalah kesalahan fatal, ketika kita berpikir bahwa kita memiliki musuh supaya kita exist. Kita memiliki musuh supaya diri kita diakui dan diagungkan serta diperhitungkan. Padahal, memiliki musuh hanyalah upaya untuk menunjukkan kelemahan dan kesombongan pribadi. Selebihnya hanyalah bla..bla saja.

Saya teringat pada Sun Tzu, seorang Jenderal dan penulis berkebangsaan Tiongkok (544 SM-496 SM). Ia pernah berkata begini: “Bertempur dan menaklukkan musuh dalam peperangan bukanlah kehebatan paling tinggi; kehebatan tertinggi terjadi ketika Anda mampu menghentikan musuh tanpa perlawanan.” Dalam suatu pertempuran para musuh dapatlah ditaklukan tetapi hal ini tidak menunjukkan sebuah kehebatan. Jadi bukan dengan pertumpahan darah, menghitung berapa banyaknya korban dan kita bangga sebagai pemenangnya. Kita adalah pemenang sejati ketika menghentikan musuh dengan tanpa perlawanan, tanpa suatu kekerasan apapun. Kita hanya mampu menghentikan musuh dengan kebaikan dan kasih.

Saya lalu mengingat pesan Yesus dalam Injil: “Kasihilah musuh-musuhmu, dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kalian” (Mat 5: 44). Bagi saya, Tuhan Yesus memang luar biasa, sebab perkataan-Nya seakan membangunkan orang banyak dari tidur imannya. Pikirkanlah: musuh-musuh patut dikasihi. Mengasihi musuh berarti menambah daya ilahi di dalam diri kita untuk menjadi pengikut Kristus yang terbaik bukan hanya yang baik. Di samping itu kita juga berdoa bagi orang-orang yang masih bermusuhan supaya dapat membangun damai sejahtera.

Anda masih memiliki musuh! Apa untungnya anda memiliki musuh? Wah, kedua kalimat ini tetap masuk ke telinga kita dan membuat kita berefleksi lagi tentang musuh. Apa yang harus kita lakukan? Mari kita duduk dengan tenang, pikirkanlah siapakah musuhmu. Ingatlah nama-namanya, bayangkan wajahnya dan saat ia berubah dari kawan menjadi musuhmu. Tulislah nama-nama para musuhmu itu. Setelah mendapatkan sebuah daftar nama para musuhmu maka bagilah waktumu untuk mendoakan mereka satu persatu. Lihatlah, anda akan mengalami perubahan yang radikal. Kata musuh akan terhapus dan yang ada hanya sahabat dan saudara saja. Apakah sahabat dan saudara berarti tidak ada musuh lagi? Masih ada musuh! Tetapi ada kesadaran baru untuk kembali menjadi sahabat dan saudara. Memang, memiliki musuh itu tidak ada manfaatnya apa-apa.

Saya mengakhiri Food For Thought ini dengan mengutip Morihei Ueshiba. Beliau adalah pendiri Aikido di Jepang. Ia pernah berkata: “Apakah hati anda cukup besar untuk menyelimuti musuh anda, anda dapat melihat tepat melalui mereka dan menghindari serangan mereka. Dan sekali anda menyelimuti mereka, anda akan mampu membimbing mereka ke jalan yang ditunjukkan kepada anda oleh langit dan bumi.” Musuh adalah sahabat dan saudara yang lambat datang dalam kehidupan kita.

Dua kalimat yang ada di depan mata kita: “Anda masih memiliki musuh” dan “Apa untungnya anda memiliki musuh?” Mari berubah!

PJ-SDB

Food For Thought: Komitmen

16/06/2018 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Komitmen Pribadi itu penting!

Kita sering mengungkapkan kata komitmen. Komitmen berarti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Jadi kalau saya mengaku sudah mengikat perjanjian atau kontrak tertentu dengan pribadi atau organisasi tertentu maka saya harus berusaha untuk tetap komitmen pada kontrak yang ada. Kalau saya terikat pada sumpah, janji setia tertentu maka saya harus setia sampai tuntas. Misalnya, seorang pribadi yang menghadap permasalahan dalam hidup perkwainannya: sulit untuk mengakui kesalahan pribadi, sulit untuk meminta maaf setelah marah, sulit untuk meminta tolong kepada pasangannya tentu merasakan sebuah kesulitan yang luar biasa terutama dalam berelasi satu sama lain.

Seorang imam, biarawan dan biarawati memiliki janji imamat dan nasihat-nasihat Injil sebagai komitmen pribadinya di hadapan Tuhan dan sesama. Ia harus menghayati janji imamatnya sampai tuntas. Ia harus belajar terus menerus, bagaimana menjadi seorang pribadi yang taat, miskin dan murni. Ia menjadi pribadi yang taat karena ia berani hidup sebagai orang yang murni dan miskin. Ia menjadi pribadi yang miskin karena ia taat dan murni. Ia menjadi pribadi yang murni sebab ia taat dan miskin. Semua nasihat injil ini memiliki daya transformatif yang luar biasa. Untuk mewujudkan semuanya ini butuh komitmen pribadi, diperkuat dan diperbaharui setiap hari.

Komitmen pribadi itu penting dan harus. Hidup berkeluarga akan berlangsung sampai tuntas kalau pasangan suami dan istri memiliki komitmen pribadi untuk setia dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Komitmen pribadi itu bagai cincin yang tidak berujung dan pangkal. Kesetiaan, kasih dan pengampunan sampai tuntas. Komitmen pribadi bagi seorang imam, biarawan dan biarawati adalah setia melakukan tugas sekecil apa pun di dalam komunitasnya dengan cinta kasih yang besar. Suatu komitmen pribadi yang mendorongnya untuk membawa semua kepada Tuhan Yesus Kristus. Ini butuh keseriusan semua kaum berjubah.

Saya teringat pada Nathaniel Branden. Dia adalah seorang psikolog berkebangsaan Kanada. Ia pernah berkata: “Bagaimana kita dapat menjaga api batin kita hidup? Dua hal, minimal, diperlukan: pertama, kemampuan untuk menghargai secara positif dalam hidup kita. Kedua, komitmen untuk bertindak. Setiap hari, penting untuk bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: “Apa yang baik dalam hidup saya?” Dan “Apa yang perlu dilakukan?”

Hal-hal yang diungkapkan di sini memang sederhana namun memiliki nilai edukasi yang tinggi, terutama bagaimana tetap berkomitmen pada profesi dan panggilan kita masing-masing. Apakah kita memiliki komitmen untuk saling menghormati satu sama lain? Apakah kita memiliki komitmen untuk berani meminta maaf, meminta tolong dan berterima kasih? Apakah saya dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik di dalam hidup saya? Semua ini masuk dalam komitmen pribadi kita masing-masing.

Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip perkataan seorang penulis Amerika bernama Charles Swindoll: “Tidak ada rumah tangga yang tanpa konflik sama sekali. Bahkan meskipun kau memiliki komitmen terhadap pasanganmu, akan masih ada saat-saat ketika di antara kalian ada ketegangan, air mata, pertengkaran, ketidakcocokan, dan ketidaksabaran. Komitmen tidak menghapuskan kodrat manusiawi kita. Itu kabar buruk, tetapi realistik.”

PJ-SDB

Homili 16 Juni 2018

16/06/2018 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-X
1Raj. 19:19-21
Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10
Mat. 5:33-37

Aku setia kepada Tuhan

Saya memiliki kebiasaan memeriksa buku catatan para siswa-siswi dan memberi nilai tertentu yang berhubungan dengan ketertarikan dan keaktifan siswa terhadap mata pelajaran yang saya ajarkan. Saya menemukan banyak hal di dalam buku catatan para siswa. Saya dapat mengenal karakter setiap siswa melalui tulisan tangan mereka. Saya juga menemukan ungkapan-ungkapan tertentu yang menunjukkan jati diri, harapan dan cita-cita mereka. Misalnya ada seorang siswa yang kemudian melanjutkan pembinaannya hingga menjadi seorang pastor. Ia pernah menulis di dalam bagian awal buku catatannya: “Aku berusaha untuk setia kepada Tuhan”. Pada waktu itu saya sendiri belum yakin apakah dia memang memiliki cita-cita dan harapan untuk menjadi seorang pastor. Namun rencana Tuhan selalu indah pada waktunya. Siswa tersebut menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan Yesus sebagai abdi atau hamba Tuhan di dalam Gereja.

Pada hari ini Tuhan mengajak kita untuk membangun kesetiaan kepada-Nya. Di dalam bacaan pertama kita mendengar kisah Elisa yang bersiap-siap untuk mengikuti nabi Elia. Dikisahkan bahwa nabi Elia menemui Elisa, putera Safat yang sedang membajak kebunnya dengan dua belas pasang lembu. Elisa bekerja bersama para pekerja, dengan mengendalikan ternaknya yang sedang membajak kebunnya ini. Ketika itu Elia melihat Elisa sedang bekerja dan tanpa basa-basi melemparkan mantelnya kepada Elisa. Elisa menyadari bahwa ini adalah sebuah panggilan dan ia sendiri yang merasa terpanggil berusaha untuk menjawabi panggilan ini dengan setia. Elisa menunjukkan sikapnya ini dengan meninggalkan lembu-lembunya sambil mengejar Elia untuk memohon supaya ia meminta ijin kepada ayah dan ibunya terlebih dahulu. Elia melihat kesetiaan Elisa maka ia pun mengijinkannya, sambil mengingatkannya untuk melakukan apa yang sudah diperbuatnya kepada Elisa.

Elisa melakukan komitmen kesetiaannya kepada nabi Elia dengan kembali ke rumahnya untuk meminta ijin kepada orangtuanya. Ia sempat menyembeli pasangan lembu, menyiapkan hidangan lezat bagi para pekerjanya. Setelah melakukan perbuatan kasihnya ini, ia meninggalkan segalanya dan mengikuti Elia sebagai seorang pelayannya. Elisa sadar diri bahwa ia akan menjadi pelayan seorang utusan Tuhan maka ia meninggalkan segala-galanya supaya lebih bebas dalam mengabdi. Ia meninggalkan segalanya supaya lebih setia lagi dalam mengabdi.

Kisah Elisa ini mengingatkan kita pada kisah panggilan di danau dan di gunung dalam Injil Markus. Ketika itu Tuhan Yesus berjalan-jalan di pantai danau Galilea. Ia melihat para nelayan yakni Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes sedang bekerja sebagai nelayan. Ia memanggil mereka untuk mengikut-Nya dari dekat. Mereka meninggalkan segala pekerjaan sebagai nelayan, orang tua, keluarga dan rumah untuk segera mengikuti Yesus. Mereka menjadi penjala manusia. Tuhan Yesus memanggil Lewi sang pemungut cukai dan ia segera meninggalkan meja, dan harta yang diperoleh dari pekerjaannya. Banyak orang dari gunung-gunung di sekitar Galilea meninggalkan kampung halamannya untuk mengikuti Yesus dari dekat, mendengar sabda dan merasakan keselamatan. Sama seperti Elia memanggil Elisa dan ia segera meninggalkan pekerjaan, pekerja dan keluarganya untuk mengikuti Elia sebagai pelayan, demikian juga para murid perdana ini. Mereka mendapat panggilan Tuhan Yesus dan siap untuk mengikuti-Nya dari dekat. Di sini, kita melihat bahwa orang yang merasakan panggilan dari Tuhan akan menunjukkan kebebasan, siap meninggalkan segalanya supaya lebih setia dalam mengikuti-Nya.

Untuk menjadi pribadi yang setia maka butuh komitmen pribadi yang jelas. Komitmen pribadi untuk setia melakukan pekerjaan dan tuntutan profesi yang berlaku. Seorang ibu atau bapa di dalam keluarga memiliki komitmen untuk setia dalam hidup perkawinan dan pendidikan anak-anak. Seoran guru atau dosen dituntut untuk menjadi profesional dalam pekerjaannya. Seorang imam, biarawan dan biarawati dituntut untuk memiliki komitmen dalam panggilannya. Panggilan hidup itu bukanlah sebuah profesi. Imam itu bukan sebuah profesi tetapi sebuah panggilan dari Tuhan. Ia harus menjalani panggilan Tuhan ini sepanjang hidupnya. Profesi bisa di terima atau ditolak kalau tidak sesuai dengan selera. Imam, melalui sakramen imamat, berusaha mewujudkan komitmen dan kesetiaanya dalam panggilan hidupnya. Ia menunjukkan komitmennya sebagai orang yang taat, miskin dan murni. Ini adalah janji setia yang diungkapkan di hadapan Tuhan. Komitmen dan kesetiaan membuat panggilan menjadi semakin kuat dari saat ke saat.

Komitmen hidup dalam sebuah profesi ditunjukkan dengan mengungkan sumpah jabatan atau sumpah profesi. Pada dasarnya sumpah jabatan dan sumpah profesi mengingatkan orang yang bersumpah untuk setia dalam hal-hal kecil sampai ke hal-hal besar dalam menjalani profesinya. Kalau ia menyimpang dari profesinya maka hukuman akan menjadi ganjaran baginya. Sebab itu ia perlu disiplin diri. Para imam, biarawan dan biarawati mengungkapkan janji imamat dan kaul-kaul kebiaraan untuk menjadi pribadi terpanggil yang taat, miskin dan murni. Setiap pribadi yang taat pasti miskin dan murni. Setiap pribadi yang murni pasti taat dan miskin. Setiap pribadi yang miskin pasti dia taat dan murni. Pribadi yang terpanggil untuk hidup taat, miskin dan murni harus berusaha untuk setia hari demi hari. Tentu saja sumpah jabatan, profesi dan kaul kebiaraan haruslah menggambarkan komitmen pribadi untuk melakukannya dengan setia. Kalau tidak ada komitmen maka akan menjadi sumpah atau janji palsu.

Tuhan Yesus mengingatkan banyak orang di atas bukit sabda bahagia bahwa nenek moyang mereka sudah mendengar tentang larang untuk bersumpah palsu, tetapi mereka harus memegang sumpah mereka di hadapan Tuhan. Tuhan Yesus mengajarkan hal baru dengan menuntut komitmen kesetiaan pada sumpah atau janji bukan hanya sekedar mengucapkan kata-kata yang muluk-muluk di hadapan Tuhan dan sesama. Komitmen kesetiaan itu ditunjukkan dengan mengatakan ‘Ya’ kalau memang ‘Ya’ atau ‘Tidak’ kalau memang ‘Tidak’ sebab bagi Yesus, apa yang lebih dari ‘Ya’ dan ‘Tidak’ itu berasal dari iblis. Makanya tak perlulah bersumpah demi langit, bumi dan Yerusalem. Cukuplah setia dalam menjalani komitmen dengan ‘Ya’ atau ‘Tidak’.

Banyak kali kita tidak setia dalam menjalani sumpah jabatan, profesi dan menjalani janji imamat serta kaul-kaul kebiaraan. Kadang kita harus mengatakan Ya tetapi masih ragu-ragu, sebab kita takut kehilangan relasi. Demikian juga sulit untuk mengatakan tidak supaya kita dianggap orang baik dan murah hati. Pada hari ini Tuhan menghendaki supaya kita juga berani berkata ‘Ya’ dan ‘Tidak’. Orang yang setia kepada Tuhan akan menunjukkan komitmennya untuk mengatakan ‘Ya’ atau ‘Tidak’, sebab selebihnya itu berasal dari iblis.

PJ-SDB

Food For Thought: Kita bangetz

10/06/2018 by P. John Laba SDB Leave a Comment

Inikah gambaran diri kita di hadapan Tuhan?

Saya tertarik dengan kisah nenek moyang manusia di dalam Kitab Kejadian. Manusia pertama  (Adam) dan perempuan (Hawa) yang diciptakan dari tulang rusuknya, mendapat anugerah kebebasan yang luar biasa dari Tuhan. Namun keduanya menyalahgunakan kebebasan yang Tuhan Allah berikan kepada mereka, dengan tidak taat kepada-Nya. Mereka justru taat pada ular (setan) dan godaannya yakni dengan memakan buah dari pohon terlarang. Konsekuensinya mereka bukan sama seperti Tuhan Allah, melainkan menjadi manusia yang hina di hadapan sang penciptanya. Manusia yang berdosa di hadapan sumber segala kebaikan.

Apa yang terjadi setelah manusia pertama jatuh dalam dosa? 

Ketika itu Tuhan melakukan pendekatan pertama dengan berjalan-jalan di taman Eden, mencari, memanggil dan menemukan manusia yang sudah jatuh dalam kehinaan karena dosa. Tuhan Allah berseru: “Adam, di manakah engkau?” Manusia pertama yang hina menjawab: “Ketika aku mendengar bahwa Engkau berada di dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang, sebab itu aku bersembunyi.” Lihatlah bahwa di hadapan Tunan Allah, manusia baru sadar dan mengerti tentang dosa, merasa malu dan bersembunyi. Semua terjadi saat Tuhan berinisiatif untuk mencari dan menyelamatkan. Wah aku, engkau, kita banget!

Tuhan Allah tidak tinggal diam. Ia bertanya lagi: “Apakah engkau makan dari buah pohon yang Kularang engkau makan itu?” Manusia pertama beraksi lagi. Mereka tidak memberi jawaban “Ya” atau “Tidak”. Manusia pertama ternyata sudah mulai belajar bersilat lida. Inilah jawabannya: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah itu kepadaku, maka kumakan.” Tuhan Allah memandang perempuan dan menanyakan kebenaran pengakuan sang manusia pertama ini. Perempuan itu juga tidak mau kalah sama manusia pertama. Ia berkata: “Ular itu yang memperdaya aku, maka kumakan buah itu.” Lihatlah manusia pertama sudah mengalihkan beban dosa kepada pasangannya. Mereka tidak mau menerima kesalahan pribadi. Hmm aku, engkau, kita banget! 

Selanjutnya, Tuhan Allah memang luar biasa. Ia memberi kutukan kepada ular sebagai yang terkutuk di antara segala ternak dan di antara segala binatang di hutan. Dia hanya memakan debu tanah dan menjalar, juga bermusuhan dengan sang perempuan dan keturunannya. Tuhan berpaling kepada manusia tanpa memberikan kutukan apapun. Ia hanya mengatakan bahwa Adam harus bekerja keras dan makan dari hasil keringatnya sendiri. Hawa sendiri akan mengalami penderitaan dalam hidupnya. Semua ini terjadi sampai saat ini!

Mari kita masuk lebih dalam lagi pada kisah nenek moyang ini. Saya berani mengatakan sebelumnya bahwa hmmm aku, engkau dan kita banget karena ternyata saya menemukan  bahwa kisah ini tidak jauh berbeda dengan kisah hidup kita zaman now. Ada orang tertentu yang berlutut di depan sakramen Mahakudus sambil menghujat Yesus: “Hai Yesus, kalau Engkau benar-benar ada di dalam Sakramen Mahakudus, silakan keluar dan tunjukanlah wajah-Mu kepadaku!” Ada yang berdoa sambil memukul-mukul kaki patung Hati Kudus Yesus, memaksa-Nya untuk membayar utangnya kepada orang lain. Masih banyak lagi tindakan orang katolik yang aneh di hadapan Tuhan. Apakah iman kita kepada Tuhan hanya sebatas ini saja? Sungguh dangkal, picik dan tidak Kristiani. Tuhan Yesus tidak pernah mengajar kita seperti ini dalam Injil.

Kebiasaan yang menjadi kultur semua orang adalah memindahkan beban dosa kepada orang lain. Adam tidak merasa bersalah karena memakan buah maka ia mengatakan bahwa Hawa yang bersalah. Hawa tidak merasa bersalah maka ia mengatakan bahwa ular yang bersalah. Tuhan memang mahabaik bagi manusia maka kutukan diberikan Tuhan kepada ular yang menggoda manusia. Tapi lihatlah bahwa sikap tidak jujur manusia pertama ini masih ada sampai sekarang ini. Misalnya, anak-anak sekolah yang ribut di dalam kelasnya akan mengorbankan orang lain dengan mengatakan “dia” yang ribut bukan aku. Orang suka melempar batu dan sembunyi tangannya. Ketika mengaku dosa saja orang masih mengakui dosa orang lain bukan dosanya sendiri. Misalnya: “Romo, saya marah anak saya karena anak saya nakal”. Marah itu dosa, dan tak perlu menjelaskannya. Kalau menjelaskannya berarti membenarkan diri sebagai orang yang tidak berdosa. Maka Adam dan Hawa adalah kita banget… Apakah ini benar-benar merupakan gambaran diri kita di hadirat Tuhan?

Mari kita berubah dengan melakukan kehendak Allah bukan kehendak kita sendiri. Hanya dengan demikian kita benar-benar menjadi Adam dan Hawa yang baru di dalam Kristus.

PJ-SDB

« Previous Page
Next Page »

Tentang Saya

Saya seorang hamba Tuhan yang melayaniNya siang dan malam, anggota Serikat Salesian Don Bosco yang bergabung sejak tahun 1989. Kini saya dipanggil Pater John dan melayani di Jakarta

Artikel Terbaru

  • Food For Thought: Cinta kasih yang besar 14/02/2019
  • Homili 14 Februari 2019 14/02/2019
  • Food For Thought: Emang Kamu Kenal Dia 11/02/2019
  • Homili 11 Februari 2018 – Hari Orang Sakit Sedunia 11/02/2019
  • Homili Hari Minggu Biasa ke-V/C – 2019 10/02/2019

Situs Lainnya

  • Salesian Don Bosco
  • Vatican
  • Renungan Audio – Daily Fresh Juice
  • Renungan Pria Katolik

Arsip

  • February 2019 (11)
  • January 2019 (34)
  • December 2018 (32)
  • November 2018 (40)
  • October 2018 (26)
  • September 2018 (22)
  • August 2018 (41)
  • July 2018 (28)
  • June 2018 (17)
  • May 2018 (13)
  • April 2018 (17)
  • March 2018 (14)
  • February 2018 (8)
  • January 2018 (17)
  • December 2017 (23)
  • November 2017 (31)
  • October 2017 (29)
  • September 2017 (38)
  • August 2017 (28)
  • July 2017 (18)
  • June 2017 (24)
  • May 2017 (33)
  • April 2017 (18)
  • March 2017 (40)
  • February 2017 (23)
  • January 2017 (22)
  • December 2016 (23)
  • November 2016 (31)
  • October 2016 (24)
  • September 2016 (36)
  • August 2016 (36)
  • July 2016 (32)
  • June 2016 (27)
  • May 2016 (42)
  • April 2016 (25)
  • March 2016 (41)
  • February 2016 (45)
  • January 2016 (31)
  • December 2015 (26)
  • November 2015 (24)
  • October 2015 (60)
  • September 2015 (44)
  • August 2015 (49)
  • July 2015 (56)
  • June 2015 (56)
  • May 2015 (57)
  • April 2015 (46)
  • March 2015 (52)
  • February 2015 (51)
  • January 2015 (58)
  • December 2014 (46)
  • November 2014 (43)
  • October 2014 (49)
  • September 2014 (46)
  • August 2014 (42)
  • July 2014 (39)
  • June 2014 (39)
  • May 2014 (38)
  • April 2014 (44)
  • March 2014 (41)
  • February 2014 (46)
  • January 2014 (55)
  • December 2013 (43)
  • November 2013 (42)
  • October 2013 (46)
  • September 2013 (31)
  • August 2013 (33)
  • July 2013 (32)
  • June 2013 (36)
  • May 2013 (33)
  • April 2013 (34)
  • March 2013 (40)
  • February 2013 (33)
  • January 2013 (33)
  • December 2012 (36)
  • November 2012 (33)
  • October 2012 (50)
  • September 2012 (40)
  • August 2012 (41)
  • July 2012 (35)
  • June 2012 (30)
  • May 2012 (33)
  • April 2012 (36)
  • March 2012 (47)
  • February 2012 (42)
  • January 2012 (38)
  • December 2011 (35)
  • November 2011 (31)
  • October 2011 (2)

Bulan

  • February 2019
  • January 2019
  • December 2018
  • November 2018
  • October 2018
  • September 2018
  • August 2018
  • July 2018
  • June 2018
  • May 2018
  • April 2018
  • March 2018
  • February 2018
  • January 2018
  • December 2017
  • November 2017
  • October 2017
  • September 2017
  • August 2017
  • July 2017
  • June 2017
  • May 2017
  • April 2017
  • March 2017
  • February 2017
  • January 2017
  • December 2016
  • November 2016
  • October 2016
  • September 2016
  • August 2016
  • July 2016
  • June 2016
  • May 2016
  • April 2016
  • March 2016
  • February 2016
  • January 2016
  • December 2015
  • November 2015
  • October 2015
  • September 2015
  • August 2015
  • July 2015
  • June 2015
  • May 2015
  • April 2015
  • March 2015
  • February 2015
  • January 2015
  • December 2014
  • November 2014
  • October 2014
  • September 2014
  • August 2014
  • July 2014
  • June 2014
  • May 2014
  • April 2014
  • March 2014
  • February 2014
  • January 2014
  • December 2013
  • November 2013
  • October 2013
  • September 2013
  • August 2013
  • July 2013
  • June 2013
  • May 2013
  • April 2013
  • March 2013
  • February 2013
  • January 2013
  • December 2012
  • November 2012
  • October 2012
  • September 2012
  • August 2012
  • July 2012
  • June 2012
  • May 2012
  • April 2012
  • March 2012
  • February 2012
  • January 2012
  • December 2011
  • November 2011
  • October 2011

Copyright © 2019 · Beautiful Pro Theme on Genesis Framework · WordPress · Log in