Bahagia itu sederhana…
Sebelum mengakhiri hari ini saya mendapat pesan dari seorang sahabat saya. Ini bunyi pesannya: “Bahagia itu sederhana ketika saya mengingatmu dan mengirim pesan ini kepadamu. Ingatlah bahasa roh dan permainan guitarku.” Saya tersenyum karena dia suka bercerita tentang bahasa roh di persekutuan doa dan juga permainan guitar klasik yang selalu dinikmatinya. Saya sendiri merasakan hal yang sama dan sepakat mengatakan kepadanya dalam balasan pesannya: ‘Bahagia itu sederhana ketika dengan senang hati saya membalas pesan singkatmu ini.”
Ada dua pertanyaan yang menuntun kita: Apakah hari ini anda bahagia? Apakah hari ini saya bahagia? Mari kita merenung lebih lanjut kedua pertanyaan ini:
Apakah hari ini anda bahagia? Pada pagi hari ini salah seorang saudari membagi pengalaman sekaligus meminta doa dan berkat. Inilah pengalamannya: “Setelah setahun meninggalnya sang suami, rasanya beban dan persoalan hidup selalu berdatangan silih berganti, ibarat gelombang laut di pantai. Ia selalu bertanya kepada Tuhan mengapa semua pengalaman berat itu kini menjadi bagian hidupnya. Mengapa Tuhan tidak memberi yang ringan-ringan bahkan meniadakannya?” Saya berusaha untuk mengetahui dan memahami berbagai persoalan yang sedang dihadapinya. Pengalaman dan kesulitannya mirip dengan pengalaman dan kesulitan yang kita hadapi setiap hari secara pribadi. Sebagai saudara, saya memberikan sebuah ayat Kitab Suci untuk menjadi pegangannya: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1Ptr 5:7). Hanya bersama Tuhan maka badai akan berlalu. Bahagia itu sederhana ketika saya mencoba memberikan penghiburan bagi keluarga saya. Saya berdoa dan memohon berkat Tuhan baginya.
Apakah hari ini saya bahagia? Saya dengan bangga merasa bahagia di tengah banyak kesulitan yang sedang saya hadapi. Saya merasa bahagia karena pada hari ini 29 Januari 2019, saya merayakan ulang tahun kaul kekal saya yang ke-20. Saya menyiapakan kaul kekal di Roma pada bulan Agustus 1998 dan mengikrarkan kaul kekal di Bukit Sabda Bahagia, Israel pada tanggal 29 Januari 1999. Tidak terasa dua puluh tahun saya mengabdikan diriku selama-lamanya di dalam kongregasi Salesian Don Bosco (SDB) sebagai orang yang taat, miskin dan murni. Saya berbahagia karena dalam kelemahan manusiawi saya dikuatkan oleh Tuhan untuk setia menjalani panggilan hidup saya di dalam Tarekat Salesian Don Bosco. Maka bahagia itu sederhana ketika saya merasa bersyukur atas panggilan sebagai seorang Salesian. Bahagia itu sederhana ketika saya memandang kembali salib kaul kekal saya dengan tulisan: “Studia di farti amare.”
Saya seorang gembala di dalam Gereja Katolik. Saya mengagumi kebijaksanaan. Saya mengingat dan sepakat dengan perkataan Budha ini: “Ribuan lilin dapat dinyalakan dari satu lilin dan nyalanya tidak akan berkurang. Begitu pun kebahagiaan tidak akan pernah berkurang walau dibagi-bagi.” Kebahagiaan itu memang laksana lilin. Dari satu lilin yang menyala, dapat menyalakan semua lilin yang ada. Artinya bahwa kebahagiaan yang saya alami saat ini mesti saya bagi demi kebahagiaan sesama saya yang lain. Kebahagiaan tidak harus menjadi milik saya saja. Kebahagiaan adalah milik semua orang. Bahagia itu sederhana ketika kita menjadi lilin kebahagiaan bagi sesama.
Adalah Nathaniel Hawthorne (1804-1864). Beliau adalah seorang penulis asal Amerika Serikat. Ia pernah berkata: “Kebahagiaan itu seperti kupu-kupu yang ketika dikejar selalu berada di luar jangkauan kita. Akan tetapi, jika anda diam dengan tenang, maka ia akan mendekati anda.” Bahagia itu sederhana ketika kita dengan tenang merasakan kebahagiaan dan memberi kebahagiaan kepada sesama. Anda harus lebih dahulu merasa bahagia supaya dapat membahagiakan orang lain. Kalau anda tidak merasa bahagia, tidak mengalami kebahagiaan maka sesungguhnya ada yang tidak beres dalam hidupmu. Anda dengan sendirinya tidak dapat membahagiakan sesama yang membutuhkannya. Maka bahagia itu sederhana ketika kita berani berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Jadilah pribadi yang bahagia!
P. John Laba, SDB