Homili 4 Juli 2020

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XIII
Am. 9:11-15
Mzm. 85:9,11-12,13-14
Mat. 9:14-17

Selalu ada sukacita bersama Kristus

Covid-19 merupakan wabah yang sangat membuka kesadaran manusiawi kita untuk mencintai hidup dengan cara menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Perilaku kita semua berubah misalnya dengan mengaktifkan kembali kebiasaan-kebiasaan untuk menjaga kebersihan fisik kita, mencuci tangan dengan sabun dan airnya dibiarkan mengalir, menggunakan hand sanitizer dan masker, menjaga jarak di tempat-tempat umum dan lain sebagainya. Semua ini menjadi habitus bahkan sampai ke masa new normal. Semoga habitus ini berlangsung terus menerus dalam hidup kita. Andaikan semuanya ini menjadi habitus maka hidup kita akan lebih sehat dan bahagia, dunia kita akan lebih kuat dan bahagia. Hal terpenting adalah selalu ada sukacita dan memiliki rasa optimis di dalam hidup keseharian kita.

Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus di dalam Injil Matius. Dikisahkan bahwa pada suatu ketika para murid Yohanes Pembaptis mengunjungi komunitas Yesus. Mereka bertanya kepada Yesus tentang hal berpuasa. Inilah pertanyaan mereka: “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” (Mat 9:14). Orang-orang Yahudi memiliki aturan tersendiri dalam hal berpuasa. Mereka berusaha untuk mengontrol dirinya terhadap makanan dan minuman. Bahkan menggosok gigi juga diharamkan pada hari puasa besar yang mereka sebut Yom Kippur dan Tisha B’Av. Hanya pada saat puasa hari biasa saja mereka boleh menggosok giginya. Maka puasa bagi orang-orang Yahudi memang sangatlah penting dan harus dilakukan dengan setia. Para murid Yohanes Pembaptis merasa terganggu ketika mengetahui bahwa para murid Yesus, yang sebelumnya adalah teman lama mereka tidak berpuasa. Artinya, tadinya murid-murid Yesus adalah murid-murid Yohanes yang rajin berpuasa kini mereka tidak berpuasa. Ini yang melatarbelakangi pertanyaan para murid Yohanes.

Tuhan Yesus tidak memberi alasan yang langsung menjawab pertanyaan para murid Yohanes. Ia menjawab mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Mat 9:15). Yesus menamakan diri-Nya sebagai mempelai dan para murid-Nya adalah sahabat-sahabat mempelai. Berada bersama Yesus, tinggal bersama-Nya adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Para murid-Nya saat itu menunjukkan rasa suka cita yang besar karena hukum baru yang diberikan Yesus yakni hukum kasih. Kasih adalah segalanya. Maka Ia mengasihi para murid-Nya dan mereka sebagai sahabat mempelai merasa bersuka cita. Para murid Yesus akan bersedih ketika Ia memasuki paskah abadi-Nya.

Kita adalah orang-orang yang sudah dibaptis di dalam Gereja Katolik. Kita bangga ketika mengatakan diri kita sebagai orang Kristen artinya pengikut Kristus yang menjadi Kristus kecil di dunia ini. Kita menjadi sahabat-sahabat Yesus sang mempelai sejati. Sepanjang sejarahnya, Gereja sebagai mempelai Kristus tidak hanya mengalami sukacita tetapi ada banyak duka citanya hingga saat ini. Banyak penganiayaan, dianggap kafir dan menjadi warga negara kelas dua, banyak yang menjadi martir. Mereka menumpahkan darah, dibunuh dengan keji karena mereka mencintai Kristus. Mereka mencuci gaunnya dengan darah Anak domba. Namun demikian Gereja sendiri tidak penah musnah. Mengapa demikian? Karena ada sukacita yang besar bersama Yesus. Tanpa ada sukcita maka Gereja tidak memiliki kesegaran. Tanpa ada dukacita maka Gereja menjadi lumpuh. Tuhan Yesus sendiri pernah berkata: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5: 11-12).

Tinggal dan bersukacita bersama Yesus adalah sebuah kebaruan dalam hidup kita. Tuhan Yesus membaharui segala sesuatu. Nabi Yesaya pernah berkata: “Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara.” (Yes 43:19). Perkataan nabi Yesaya ini menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus sendiri. Kita membaca di dalam Kitab Wahyu: “Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Dan firman-Nya: “Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar.”(Why 21:5). Tuhan Yesus menjadikan segala sesuatu baru adanya dengan hukum kasih. Ia menyempurnakan hukum lama bukan meniadakannya. Ia membaharui dengan kasih dan kebaikan yang harus dirasakan oleh semua orang. Kebaruan itu ditunjukkan Yesus dalam perumpamaan bagian terakhir Injil hari ini. Ia berkata: “Anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya.” (Mat 9:17).

Nabi Amos dalam bacaan pertama mengajak kita untuk melihat zaman baru di mana segala sesuatu akan dibaharui. Pondok Daud yang telah roboh akan dibangun kembali, pembajak dan penuia akan susul menyusul, pengirik buah anggur dan penabur benih. Dari gunung akan mengalirkan anggur baru. Umat Israel akan dipulihkan Tuhan sendiri. Tuhan berjanji: “Maka Aku akan menanam mereka di tanah mereka, dan mereka tidak akan dicabut lagi dari tanah yang telah Kuberikan kepada mereka.” (Am 9:15). Semua nubuat Amos ini menjadi nyata dalam diri Yesus yang menjadikan segala sesuatu baru. Kebaruan dalam kasih dan sukcita Injil. Yesus Kristus adalah Injil yang kekal, Dia tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya (Ibr 13:8). Dialah sukacita kita para sahabat-Nya.

Pada hari ini kita semua diajak untuk membangun rasa sukacita sebagai sahabat-sahabat Yesus sang mempelai sejati. Dia membaharui diri kita dengan penebusan berlimpah maka kita juga perlu membaharui diri dalam semangat pertobatan yang terus menerus.

PJ-SDB