Homili 29 Desember 2020

Hari Selasa, 29 Desember 2020
Yoh. 2:3-11
Mzm. 96:1-2a,2b-3,5b-6
Luk. 2:22-35

Belajar Mengenal Allah

Ada seorang pemuda yang mengaku memiliki kesulitan dalam membangun relasi dengan kedua orang tuanya. Ia merasa makin jauh dari orang tuanya meskipun masih tinggal dalam satu rumah. Semua nasihat dari kedua orang tuanya terasa hambar, lewat begitu saja dalam hidupnya. Ia bahkan mengakui bahwa semua nasihat dan juga perintah-perintah orang tuanya masuk telinga kanan dan langsung keluar melalui telinga kanan juga. Ceritanya ini menggambarkan betapa parahnya relasi dia dengan kedua orang tuanya. Saya mendengar dan memahami semua perkataannya. Sesudah itu saya bertanya kepadanya: “Apakah anda mengenal orang tua anda?” Dia menjawab: “Saya belum mengenal orang tua saya. Bagaimana saya bisa mengenal mereka?” Saya mengatakan kepadanya: “Dengarlah nasihat mereka, apapun nasihat itu. Turutilah perintah orang tuamu meskipun perintah itu berat, tidak enak dan menyebalkan.” Dia memandangku dengan penuh keheranan. Saya mengatakan kepadanya lagi: “Setelah ini, pulanglah dan lakukanlah yang terbaik bagi orang tuamu.” Beberapa bulan kemudian saya menjumpai pemuda ini datang bersama kedua orang tuanya ke Gereja. Ketika bertemu, pemuda itu hanya berkata: “Mujarab Romo!” Saya hanya mengangguk dan tersenyum. Tuhan mengubah kita melalui hal-hal yang biasa menjadi luar biasa dalam hidup kita.

Pengalaman pemuda ini kiranya membantu kita untuk memahami Sabda Tuhan pada hari ini. Saya tertarik dengan perkataan St. Yohanes dalam bacaan pertama. Ia mengatakan bahwa tanda-tanda orang yang mengenal Allah adalah mereka dapat mengikuti perintah-perintah-Nya. Yohanes dengan tegas berkata: “Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia.” (1Yoh 2:4-5). Saya sangat setuju dengan perkataan Yohanes ini. Memang banyak orang merasa mengenal Tuhan padahal mereka tidak mengikuti perintah-perintah-Nya. Mereka layak disebut pendusta dan tak ada kebenaran dalam diri mereka. Hanya sedikit orang yang setia mengikuti perintah-perintah Tuhan dan dalam diri mereka ada kasih Allah yang sempurna. Orang seperti itu hidup di dalam Tuhan.

Yohanes juga mengingatkan kita semua untuk hidup dalam terang. Tuhan Yesus adalah terang dunia. Ia datang untuk menghalau segala kegelapan. Dalam prolog Injil Yohanes dikatakan: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” (Yoh 1:4-5). Bahkan “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang sedang datang ke dalam dunia.” (Yoh 1:9). Yesus adalah terang sejati, dan Yohanes mengatakan: “Sebab kegelapan sedang lenyap dan terang yang benar telah bercahaya.” (1 Yoh 2:8). Lalu apa konsekuensinya? Bagi Yohanes, kalau ada orang yang mengatakan bahwa ia hidup dalam terang padahal sedang membenci saudaranya maka sesungguhnya dia berada di dalam kegelapan. Barangsiapa mengasihi saudaranya maka ia berada di dalam terang dan tidak ada penyesatan di dalam dirinya. Pada akhirnya Yohanes dengan tegas mengatakan: “Barangsiapa membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan dan hidup di dalam kegelapan. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, karena kegelapan itu telah membutakan matanya.” (1Yoh 2:11).

Mari kita masuk lebih dalam lagi dalam pengalaman hidup kita. Semua orang ingin dicintai tetapi hanya sedikit yang tulus mencintai. Semua orang ingin dicintai karena ia hidup dari dan untuk cinta. Namun hanya sedikit orang yang mampu mencintai karena dia memang hidup untuk mencintai. Dia hidup dari cinta dan siap untuk mencintai tanpa batas. Kalau saja pengalaman dicintai dan mencintai ini kita miliki secara pribadi maka dunia ini tentu menjadi semakin indah. Keluarga-keluarga akan hidup dalam cinta kasih karena Tuhan sungguh hadir di dalamnya. Negara dan bangsa kita akan hidup rukun dan bersatu karena cinta kasih menguasai hidup setiap warga negaranya. Pengalaman dicintai ini dan mencintai haruslah menjadi pengalaman hakiki setiap pribadi.

Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah Yesus dipersembahkan di dalam Bait Allah. Keluarga kudus, Maria, Yusuf mempersembahkan bayi Yesus ke dalam Bait Allah. Di dalam Bait Allah ini mereka berjumpa dengan nabi Simeon, seorang yang sudah berusia, namun tetap tegar menanti kedatangan sang Mesias. Dia bersikap demikian karena mengenal Allah dan mengalami kasih Allah yang tiada berkesudahan. Kini kasih Allah menjadi nyata dan kelihatan. Pengenalan akan Allah dan kasih-Nya terungkap dalam perkataannya ini: “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.” (Luk 2:29-32).

Perkataan Simeon ini memang membuat Maria dan Yusuf merasa heran. Simeon sedang berbicara tentang kebenaran. Ia memandang Maria dan berkata: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” (Luk 2:34-35). Simeon adalah sosok orang yang mengenal Allah. Ia menanti hingga usia lanjut dengan melakukan perintah-perintah Allah. Keteladanan Simeon ini patut kita miliki dalam hidup setiap hari. Kita menanti kedatangan Tuhan dengan melakukan perintah-perintah-Nya. Mari kita memeriksa batin kita dan berani meminta maaf kepada Tuhan kalau kita begitu jauh dari Tuhan dan belum mengenal-Nya. Kita juga belajar dari Bunda Maria, St. Yusuf dan nabi Simeon yang mengenal Allah melalui pengalaman hidup mereka yang nyata.

PJ-SDB