Homili 18 Februari 2021

Hari Kamis, Setelah Rabu Abu
Ul 30:15-20
Mzm 1:1-2.3.4.6
Luk 9:22-25

Cinta sejati penuh pengurbanan

Saya mengisi hari Rabu Abu tahun ini dengan mengunjungi keluarga-keluarga yang tergabung dalam Kelompok Pelayan Belas Kasih Allah Santu Leopold di Citra Garden dan Lippo Utara. Saya berkesempatan untuk memberikan abu, sakramen peminyakan dan komuni kudus. Saya merasa bahagia karena antusiasme umat yang saya kunjungi, dalam masa pandemi ini yakni orang-orang sakit dan lanjut usia. Mereka masih memerlukan Tuhan dalam hidup mereka. Mereka menyatakan kerinduannya untuk bersatu dengan Tuhan. Ada satu hal yang lebih mengesankan saya adalah keluarga opa dan oma Prabowo. Pasutri yang sudah memasuki usia senja ini tinggal bersama dan saling melayani satu sama lain. Oma Prabowo sedang mengalami stroke. Dia mengalami kesulitan untuk berjalan. Opa Prabowolah yang siang dan malam melayaninya dengan sukacita. Saya memperhatikan bagaimana opa Prabowo menemani oma sampai ke tempat duduknya. Dari situ saya memikirkan bahwa cinta sejati itu penuh dengan pengurbanan diri hingga memasuki usia senja dan akhirnya dijemput oleh saudara maut. Saya sungguh merasa bahagia melihat oma dan opa yang saling mengasihi dalam suka dan duka, dalam untung dan malang. Sungguh sangat inspiratif bagi kita semua, baik kalian yang menikah maupun kami yang hidup membiara.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengingatkan kita tentang cinta sejati yang penuh dengan pengurbanan. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil tidak berbicara tentang kehidupan orang lain, Ia justru berbicara tentang dirinya sendiri. Ia mengatakan bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat lalu dibunuh, tetapi dibangkitkan pada hari yang ketiga. Tuhan Yesus sudah tahu bahwa Ia akan menderita bahkan penderitaan-Nya itu tragis, namun Ia tetap tegar dan kuat untuk menerima penderitaan-Nya ini. Ia dapat bersikap demikian karena cinta. Sebuah cinta yang penuh dengan pengurbanan diri. Selanjutnya Ia mengharapkan agar kita yang mengikuti-Nya dari dekat juga dapat menjadi serupa dengan-Nya. Ia berkata: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Luk 9: 23-25).

Dalam masa prapaskah ini kita semua diarahkan untuk memandang Yesus. Ia mengajarkan dan menunjukkan jalan hidup kepada kita untuk mengasihi dengan semangat rela berkurban, mengurbankan diri untuk keselamatan dan kebahagiaan orang lain. Tuhan Yesus menghendaki agar kita juga menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti-Nya dari dekat. Banyak kali kita sulit sekali untuk menyangkal diri. Kita lebih suka memfokuskan perhatian untuk diri kita sendiri dan mengabaikan sesama bahkan Tuhan sendiri. Kita seharusnya mengesampingkan hal-hal yang menyenangkan hati kita dan mengarahkan hidup kita untuk Tuhan dan sesama. Fokus kita adalah Kerajaan Allah dan Injil bukan fokus pada diri kita semata. Banyak kali kita mengatakan tentang salib tetapi kita tidak mengerti makna salib itu sendiri. Salib adalah semua pengurbanan, penderitaan yang kita alami secara pribadi supaya sesama kita mengalami kebahagiaan dan keselamatan. Tuhan Yesus memikul salib supaya kita memperoleh keselamatan. Salib-salib itu kita pikul, kita menderita kekerasan fisik dan kekerasan verbal, supaya sesama kita mengalami kebahagiaan. Kita berjanji untuk mengikuti Yesus dari dekat, menjadi serupa dengan Dia dalam segala hal. Kita membangun komitmen untuk mengikuti Yesus seumur hidup.

Dalam bacaan pertama, kita semua juga diingatkan akan kasih setia Tuhan bagi kita semua. Tuhan senantiasa menghadapkan kepada kita kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan. Pengalaman-pengalaman ini senantiasa kita alami di dalam hidup kita. Sebab itu Tuhan menghendaki agar kita memiliki kemampuan untuk mengasihi. Melalui Musa Tuhan memerintahkan bangsa Israel: “Karena pada hari ini aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh Tuhan, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk mendudukinya.” (Ul 30:16). Masa prapaskah bermakna kalau kita selalu berusaha untuk mengasihi Tuhan dengan berpegang pada perintah Tuhan dan melakukannya di dalam hidup kita.

Pertobatan yang dapat kita bangun adalah dengan menjauhkan diri kita dari perbuatan dosa melawan Tuhan dan sesama. Tuhan begitu mengasihi kita maka hendaknya kita tetap mengasihi-Nya dengan totalitas hidup kita. Kita diingatkan supaya hati kita tidak berpaling dari Tuhan. Hati kita tetap setia kepada-Nya. Kita berusaha untuk tetap setia mendengar setiap perkataan-Nya dan menyembah Dia sebagai satu-satunya Tuhan dan Allah kita. Mari kita memandang diri kita dan bertanya apakah kita mengasihi Tuhan dan sesama dengan semangat berkorban? Apakah cinta kasih kita itu dengan pamrih atau tanpa pamrih? Apakah mengawali masa prapaskah ini kita siap untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Tuhan Yesus dari dekat?

P. John Laba, SDB