Mengampuni itu indah!
Banyak di antara kita mengenal lirik lagu ini: “Mengampuni, mengampuni lebih sungguh. Mengampuni, mengampuni lebih sungguh. Tuhan lebih dulu mengampuni kepadaku. Mengampuni, mengampuni lebih sungguh.” Lirik lagu ini sangat sederhana, dan kita semua sudah mengetahui dan menyanyikannya. Tetapi apakah kita betul-betul melakukannya? Kita tidak hanya sekedar mengampuni tetapi kita mau mengampuni lebih sungguh. Kita mengampuni dengan segenap hati dan berusaha untuk melupakan segala yang sudah terjadi. Pikiran kita mungkin sejalan dengan Petrus yang masih hitung-hitungan ketika mengampuni saudaranya yang bersalah. Itu sebabnya ia tidak malu-malu bertanya kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (Mat 18:21). Dan Yesus dengan tegas mengatakan kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Mat 18:22). Perkataan Yesus ini menegaskan bahwa pengampunan itu indah.
Tuhan Yesus memang luar biasa. Ia tidak hanya berbicara tentang pengampunan tetapi Ia melakukan pengampunan itu sendiri. Ia mengajar kita dalam doa: “Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni mereka yang bersalah kepada kami.” Dia menunjukkan dalam hidup-Nya bahkan ketika berada dalam penderitaan sekalipun. Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34). Yesus tetap nomor satu dalam mengampuni. Ia mengampuni kita karena Ia sangat mengasihi kita. Maka semakin kita mengampuni, semakin kita juga mampu mengasihi, musuh sekalipun. Mengampuni itu indah! Kita patut melakukannya di dalam hidup kita.
Pengampunan itu indah bila kita lakukan dengan segenap hati kepada orang-orang yang sudah bersalah kepada kita. Sosok yang menginspirasi kita untuk mengerti bahwa pengampunan itu indah, selain Tuhan Yesus Kristus. Saya menyebut Nelson Mandela. Ketika masih muda ia sangat frontal terhadap kaum kulit putih. Dia bahkan dipenjarakan selama dua puluh tujuh tahun. Setelah keluar dari penjara dia dipilih menjadi presiden. Dalam kunjungannya di penjara, ia bertemu dengan sipir yang pernah melukainya. Ia menunjukkan bekas luka kepada sipir dan mengatakan kepadanya: “Saya mengampunimu karena Tuhan saya mengajarkan untuk mengampuni”. Betapa indah pengalaman seperti ini. Sosok kedua adalah Pemimpin nasional Timor Leste yakni bapak Xanan Gusmao. Dalam sebuah wawancara tentang rekonsiliasi Timor Leste dan Indonesia, beliau ditanya apakah ia akan membenci Indonesia. Dia menjawab jurnalis itu bahwa semua konflik selama dua puluh empat tahun sudah berlalu karena itu adalah masa perang. Sekarang Timor Leste sudah merdeka maka apa untungnya kita saling membenci?
Mengampuni itu indah! Saya mengingat Alan Cohen. Penulis Amerika Serikat ini mengatakan: “Suatu saat pengampunan sejati dapat menghapus kesalahan, rasa sakit, atau rasa takut selama bertahun-tahun.” Mari kita membangun habitus baru supaya merasakan keindahan dari sebuah pengampunan. Ingat: “Ampunilah dan kamu akan diampuni!” (Luk 6:37). Masa prapaskah menjadi masa untuk saling mengampuni. Jangan marah atau mengingat kesalahan-kesalahan orang kepadamu.
P. John Laba, SDB