Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XIV
Kej. 49:29-32; 50:15-24;
Mzm. 105:1-2,3-4,6-7;
Mat. 10:24-33
Keluarga dan Semangat Pemuridan
Selama seminggu saya berada di Kota Tanjung Pinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau untuk memberkati pernikahan dua orang keponakan pada tanggal 7 dan 10 Juli 2021. Ini merupakan peristiwa yang mempersatukan keluarga-keluarga besar dari Lembata dan Jogjakarta, Lembata dan Maumere. Filosofi perkawinan bagi kita bukan hanya bagi kedua pribadi yang menjadi satu daging tetapi juga perkawinan itu melibatkan keluarga besar. Dua atau lebih keluarga besar menjadi satu keluarga dan memiliki tugas pemuridan yakni membangun kasih, persekutuan, perdamaian dan menumbuhkan nilai-nilai penting lainnya di dalam keluarga, dan ini sekaligus sebagai tanda kesaksian bagi sesama manusia. Saya merasa senang melihat keluarga-keluarga yang berasal dari kultur yang berbeda namun menyatu dalam sebuah keluarga yang baru.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengingatkan kita pada keluarga tempat kita berada dan semangat pemuridan. Dalam bacaan pertama, kita mendengar akhir cerita dari keluarga Israel (Yakub) dan anaknya Yusuf. Mari kita perhatikan perkataan Yakub kepada anak-anaknya: “Apabila aku nanti dikumpulkan kepada kaum leluhurku, kuburkanlah aku di sisi nenek moyangku dalam gua yang di ladang Efron, orang Het itu, dalam gua yang di ladang Makhpela di sebelah timur Mamre di tanah Kanaan, ladang yang telah dibeli Abraham dari Efron, orang Het itu, untuk menjadi kuburan milik. Di situlah dikuburkan Abraham beserta Sara, isterinya; di situlah dikuburkan Ishak beserta Ribka, isterinya, dan di situlah juga kukuburkan Lea; ladang dengan gua yang ada di sana telah dibeli dari orang Het.” (Kej 49: 29-32). Perkataan Yakub ini bukan hanya sekedar sebuah cerita tetapi hendak mengatakan nilai-nilai luhur persekutuan, kekerabatan di dalam sebuah keluarga. Nilai-nilai ini berlangsung sepanjang hidup sampai maut memisahkan pun tetap dikuburkan secara bersama-sama. Yakub menunjukkan teladan hidup sebagai orang tua yang mempersatukan anak-anaknya dan dipersatukan bersama leluhurnya. Sungguh merupakan sebuah kesaksian yang luar biasa.
Sosok lain yang menginspirasi adalah Yusuf anak Yakub. Dia memiliki hati seorang Bapa yang mengampuni dan mempersatukan. Dia dijual saudara-saudaranya ke Mesir, namun pada akhirnya dia juga yang menyelamatkan saudara-saudaranya dari bahaya kelaparan. Setelah kematian Yakub, saudara-saudaranya berpikir bahwa Yusuf akan membalas dendam atas kejahatan mereka di masa lalu. Sebab itu mereka benegosiasi dengan berkata: “Sebab itu mereka menyuruh menyampaikan pesan ini kepada Yusuf: “Sebelum ayahmu mati, ia telah berpesan: Beginilah harus kamu katakan kepada Yusuf: Ampunilah kiranya kesalahan saudara-saudaramu dan dosa mereka, sebab mereka telah berbuat jahat kepadamu. Maka sekarang, ampunilah kiranya kesalahan yang dibuat hamba-hamba Allah ayahmu.” (Kej 50:16-17). Sikap saudara-saudara Yusuf ini memang sangatlah lumrah. Kalau saja ada orang yang berbuat jahat maka dia akan mencari jalan yakni dengan menaruh curiga atau berprasangka tertentu ke[ada orang lain dan mencari jalan kompromi yang lebih bernilai positif.
Sikap saudara-saudara Yusuf sungguh menguji kesabaran Yusuf. Ia menunjukkan kebijaksanaannya di hadapan para saudaranya dengan menunjukkan semangat pengampunan. Inilah sikap Yusuf: “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga.” (Kej 50: 19-21). Dari Yusuf kita belajar bahwa meskipun saudara-saudaranya masih menaruh curiga bahwa dia akan membalas dendam, ternyata Yusuf dengan berbesar hati menunjukkan sifat sebagai saudara dan sebagai Bapa yang baik. Dia menghibur mereka dan memberi ketenangan kepada mereka. Yusuf meninggal dunia tanpa membalas dendam, dia justru melakukan berbuatan-perbuatan baik kepada saudara-saudaranya yang telah berbuat jahat kepadanya.
Dari Yusuf kita belajar untuk melakukan semangat pemuridan sebagaimana diharapkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Dalam bacaan Injil, Yesus mengatakan kepada para murid beberapa hal yang penting dalam hidup sebagai sebuah keluarga. Ini juga menjadi semangat pemuridan di dalam komunitas Yesus. Pertama, Yesus mengingatkan para murid bahwa relasi mereka merupakan relasi persahabatan. Di dalam Injil Yohanes, Yesus berkata: “Kamu adalah sahabat-Ku” (Yoh 15:14). Semangat yang sama diumpamakan Yesus dalam relasi murid dan guru, hamba dan tuan. Relasi ini tidak bermaksud menampakkan siapa yang lebih atau tidak, tetapi Yesus mengatakan: “Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya.” (Mat 10:25). Kedua, Tuhan Yesus mengingatkan para murid supaya sebagai satu keluarga mereka jangan takut kepada mereka yang memusuhi mereka sebagai rasul Yesus. Mereka harus tetap berani, terbuka dan siap untuk mewartakan Injil dan Pribadi Yesus kepada semua orang. Ketiga, keberanian untuk mewartakan Injil bahkan membawa kepada kemartiran. Dasar kemartiran adalah cinta kepada Kristus. Hal keempat yang ditegaskan Yesus adalah bahwa diri kita itu berharga di mata Tuhan. Sebab itu semangat kekeluaragaan, saling menghargai harus selalu dibangun bersama. Kelima, Keberanian untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita.
Pada hari ini Tuhan menghendaki agar kita tetap bertumbuh dengan kuat, berakar di dalam keluarga masing-masing untuk dapat bersaksi sebagai murid Tuhan yang terbaik. Kisah keluarga Yakub dan Yusuf menggambarkan semangat kasih, persekutuan, persaudaraan dan damai sejahtera dan pengampunan berlimpah. Ini haruslah menjadi semangat pemuridan kita mulai dari dalam keluarga masing-masing. Semangat yang sama kita temukan dalam komunitas Yesus dimana Tuhan Yesus mengharapkan agar para rasul yang diutus-Nya berani bersaksi tentang kasih, persaudaraan sejati dan kemurahan hati Allah. Injil sebagai kabar sukacita haruslah menjadi dasar yang kuat dalam kesaksian hidup setiap keluarga. Apakah keluarga atau komunitasmu juga memiliki semangat pemuridan?
P. John Laba, SDB