Food For Thought: Tiga hari Minggu bersama ‘Komunitas Yesus’

Tiga Hari Minggu Bersama ‘Komunitas Yesus’

Selama tiga hari Minggu terakhir ini saya mencoba berjalan bersama ‘Komunitas Yesus’. Dua Minggu yang lalu Tuhan Yesus memiliki quality time bersama para murid-Nya. Ketika itu mereka barusan kembali dari kampung-kampung yang mereka kunjungi dan mereka berhasil melakukan pekerjaan Yesus yakni mewartakan Injil dan menyembuhkan orang-orang sakit. Dalam suasana penuh sukacita ini, Yesus membawa mereka ke daerah Kaisarea Filipi untuk beristirahat sejenak. Tuhan Yesus bertanya kepada mereka tentang apa kata orang tentang diri-Nya. Orang-orang mengira bahwa Yesus adalah Yohanes Pembaptis, nabi Elia atau salah seorang dari nabi yang wafat dan bangkit. Tuhan Yesus juga bertanya kepada mereka tentang pikiran mereka tentang Yesus. Petrus dengan bantuan Tuhan mengakui: “Engkau adalah Mesias!” (Mrk 8:29). Tuhan Yesus memuji Petrus, namun ketika mengumumkan tentang penderitaan-Nya, Petrus menegur Yesus supaya jangan menderita. Yesus membentak Petrus dengan mengatakan: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mrk 8:33). Ternyata para anggota komunitas Yesus, yakni para murid-Nya membayangkan Yesus sebagai Mesias yang jaya. Kiranya suasananya mirip dengan kita yang tidak berani menerima penderitaan.

Pada hari Minggu yang lalu, dalam perjalanan bersama, para murid bertengkar di antara mereka tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Padahal Yesus barusan mengingatkan mereka dalam perjalanan kembali ke Galilea: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” (Mrk 9:31). Mendengar pengakuan para murid ini Yesus menempatkan seorang anak kecil di tengah mereka dan berkata: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk 9:35). Di dalam komunitas Yesus ternyata masih ada murid-murid yang memiliki ambisi, haus kuasa dan lupa untuk menjadi pelayan. Padahal Yesus sudah mengatakan kepada mereka bahwa mereka menjadi ‘penjala manusia’.

Pada hari Minggu ini, kita mendengar Yohanes datang dan berbicara dengan Yesus: “Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” (Mrk 9:38). Yohanes dan teman-teman berpikir sangat dangkal. Mereka berpikir hanya mereka sekomunitas yang dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan Yesus, di luar komunitas itu tidak ada yang berkuasa. Tetapi Yesus mengatakan hal yang jauh berbeda dari pikiran para murid-Nya: “Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” (Mrk 9:39-40). Ternyata sesudah mengikuti Yesus dari dekat, para murid berpikir bahwa hanya mereka saja yang menjadi status quo. Orang-orang lain yang berbuat baik patut dicegah. Tuhan tidak m menghendaki demikian. Berbuat baik itu kuasa Tuhan bukan semata-mata keinginan manusia.

Selama tiga hari Minggu terakhir ini suasana komunitas Yesus adalah nyata sekali dalam hidup kita juga. Pokoknya kita banget! Kita yang tidak menerima salib, haus kuasa dan tidak menyukai orang lain berbuat baik. Itulah wajah kita yang nyata dalam hidup setiap hari sambil mengikuti Yesus. Dalam hidup kita setiap hari, kita juga menemukan orang-orang yang sombong secara rohani seperti Yohanes dan teman-temannya dalam Injil hari ini. Lihatlah dalam komunitas-komunitas hidup religious, dalam kelompok-kelompok kategorial, dalam lingkungan gerejani tertentu. Selalu muncul orang-orang sombong yang berpikir bahwa mereka sudah berada di surga dan lupa bahwa mereka masih berada di dunia. Lihatlah para aktivis tertentu di Gereja yang begitu aktif tetapi tidak pernah mengaku dosa. Menyedihkan! Lihatlah panitia natal atau paskah yang selama misa berlangsung mereka lebih asyik ngobrol dan tertawa tetapi saat komuni tanpa ada rasa malu pergi menerima komuni. Lihatlah petugas liturgi yang marah-marah, anggota koor yang marah-marah saat misa sedang berlangsung tetapi kemudian menerima komuni seperti biasa. Sangat menyedihkan. Mestinya kita harus sungguh-sungguh bertobat.

Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB