Homili 29 Oktober 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXX
Rom 9:1-15
Mzm 147:12-13.14-15.19-20
Luk 14:1-6

Jangan hanya menjadi pengintai tingkat dewa!

Ada seorang anak kecil yang menangis di dalam sebuah Kereta Api sambil menunjuk-nunjuk seseorang yang duduk di depannya. Ibunya bertanya mengapa ia menangis sambil menunjuk orang itu padahal orang itu tidak berbuat apa-apa kepadanya. Anak kecil itu mengatakan bahwa ia merasa takut karena sejak masuk ke dalam Kereta Api, orang itu terus menerus melihatnya dan sorot mata yang menakutkannya. Pikirkanlah bahwa seorang anak kecil saja merasakan suatu aura yang berbeda ketika ada sorot mata yang memandangnya. Ia merasa seolah-olah tidak nyaman, tidak bebas, merasa bersalah ketika ada sorot mata yang mencurigakannya. Ia hanya bisa mengungkapkannya dengan menangis sehingga ada rasa nyaman karena tentu akan di perhatikan oleh orang-orang dekat yang melindunginya.

Pengalaman anak kecil ini adalah pengalaman kita semua. Berapa kali kita juga merasa tidak nyaman, merasa tersinggung kalau ada sorotan mata orang yang tertuju kepada kita penuh kecurigaan? Memang mata adalah pelita tubuh sehingga sorot mata selalu mengungkapkan segala sesuatu yang ada di dalam diri orang itu atau di dalam diri kita. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” (Mat 6:23-24).

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Yesus di dalam Injil Lukas. Ada seorang pemimpin kaum Farisi yang baik. Dia mengundang Yesus untuk santap bersama di rumahnya pada hari Sabat. Yesus pasti senang menerima undangan santap bersama itu. Namun ada satu hal yang aneh terjadi di dalam ruang makan. Ketika Yesus masuk ke dalam ruang makan, semua mata tertuju kepada-Nya dengan sorot mata penuh kecurigaan. Lukas melukiskannya demikian: “Semua yang hadir mengamat-amati Dia dengan saksama.” (Luk 14:1). Orang-orang seakan mengintai Dia. Bayangkan semua orang mengamat-amati atau seperti sedang mengintai apa yang akan dikatakan dan dilakukan Yesus supaya mereja mendapatkan kesalahan-Nya. Kalau saja Yesus bermental seperti anak kecil maka Dia akan keluar dari ruangan itu. Kita dapat membayangkan betapa Dia tidak merasa nyaman sebagai tamu khusus di ruang makan itu.

Namun apa yang terjadi? Yesus memang beda! Dia mampu menguasai situasi bahkan meskipun Dia seorang diri tetapi dapat menguasai seluruh ruang makan itu. Dia membungkam semua sorot mata munafik kepada-Nya. Mereka adalah para Ahli Taurat dan kaum Farisi yang sedang lupa diri. Dikisahkan Lukas bahwa pada saat itu ada seorang yang sakit busung air. Ia bangun dan berdiri di hadapan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus membungkam mereka semua dengan bertanya apakah bisa menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, namun mereka hanya diam membisu. Tuhan Yesus melihat orang sakit itu dan berinisiatif untuk menyembuhkannya pada hari Sabat. Selanjutnya Ia menyuruhnya pergi. Para ahli Taurat dan kaum Farisi hanya membisu, padahal tadinya mata mereka mengamati-amatu Yesus dengan penuh kecurigaan.

Kadang-kadang kita menjadi sepert orang Farisi modern yang lebih suka mengamat-amati hidup orang lain sambil menaruh rasa curiga yang berlebihan kepada mereka. Kita hanya bisa melihat orang dari luarnya dan lupa bahwa seharusnya kita melihat di dalam hati mereka seperti yang Tuhan lakukan kepada kita. Banyak kali kita mengadili orang lain dengan mata kita padahal orang sedang berbuat baik. Ingat: hati-hati gunakan matamu sebab Bapamu yang di surga melihat ke bawah…

Pada hari ini mindset kita harus berubah. Sorot mata kita harus berubah sehingga bukan sorot mata penuh kecurigaan, melainkan sorot mata seperti mata Yesus yang penuh belas kasih. Hati kita selalu tergerak oleh belas kasihan. Kasih harus berada di atas segalanya karena kasih adalah Allah sendiri. Dalam masa pandemi ini kita perlu mengambil sikap dan kepedulian Yesus ini menjadi sikap dan kepedulian kita kepada sesama. Jangan hanya menjadi pengintai tingkat dewa!

P. John Laba, SDB