Homili 3 November 2021 – Injil Untuk DFJ

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXXI
Rm. 13:8-10;
Mzm. 112:1-2,4-5,9;
Luk. 14:25-33

Lectio:

Pada suatu ketika orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.
Demikianlah Sabda Tuhan. Terpujilah Kristus.

Renungan:

Cobalah untuk setia!

Saya merasa yakin bahwa ada yang tersenyum mendengar judul renungan ini karena mirip dengan judul sebuah lagu ‘tempo doeloe’. Saya tentu tidak bermaksud mengomentari lagu ini. Saya justru terinspirasi oleh sabda Tuhan untuk mengajak dan mengingatkan kita semua supaya mencoba lagi menjadi murid-murid Yesus yang sejati dan setia selamanya.

Adalah Helen Keller. Sosok yang mengubah dunia ini pernah berkata: “Kebahagiaan sejati itu tidak tercapai melalui kepuasan diri tetapi melalui kesetiaan pada tujuannya yang mulia.” Perkataan inspiratif ini menyadarkan kita akan tujuan hidup kita di dunia ini. Tujuan hidup kita di dunia ini adalah untuk menjadi pribadi yang bahagia bukan untuk menjadi pribadi yang menderita dan tidak bahagia. Misalnya, tujuan orang menikah adalah supaya menjadi pribadi yang bahagia di dalam hidup bersama sebagai pasangan hidup. Kebahagiaan sejati itu sendiri tidak tercapai melalui kepuasan diri semata. Artinya, kita merasakan kepuasan diri belumlah menjadi wujud nyata dari perasaan bahagia yang benar dan sejati. Hal yang terpenting justru pada kesetiaan kita kepada tujuan yang mulia dari hidup kita. Misalnya, orang yang menikah bukan semata-mata untuk merasakan kepuasaan, tetapi bahwa tujuannya yang mulia adalah supaya kedua pribadi itu membentuk sebuah keluarga kudus. Keluarga yang bahagia di tengah dunia benar-benar dicapai melalui semangat rela berkurban. Maka tepat sekali Seneca, seorang Filsuf Romawi yang mengatakan bahwa kesetiaan adalah kekayaan termulia di dalam kalbu manusia.

Kita barusan mendengar kelanjutan kisah Yesus di dalam Injil Lukas. Kali ini, Tuhan Yesus sedang berada dalam perjalanan menuju ke Yerusalem untuk mengejawantah tugas perutusan-Nya di dunia yakni mengurbankan diri bagi keselamatan manusia. Dia menyiapkan orang-orang yang mendengar-Nya dengan memberikan pengajaran serupa dengan sebuah katekese untuk menyiapkan orang banyak yang mengikuti-Nya dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem. Tentu saja sebuah harapan dari Yesus bagi para pengikut-Nya adalah supaya mereka menjadi pribadi yang setia kepada-Nya sampai tuntas. Ketika mereka mengalami kesulitan apapun, mereka harus berani bangkit dan mencoba lagi untuk menjadi setia.

Bagaimana mewujudkan semangat kesetiaan supaya mencapai kebahagiaan sejati bersama Yesus? Dalam bacaan Injil yang barusan kita dengar, Tuhan Yesus memberikan syarat-syarat penting untuk mengikuti-Nya sehingga menjadi pribadi yang layak dan bahagia sebagai murid Yesus yang sejati. Syarat-syarat yang dimaksud adalah pertama, Mencintai Yesus lebih dari yang lain. Yesus memnggunakan kata ‘membenci’ bukan dalam arti sebagaimana kita pahami, tetapi mau menegaskan bahwa prioritas kasih kita pada level pertama dan utama adalah Tuhan Yesus dan kedua adalah keluarga dan diri kita. Ia berkata: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Kedua, Kita berani untuk memikul salib dan mengikuti Yesus. Ketiga, Mengikuti Yesus adalah sebuah petualangan rohani maka butuh sebuah discernment dalam mengikuti-Nya, bersekutu dengan Kristus dalam jalan salib-Nya menuju ke Golgota. Untuk mewujudkannya maka butuh kempuan untuk melepaskan segala sesuatu demi mengikuti Yesus dari dekat menuju ke Yerusalem.

Mengikuti Yesus dari dekat membutuhkan komitmen untuk setia hari demi hari dan dalam situasi apa saja. Kita tidak hanya sekedar mengikuti-Nya, tidak sekedar berziarah secara rohani dalam iman bersama Yesus. Lebih dari itu, seorang murid sejati harus semakin serupa dengan gurunya dalam segala hal. Tuhan Yesus dalam Injil Lukas mengatakan: “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.” (Luk 6:40). Ketika kita setia untuk mengikuti Yesus dari dekat dengan tidak terikat pada satu apapun, dengan memiliki sikap lepas bebas, dengan berani melepaskan maka kita sebagai murid akan menjadi semakin serupa dengan Yesus sendiri.

Pada hari ini kita disadarkan oleh Tuhan untuk menjadi murid Tuhan Yesus yang sejati. Mari kita berusaha untuk semakin mencintai, semakin terlibat dan semakin menjadi berkat bagi sesama yang lain. Cobalah untuk setia sebagai murid Kristus yang sejati. Tuhan memberkati.

P. John Laba, SDB